Oleh: Selendang Sulaiman
Kartini masih tertegun,menatap kosong ke depan. Memangku dagu
mengulum senyum di wajahnya yang ayu nan layu. Tanpak sendu. Terlihat sesuatu
tersimpan di balik tahi lalat yang menempel di pucuk kanan hadung bangirnya.
Sedang Sulaiman yang baru duduk di sampingnya, hanya diam menatapnya sepenuh
hati seolah tengah merangkai tafsir dalam dadanya.
Layaknyabulan dan bintang saling menukar diam
dalam cahaya, Kartini dan
Sulaiman yang bersebelahan memadu bahu tak juga melahirkan sepatah kata. Hanya
isyarat dan tanda yang sengaja disembunyikan dalam hati dan pikirannya
masing-masing.
Seperti malam-malam sebelumnya, mendung
tebal menitikkan hujan rintik-rintik. Hening, tak bergeming. Hawa setengah
dingin menyusup perlahan memasuki pori-pori yang kaku dan gerak yang gagu di
tubuh mereka yang masih dibaluti perasaan-perasaan tak menentu. Sunyi mengiris
suasana gelak tawa dan percakapan ria orang-orang di warung kopi itu.
“Ada apa denganmu,Kartini?” tanya Sulaiman lirih, mencoba
mencairkan suasana. Kartini hanya menoleh sebentar,membuang pandang ke depan. Kembali membeku
dalam lamunan dengan kedip-kedip yang basah. Sulaiman pun bungkam memendam
getar-getar yang bergeliat dalam hatinya.
Hembus nafasnya terasa berat menahan sesak
dalam-dalam. Mengartikan Kartini yang masih enggan berbicara. Namun, Sulaiman
mampu menangkap makna sayu pada sepasang mata Kartini dan sebersit senyum
hambar di bibirnya. Hanya bukan waktu yang tepat untuk dibahasakan padanya dan
Sulaiman masih belum sepenuhnya siap untuk mengatakan apa yang ia pahami dalam
diri Kartini.
***
Sejak beberapa hari yang lalu, Kartini
kecewa pada Sulaiman. Lantaran kehadirannya pada malam itu tidak Sulaiman
indahkan. Sulaiman tak bermaksud mengacuhkannya, ia hanya hendak menjaga etika
di depan teman-temannya dan orang-orang yang nongkrong di sekitar warung
kopu itu. Tiba-tiba Kartini pamit
pergi tanpa ada angin dan hujan.
Sulaiman sadar bahwa yang telah
dilakukannya telah menyinggung perasaan Kartini. Namun ia tidak menyesal
sedikit pun. Ia yakin dengan sikapnya akan sedikit mengurangi beban pikiran dan
perasaannya. Kendati tidak demikian di hati Kartini.
Sebenarnya, Sulaiman merasa nyaman di
dekat Kartini apalagi berdekatan. Bahkan ia merindukannya jika beberapa waktu
tidak bertemu. Cuma, Sulaiman tidak pernah mengatakannya selama itu. Dia takut,
kedekatannya akan pupus dan berakhir.
***
Kedekatan mereka telah hampir setahun. Kedekatan mereka diawali sejak
Kartini punya masalah dengan kekasih hatinya yang telah ia bangun dua tahun yang lalu. Kartini akan
senantiasa mencurahkan segala keresahan-keresahannya pada Sulaiman, lelaki berambut panjang yang juga teman
dekat kekasihnya itu.
Awalnya, Sulaiman hanya jadi pendengar
setia, setiap kali Kartini cerita tentang persoalan kisah asmaranya dan
kadang-kadang menyangkut persoalan keluarga. Seiring berjalannya hari, saking
sering dan akrabnya bercakap dalam curahan, Sulaiman terpancing untuk juga
mencurahkan segala kegundahan di hatinya. Akhirnya, mereka nyaman dengan
curhatan mereka masing-masing sampai terkadang lupa waktu.
Seperti halnya perempuan lain, Kartini
akan bertingkah manja layaknya anak-anak menangis minta mainan baru pada
ibunya. Begitu pula dengan Sulaiman, walaupun ia seorang lelaki yang berwatak
keras. Ia juga memiliki sifat-sifat feminim. Hal itu Sulaiman sadari, bahwa di
balik kelakiannya yang jantan, ia memiliki sifat keperempuanan. Hampir di
setiap perjumpaan dan percakapannya dengan Kartini, sifat lain dari dirinya
akan aktif.
Lantaran itulah, Kartini mulai berani
membelai rambut lurus Sulaiman yang hitam kemilau. Jika tergerai berantakan, ia
rapikan dengan jari jemarinya kemudian dengan lembut menyanggulkannya.
Sulaiman mulai merasakan perhatian yang
tidak biasa dari Kartini. Biar begitu, ia tetap positif thinking bahwa apa yang
dilakukan Kartini sebagai bentuk perhatian seorang sahabat. Sebab ia tahu,
bahwa Kartini, kekasih teman dekatnya, dan ia juga sedang mencintai seorang
lain. Perempuan yang ia taksir sejak beberapa bulan sebelum kenal Kartini.
Biasa membelai rambut, tak ayal jika
Kartini mulai berani mencubit hidung setengah mancung Sulaiman. Kisahnya hanya berawal dari
guyonan biasa di tempat-tempat umum. Karena keseringan, hingga menjadi
kebiasaan. Bagi Kartini itu hal yang wajar. Namun tidak buat Sulaiman, baginya
perbuatan Kartiniitu adalah
bagian dari perhatian yang lebih. Sebab ia tahu bahwa Kartini telah putus
dengan kekasihnya.
Walaupun kenyataannya begitu, Sulaiman
masih punya perasaan sebagai seorang lelaki. Ia selalu menjaga perasaan mantan
Kartini. Dia tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Apalagi perempuan
yang termaksud adalah mantan kekasih teman dekatnya sendiri. Segala cara
Sulaiman lakukan untuk menyambung kembali tali kasih antara Kartini dengan
mantan kekasihnya. Sebab di hati masing-masing masih terang terukir tulisan
cinta dan kasih. Hanya satu yang sulit mempertemukan mereka kembali, sifat
egois dan keras kepala yang melekat di antara mereka.
Demi menjaga perasaan Kartini dengan perbuatannya
yang tulus itu, Sulaiman
membiarkannya. Walau tidak jarang ungkapan orang-orang yang menggatalkan
telinganya mengiang. Sulaiman biasa saja menanggapi ungkapan-ungkapan
mereka.
Namun, lambat laun Sulaiman sadar bahwa
sebaik apapun maksud hatinya, akan tetap dipandang buruk oleh orang lain. Oleh
sebabnya, pada perjumpaan di malam itu Sulaiman seolah acuh tak acuh dengan
sikap Kartini yang dengan lembutnya membelai rambut Sulaiman.
Waktu itu, sengaja ia menghindar dengan
pura-pura sibuk nulis SMS. Dan benar, apa yang pikirkan benar-benar terjadi.
Kartini pergi tanpa pamit dengan segenggam kekecewaan.
Sejak perjumpaan itu, Sulaiman tidak lagi
membalas SMS dari Kartini. Sengaja ia lakukan demi kebaikannya sendiri dan
Kartini. Meski sebenarnya, Sulaiman tidak menginginkan semua itu. Sulaiman
ingin semua seperti biasanya, dengan belaian lembut tangan Kartini di
celah-celah rambut dan setengah mancung hidungnya. Jika itu terus berlanjut,
prahara akan benar-benar terjadi. Lantaran omongan-omongan orang lain bukan
lagi sekedar menggatalkan telinga, tetapi sudah terlampau membakar. Dan ia
sadari bahwa itu adalah juga salahnya yang terlalu menikmati perlakuan Kartini.
***
Kartini menangis setiap kali SMS tidak ada
balasan dari Sulaiman beberapa hari setelah perjumpaan yang mengecewakannya
itu. Malam ia tak nyenyak
tidur. Siang ia dihantui pertanyaan-pertanyaan untuk Sulaiman. Kartini benar-benar rindu membelai rambut dan
mencubit hidung setengah mancung Sulaiman. Rindu yang bukan sekedar ingin
membelai dan mencubit semata. Ada kekuatan lain yang menarik-narik jiwanya
untuk segera bertemu dengan Sulaiman.
Bermalam-malam Kartini terapung dalam
kerinduan dan kekecewaan pada Sulaiman. Lebur dalam satu luapan perasaan.
Hingga menjelma ketakutan-ketakutan yang mengerogoti isi kepalanya. Ia pun
jatuh sakit sementara waktu, tanpa Sulaiman ketahui. Hanya kata-kata yang masih
segar lahir dari rahim jiwanya, untuk Sulaiman;
“Bulan muram menyemburkan aroma sepi yang
bagitu dalam. Terbias di sudut-sudut matamu; Pekat dan kelam. Sayang, tak kau
biarkan aku seka kelam itu dengan selendang warna warni yang aku kerat dari
ujung pelangi.”
“Buli-bulir rindu yang dibaui waktu,
lahirkan separuh purnama pada coklat matamu. Mimpi yang menghantuimu, hadir
untuk bungai tidurmu.”
“Jika maut mampu menghentikan rindu, maka aku tidak akan
menunggu ia datang, melainkan akan aku jemput ia sekarang. Sebab, kerena rindu
pula, kini aku tengah mati perlahan.”
“Sekali pun kau sembunyi, mentari takkan
sulit untuk menemukanmu. Sebab sekalipun purnama memalamkan segala, cahayamu
takkan mampu ditutupinya.”
“Aku terus bertanya-tanya beberapa malam
ini, siapa yang berani mengrungmu di alam mimpi? Hingga kau lupa bangun dan bergurau denganku?”
***
Seberapa jenak Sulaiman mencoba menahan getar-getar yang menggundah dalam
dadanya. Tak lain tak bukan adalah bara rindu yang beradu dengan
ketakutan-ketakutan yang mengkoyak hati dan perasaannya. Ia berpikir jernih dan
mencoba menenangkan diri dengan kilahan-kilahan canda yang terkadang kurang
masuk akal. Dan Kartini tetap saja murung,termenung dengan tatapan kosong lurus ke depan.
Sementara malam kian larut meski percakapan dan ketawa orang-orang di sekitar
masih riuh mengisi warung kopi itu, namun tidak dengan Kartini dan Sulaiman
yang sama-sama terjerat oleh pertanyaan dan prasangka-prasangka yang menakutkan
bagi mereka masing-masing.
Dalam-dalam Sulaiman menarik nafas untuk sekedar mengungkapkan sepatah kata.
Entah pernyataan atau pertanyaan, tentunya suara mereka menjadi samar sebab lahir bersamaan. Mereka
tertawa kecil sambil menyembunyikan kekikukan masing-masing. Meski sebenarnya,
Sulaiman hanya berpura-pura memasang wajah masam di samping Kartini. Sebab di
mata Sulaiman, tampak sesuatu di wajah layu Kartini yang seirama dengan apa
yang tersimpan di lubuk
hatinya. Dengan tenang dan sedikit rada-rada bercanda, Sulaiman membuka percakapan.
“Kartini,katakanlah sesuatu
padaku!”
“Apa lagi yang harus katakan? SMS-ku itu sudah cukup.”
“Aura wajahmu yang memaksa. Bukan aku.”
“Iya, tapi aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi.”