Mohon tunggu...
drom mobi
drom mobi Mohon Tunggu... -

Memfasilitasi pertukaran pemikiran, inovasi teknologi yang mendorong gerakan literasi di Indonesia, pembentukan komunitas maya atas karya pustaka, komunikasi para penulis dengan para pembaca. Sekaligus membangun komunitas mobi yang berpengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Jembatan Suramadu, Respon Ulama Terhadap Industrialisasi” – Muthmainnah

3 Juni 2010   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal tahun 1991, masyarakat Madura dikejutkan oleh berita gembira. Saat itu, isu-isu tentang akan dibangunnya jembatan Surabaya-Madura (selanjutnya akan ditulis jembatan Suramadu) menjadi headline di hampir semua media di Indonesia. Isu itu, ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No. 55/1990 tanggal 14 Desember 1990 memutuskan untuk membangun jembatan Suramadu. Semula, masyarakat Madura mengira jembatan Suramadu akan dibangun semata-mata untuk tujuan memperlancar arus transportasi. Namun melalui Keppres RI No. 55/1990, pemerintah menetapkan bahwa pembangunan jembatan Suramadu perlu diikuti dengan pembangunan kawasan industri di daerah sekitar jembatan itu dibangun. Ini berarti bahwa pembangunan jembatan Suramadu dan industrialisasi Madura dijadikan satu paket. Artinya, tanpa industrialisasi, tak ada jembatan. About The Author: Muthmainnah, lahir di Bangkalan 2 Desember 1970. Selepas menempuh pendidikan dasar hingga menengah di tanah kelahirannya, pada tahun 1990 ia kuliah di Jurusan ilmu Sosiatri Fisipol UGM. Pada semester akhir (tahun 1995) bersama CRI Alocita mengadakan penelitian tentang Local Leader di Madura. Penelitian itu diteruskannya,untuk menyusun skripsi dan mendapat bantuan dana dari Litbang Kompas. Seusai kuliah, beberapa kali terlibat dalam penelitian di Madura. Dan Kini, sedang studi Sosiologi di Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. Review: Sepanjang buku ini akan terlihat konflik antara Pemerintah dan ulama, antara ratoh (raja, birokrasi, pemerintah) dan guruh (guru, kyai, ulama). Pemerintah yang sekarang adalah pewaris birokrasi terdahulu yang akar ke bawahnya tidak kokoh, dan sebaliknya ketergantungannya. pada sebuah ”pusat” politik sangat kuat. Mula-mula pusatnya adalah Mataram, lalu pada VOC dan Pemerintah Hindia Belanda, dan kemudian pada Pemerintah Pusat RI. Akar ke bawah yang tidak kuat itu bisa dicari penjelasannya pada kelangkaan sumber-sumber alamnya, karena Madura mempunyai ekologi tegalan yang kurang menguntungkan dibandingkan sawah. Sekarang ini ketidakmengakaran itu pastilah dapat dilihat pada perbandingan alokasi APBN dan APBD untuk proyek-proyek. Sebaliknya, ulama mempunyai akar ke bawah yang kokoh di Madura. [Dr. Kuntowijoyo - Budayawan & Sejarahwan] Koleksi buku mobi lainnya dapat Anda baca di drom.mobi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun