Entah mulai kapan tepatnya sebagian masyarakat kita mulai kebablasan terkait efek negatif media sosial. Kali ini saya ingin fokus pada kebiasaan nyinyir dan mudahnya menyebarkan hoax.
Sebegitu luangkah waktu mereka sehingga seakan hampir seharian bisa terus menerus online di media sosial. Bereaksi sangat cepat terhadap update-an para seleb media sosial. Ya, seleb atau bintang media sosial ini kerap disebut selebgram untuk Instagram dan selebtwit untuk Twitter.
Jika ada sedikit saja postingan yang tidak berkenan atau ada kesalahan yang diperbuat sang idola, sengaja atau tidak, komentar pedas dan memojokkan siap menyerbu linimasa. Hal ini biasanya dilakukan para haters, sebuah istilah yang tertuju pada para pembenci, Â pemaki-maki dan penghina. Menjadi publik figur jaman sekarang memang dituntut untuk memiliki mental baja atau rasa acuh yang tinggi, karena jika tidak, bisa-bisa sakit hati sepanjang waktu.
Kebiasaan nyinyir atau mengumpat merasa seolah paling benar ini semakin subur ketika akses terhadap media sosial begitu mudah dan murah. Merasa seperti diberi jalan mulus dalam menyampaikan pendapat, hampir-hampir tanpa rem.
Tapi hati-hati wahai netizen, kebebasan yang seolah tanpa batas ini, tetap memiliki limit. Ketika seorang objek nyinyir sudah mulai merasa "gerah" dan terganggu, atau dirasa telah terjadi penghinaan, sang penyinyir bisa dilaporkan dan diadili. Ada undang-undang yang mengatur hal ini.
Hati-hati juga terhadap hoax atau berita/informasi bohong yang mengada-ngada. Kalau saya flashback beberapa tahun ke belakang, hoax mulai marak saat penggunaan Blackberry mengalami jaman keemasan. Saat itu orang-orang yang haus eksistensi seringkali iseng menyebarluaskan pesan berantai berisi informasi menyesatkan. Keterbatasan pengetahuan sebagian pengguna yang kemudian mem-forward informasi tadi membuat hoax menyebar cepat tak terkendali.Â
Parahnya, ketidakpandaian sebagian pengguna telepon pintar saat ini justru dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pihak tertentu dalam rangka menggiring opini publik untuk mempercayai sebuah isu bohong misalnya, atau dijadikan sarana untuk menjatuhkan reputasi seseorang dalam percaturan politik, dan lain sebagainya.
Agar kita tidak menjadi bagian dari buih-buih itu, ada baiknya untuk selalu bisa menahan diri dan melakukan kroscek terhadap informasi yang datang. Tidak usah ikut-ikutan menyebarkan kabar yang belum tentu benar/meragukan. Jadilah pengguna telepon pintar & media sosial yang pintar, jangan sampai kalah pintar dari gawai kita sendiri, malu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H