Halo kamu bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik saja, ya! Di artikel kali ini saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman membaca suatu buku. Belum lama, loh, saya menyelesaikan buku ini.Â
Kemungkinan ke depannya secara berkala saya juga akan membagikan pengalaman-pengalaman sejenis. Lalu, buku apa yang akan dibagikan ceritanya sekarang? Buku kali ini berjudul SADNESS: Teman Bersedih, tulisan dari Wafi Hakim Al-Shidqy.
Oh, ya, bagaimana dengan kamu? Apakah sudah membaca buku berjudul Sadness (Republika Penerbit: 2020) ini? Bagikan pengalamanmu dan jangan lupa colek saya, ya!
Ngomong-ngomong, ternyata bulan ini adalah tepat satu tahun setelah buku ini diterbitkan. Cetakan pertamanya ada di oktober tahun 2020. Persis, saya punya cetakan pertama!Â
Hanya saja saya mendapatkan buku ini belum lama. Mungkin sedikit terlambat, namun tidak apalah. Lebih baik daripada kamu kan? Yang enggak memiliki buku ini? Hehehe, bercanda!
1. Awal kenal buku SADNESS: Teman Bersedih
Racun, memang! Bisa-bisanya teman yang biasa saya panggil Kak Irvandi, dia dapat kiriman buku ini dari penerbit. Dia membacanya, memamerkan foto buku di cerita WhatsApp dan Instagram (saya melihatnya), dan dalam sekejap, ulasannya sudah tayang di media sosialnya!
Hal yang membuat gregetan adalah saat dia memamerkan buku ini lewat pesan pribadi. Seolah-olah dia adalah orang pertama yang telah membaca buku ini. Haisss...! Padahal dia juga membaca Sadness ini di tahun 2021. Satu tahun sudah lamanya setelah buku ini pertama kali diterbitkan! Sadar diri hey!
(Tapi tenang, Kak Irvandi itu teman baik saya kok. Tulisan di sini dalam artian positif, ya.)
Walaupun memang, sih. Buku ini terlihat menarik jika dilihat secara berjarak (saat saya belum punya). Apalagi foto dan ulasannya sering berseliweran di Instagram. Entah dari akun penerbitnya sendiri maupun akun-akun teman saya.
Lantas setelahnya, lingkaran setan pembaca buku dimulai. Saya menjadi semakin tertarik dan ingin mengangkut buku ini cepat-cepat. Dan setelah buku ini datang (setelah menunggu dalam penasaran agak lama), yeay! Teman saya yang lainnya mencolek Instagram. Dia bertanya pada saya,
"Buku ini bagus apa nggak? Aku pengen beli juga," katanya.
Sontak, saya merasa jadi orang yang paling beruntung karena memiliki buku ini terlebih dulu daripada dia. Hahaha. Rasa sombong dan angkuh pun muncul, dan keinginan menyelesaikan buku ini timbul dalam waktu yang signifikan. Bahkan, saya ingin sekali berteriak dalam canda dan tawa saking senangnya,
"Pembaca terakhir buku ini adalah telur busuuuuk...!! Hahaha"
2. Pengalaman membaca
Awalnya saya ingin berkata apabila membaca buku ini: menyenangkan atau tidak menyenangkan. Lalu saya beri alasan kenapa saya berpendapat seperti itu. Cukup simple dituliskan lah ya, bagi orang yang malas menulis. Namun urung, agaknya saya lebih memilih menjelaskannya lebih rinci. Agar kalian sedikit paham mengenai apa yang saya rasakan sepanjang membaca karya Wafi Hakim satu ini.
Agar juga, setelah saya rajin berbagi cerita mengenai pengalaman membaca, kita bisa menjadi reading buddy barangkali.Â
Ehm. Jadi awalnya membaca buku ini saya dibuat bingung tidak karuan. Padahal saya sudah membaca pengantar buku ini tuntas. Tapi tetap saja bingung saya rasakan dan terus bertanya-tanya bagaimana memahami isi dari yang disampaikan oleh penulis. Hal seperti ini sejujurnya sering saya alami dan bisa dikatakan wajar.
Saya tetap melanjutkan membaca sedikit demi sedikit setiap malam menjelang tidur. Bertahap dan lembar demi lembar mulai saya lumat, lalu menyusul lembaran-lembaran lain di belakangnya.
Setelah cukup banyak yang saya baca dan menimang-nimang: buku ini sebenarnya maksudnya bagaimana. Akhirnya saya memahami jika Sadness ini gaya penulisannya mirip seperti La Tahzan karya Aid al-Qarni. Kita bisa membacanya secara terpisah. Alasan kenapa saya bingung memahami telah terjawab!
Setelah itu, saya menjadi semakin mudah memahami hal-hal yang disampaikan oleh penulis. Jika awalnya membaca buku ini berurutan, saya mulai mencari tema-tema yang lebih cocok dengan saya. Maklum, ada banyak sekali tema yang diberikan oleh penulis.Â
Misalnya: kehilangan, kematian, persiapan, anak, orang tua, dan sejenisnya. Sedangkan beberapa tema pastinya tidak relevan dengan saya (misalnya: orang tua).
Saya mencocok-cocokkan apa yang disampaikan buku ini dengan situasi saya. Apakah buku ini cocok dengan saya. Apakah isinya seperti kehidupan saya. Apa yang saya belum ketahui dan bisa diambil dari buku ini, dan masih banyak lainnya.
Lalu akhirnya, hari sabtu (2/10) yang lalu saya menyelesaikannya. Buku ini sudah ada di tangan saya sejak 30 Agustus lalu, cukup lama penantian buku ini menunggu giliran untuk dibaca. Sedangkan selain SADNESS: Teman Bersedih, ada juga buku kedua Wafi Hqkim Al-Shidqy berjudul Ketika Rembulan Insecure di tangan saya.
3. Penulis yang ramah
Setelah penasaran dengan isi bukunya, saya mulai menelusuri hal-hal lain. Identitas atau data-data tentang buku ini, buku-buku lain dari Republika Penerbit, siapa penulis buku ini, hingga bagaimana kehidupan personal dari Wafi Hakim lewat media sosialnya.
Saat tiba-tiba melihat penulis melakukan live Instagram, buru-buru saya bergabung. Ingin melihat bagaimana sosok penulis di balik buku yang saya baca. Bagaimana penampilannya, bagaimana tutur bahasanya, apa yang dia lakukan dan apapun yang bisa digali dan dipelajari.
Saya menyapanya, dan ternyata penulis buku ini masih tergolong muda. Jika tidak salah, umurnya kisaran seperempat abad. Jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya. Dan dia adalah orang yang cukup ramah saat menanggapi beberapa pemirsa instagramnya seperti saya. Katanya, dia sedang menulis buku ketiganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H