Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hariku Dimulai

20 April 2022   17:20 Diperbarui: 20 April 2022   17:29 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di usia ke tujuh belas ini, akhirnya aku bisa bangga dengan diriku. Tsamara, aku bangga denganmu! Juara satu lomba cerdas cermat, juara satu di antara enam ratus siswa sekolahan, dan yang paling mengesankan, aku pernah bisa menjadi ketua osis!

Aku bangga dengan diriku.

Berjuang agar bisa mencapai yang kuinginkan. Berjuang dengan keras, ya, semua memang butuh perjuangan yang terkadang membuatku sangat capek dan sakit. Namun tak apa. Usaha tak pernah mengecewakan. Seperti kata kakek dahulu.

"Puasa bulan ini Tsamara juga tidak akan malas-malasan?" ucap ibu yang sejak tadi di sebelahku.

"Ya! Pasti. Aku akan berusaha."

"Anak ibu memang membanggakan. Kamu pasti bisa menikmati puasa bulan ini," kata ibu. "Iya kan yah," tambahnya.

"Ehm ..., ha?"

Ayah sedang menonton televisi, tidak fokus diajak bicara.

"Yah ...."

"Iya, Tsamara pasti bisa asalkan menikmatinya," balas ayah agak gugup.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya bulan puasa datang juga. Bulan ini pasti banyak hal yang harus disiapkan sebelum lebaran. Aku akan menggunakan bulan penuh berkah ini dengan baik.

Hariku dimulai, sahur bersama orang tua dan ketiga adikku yang kecil-kecil. Aku membantu ibu menyiapkan makanan di dapur. Memanaskan sayur, dan menggoreng telur untuk lauk. Juga menyiapkan piring-piring dan yang lain.

"Reza, kamu paling besar di antara adik kak Tsamara. Kamu harusnya bangun lebih awal untuk bantu-bantu."

"Aah ..., masik ngantuk sekali kak."

"Dasar kamu, besok harus bisa bangun lebih awal."

"Tsamara, bantu ibu menguras bak di dapur. Tadi ada tikus yang gak sengaja jatuh."

"Iya," balasku.

"Kamu anak yang rajin."

Sebagai anak pertama, aku membantu banyak hal di bulan ramadhan ini. Juga selain itu banyak yang aku kerjakan agar mendapat berkah Tuhan. Membantu ibu dan ayah, membaca al quran selepas subuh, beres-beres rumah dan membaca buku sebelum berangkat sekolah.

"Aku heran, kenapa juga puasa-puasa begini tetap upacara. Bukankah ini terlalu melelahkan? Ih, apalagi sinar mataharinya panas banget."

Pagi ini terasa panas. Sampai-sampai keringat di tubuhku banyak berjatuhan.

"Tolong! Ada Linda pingsan tidak kuat upacara!"

Salah seorang temanku terlihat pingsan. Tubuhnya lemas dan ambruk setelah lama berdiri dan kepanasan. Mungkin dia puasa dan tidak sempat sahur?

"Tsamara, tolong bantu!"

Aku buru-buru mendekat sesegera mungkin mengangkat Linda ke ruang UKS dengan yang lain. Tubuhnya panas dan wajahnya pucat. Tidak salah lagi, pasti Linda memaksakan dirinya tetap ikut upacara padahal tidak kuat.

Bulan puasa memang penuh dengan cobaan. Semua orang Islam menahan lapar hingga magrib tiba. Tujuannya agar kami bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal yang tidak perlu. Terlihat tidak masuk akal, namun memang inilah salah satu cara agar tubuh dan hati bisa menahan diri. Jika bisa puasa menahan lapar, kami akan bisa puasa menahan hal-hal lain yang kami anggap tidak perlu di kemudian hari.

"Bagaimana sekolahmu Tsamara?" kata ibu saat aku sampai rumah.

"Baik bu, lancar. Tadi ada teman yang pingsan gara-gara tidak kuat upacara. Tapi Tsamara baik-baik saja."

"Oh ya?" balas Ibu. "Setelah ini belikan beras di toko ya. Kita kehabisan bahan untuk makan nanti sore. Sekalian beli sayur dan ikan laut untuk lauk."

"Iya bu."

Belanja memang hal yang biasa untuk dilakukan. Namun jika belanja beras satu karung ditambah barang-barang lain tentu saja berat. Duh, peluh di mana-mana dan bagian bajuku banyak yang basah. Mana sinar matahari panas lagi. Namun aku harus tetap sabar dan berusaha. Tsamara adalah anak yang rajin dan bekerja kerasa. Disuruh belanja bukan hal yang sulit. Aku akan membuat banyak orang bangga. Ya, itu aku.

"Kak Tsamara, tolong ambilkan layangan Dila yang nyangkut di pohon mangga," kata adikku dengan wajah menahan tangis.

"Hmm ..., layangan Dila nyangkut lagi ya. Kasihan .... Kakak ambilkan sebentar lagi." Tanganku mengelus rambutnya hingga membuat senyumnya kembali bersinar.

Layangan-layangan ..., tinggi juga nyangkut di pohonnya. Mana tidak ada kayu yang bisa dipakai. Lagi-lagi harus menaiki pohon mangga lagi. Aduh, bakal capek kelihatannya.

Sudah dua kali layangan Dila nyangkut hari ini. Aku harus memanjat pohon dan berusaha meraih layangan sambil menyeimbangkan diri agar tidak jatuh. Capeknya rasanya ..., ingin segera tidur saja untuk istirahat.

"Wah-wah, anak perempuan ayah jago memanjat juga rupanya."

"Selamat datang yah."

"Makasih. Ayah capek sekali hari ini habis kerja. Padahal ada banyak barang yang harus dipindah. Berat lagi."

Aduh, pasti ayah bakal minta tolong lagi. Padahal capek banget tubuhku. Sejak tadi pagi rasanya belum istirahat. Apalagi memanjat pohon rasanya membuat tubuhku semakin lemas.

"Bantu ayah memindahkan barang dari mobil ya. Berat sih, tapi harus segera dirapikan sebelum pembelinya datang."

Kaan!! Capek banget padahal. Hah ...!

"Iya yah," balasku sambil berusaha tersenyum.

Tujuh hari di bulan puasa ini rasanya sungguh melelahkan. Harus masak sore hari dan pagi-pagi untuk sahur. Beres-beres rumah. Sekolah. Bahkan banyak pekerjaan orang tua yang harus dibantu. Belum lagi belajar dan tadarus Alquran, mendengar ceramah di masjid, salat tarawih. Duh, banyak.

Belum lagi hari ini hanya sahur air putih gara-gara repot masak dan membangunkan Dila yang sulit bangun. Ngompol, nangis, dan akhirnya dia tidak puasa. Menyebalkan sekali karena yang jadi korban adalah aku. Semoga bisa puasa dengan lancar seperti biasanya.

Hari-hari di sekolahan pun sama melelahkan. Karena menjadi ketua kelas, hari ini ada beberapa hal yang membuatku kerepotan hingga pulang terlambat. Capek, padahal berkendara motor. Mungkin karena terik matahari yang terlalu menyengat.

"Tsamara! Terima kasih tadi sudah bantu-bantu ibu menyiapkan panggung untuk acara ramadhan di sekolahan. Kita akan mengadakan pengajian akbar. Kamu banyak membantu!" ucap Bu Firda saat tak sengaja kami sama-sama berhenti di perempatan jalan lampu merah.

"Sama sama bu," balasku sambil tersenyum. Membantu orang lain memang terasa menyenangkan. Meski aku berharap tadi anggota osis yang membantu lebih banyak agar ketua kelas tidak kerepotan. Saking capeknya, kepalaku sedikit pusing dan tubuhku lemas.

"Tsamara! Awas! Tsamara!" Bu Firda berteriak dan menggugah kesadaranku.

Sebuah truk melintas tepat di depanku berbelok saat lampu mulai hijau, saat aku mulai memajukan motor. Hampir! Telat sedikit saja tubuhku akan dilindas truk!

Kini jantungku berdetak dengan kencang di antara tulang dan dagingku yang letih dan lemas. Suara degubnya terasa menyakiti tubuhku, semakin terasa bagian-bagian yang nyeri. Capek. Aku butuh istirahat sesegera mungkin.

Menjadi anak teladan memang hal yang membanggakan. Namun sejujurnya ada banyak hal yang tidak kuinginkan. Kerja terlalu banyak, istirahat lebih sedikit daripada anak-anak lainnya. Hal yang sebenarnya tidak bisa kuterima. Membuat energi dan pikiranku sangat mudah terkuras.

"Kak Tsamara sudah datang! Kak Tsamara datang buk! Yah!"

"Nah! Gadis cantik ibu sudah pulang sekolah."

"Akhirnya kita terbantu bu!"

Terbantu? Kan ...! Capek sekali rasanya. Padahal aku ingin istirahat.

"Bantu ayah memindahkan perabotan rumah untuk dibersihkan ya. Persiapan lebaran. Kita harus bersih-bersih rumah," ucap ibu kepadaku.

"Tolong pindah mainan Dila kak."

Padahal rasanya sungguh capek. Namun melihat banyak hal yang harus dikerjakan membuatku sedih jika berdiam saja tidak membantu. Oh tidak. Sungguh. Lemas sekali tubuhku dan bahkan terasa nyeri dan memar.

"Iya yah!" jawabku singkat. Kali ini aku benar-benar berusaha agar ekspresi wajahku terlihat tersenyum.

"Kamu kenapa Tsamara?"

"Gak apa-apa bu."

"Kalau tidak apa-apa, nanti bantu ambilkan jajanan untuk lebaran di toko yang kemarin ya. Ibu sudah pesan dan penjualnya terlalu repot untuk mengantar. Mana barangnya banyak lagi. Ibu gak bisa ambil, ayah juga sedang repot."

Bu! Tidakkah ibu melihatku kecapekan. Aduh!

"Nanti jangan sore-sore karena takutnya tutup."

"Iya bu ...."

Sungguh rasanya sangat capek tapi aku tidak bisa menolak.

Selanjutnya, aku membantu ayah memindah meja, kursi dan perabotan ke luar rumah untuk dibersihkan. Sedangkan ayah langsung membersihkan rumah bagian dalam setelah mengangkat meja. Dan aku membantu ibu memasak setelahnya, mengangkat panci penuh air, mengupas bawang, mengiris cabai, dan beberapa hal lain sebelum mengambil jajanan di toko untuk lebaran.

Hari yang melelahkan. Sungguh. Puasa yang melelahkan untukku yang berusaha menjadi anak baik. Banyak hal yang harus dilakukan hingga membuat tubuhku serasa letih, tenagaku terkuras, kepalaku pusing. 

Andai saja menjadi anak rajin tidak begitu penting. Andai rajin tidak terkait dengan kesuksesan. Andai saja, menjadi siswa teladan tidak membanggakan. Dan andai saja, aku tidak berusaha melakukan hal-hal melelahkan yang bahkan menyita waktuku bersantai dan bersenang-senang.

Pukul lima tepat, sebuah kecelakaan terjadi di perempatan jalan. Banyak orang berkerumun dan tak sengaja menyaksikan darah bergelimang, beberapa bagian motor bengkok dan lepas padahal terbuat dari besi. Sebuah mobil bertabrakan dengan motor matik milikku. Tidak salah, mobil hitam itu tidak salah karena berjalan saat rambu-rambu berwarna hijau. Ia berada di jalur yang tepat dalam situasi yang pas. Aku tahu. Aku tahu mobil itu tidak salah. Aku yang salah karena kehilangan kendali atas diriku sendiri. Capek. Pusing. Ya. Kesadaranku seakan diambil perlahan demi perlahan.

Aku membuka mata secara perlahan-lahan. Tubuhku nyeri, sakit, beberapa bagian tak lagi lecet, melainkan sobek membuat perban berwarna putih menjadi hitam pekat membalut kakiku. 

Saat aku bangun di sebuah ruangan. Rumah sakit. Ibu dan ayah telah berada di sampingku. Duduk menatap dengan air mata yang mengalir deras. Mereka terlihat sedih melihat anak kebanggaannya yang biasanya selalu berjuang dan berusaha keras harus terbaring kesakitan. 

Padahal aku hanya ingin menjadi orang sukses. Sehingga bekerja keras lebih banyak.

"Tsamara, ayah dan ibu minta maaf karena banyak meminta pertolongan kamu," suara ayah terdengar lirih.

Kami sudah diberitahu kalau kamu banyak membantu di sekolahan. Mengangkat meja-meja untuk panggung, membantu hal-hal lain. Bahkan saat sampai dirumah kami banyak meminta bantuan kepadamu. Belum lagi akhir-akhir ini kamu hanya sempat makan dan minum sedikit, puasa, tapi malah banyak pekerjaan," suara ayah terdengar parau.

Ya .... Aku terlaku capek yah. Aku hanya bisa menjawab dalam hati. Tubuhku masih sakit. Kesadaranku belum pulih seperti semula.

"Tapi kamu bisa bilang pada ayah dan ibu kalau capek. Kamu bisa minta waktu untuk istirahat Tsamara. Kami memang ingin kamu membantu. Namun ayah dan ibu juga ingin kamu bahagia ...." 

Suaranya terdengar menenangkanku. Tangan ibu memegang tanganku. Hangat .... Padahal aku hanya ingin menjadi anak yang bisa menjadi contoh. Tapi justru ....

...

Iya yah .... Mungkin aku terlalu menahan diriku. Mungkin ini semua memang salahku yang tidak jujur bahwa aku capek. Mungkin karena aku tidak berterus terang dengan keadaanku yang terasa berat padahal aku memiliki kalian yang akan selalu mendukungku.

Mungkin selama ini aku berpikir dan bertindak dengan cara yang salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun