[caption id="attachment_111659" align="aligncenter" width="526" caption="www.google.com"][/caption]
Masih ingatkah anda di tahun 80-90an dengan prilaku seseorang yang setiap dijalanan selalu mengaku jika dia adalah polisi, tidak memakai seragam polisi, selalu menonjolkan senjatanya, rambut cepak mengkilat, selalu memakai jaket kulit warna hitam. Ya itu adalah intel melayu alias aparat berpakaian preman. Tapi kini sudah berbeda cara dalam berpenampilan, berbeda tapi masih terlihat kebodohannya, gerak-geriknya. Bahkan dalam dunia maya "intel melayu" masih terlihat kebodohannya, gerak-geriknya. Intel melayu biasanya dijadikan alat oleh para penguasa dalam melancarkan keinginan si penguasa. Dia akan menurut dan mengikuti apa yang "dipesan" oleh si penguasa melalui komandannya.
Jika dalam orde baru ada seorang pengkritik, maka si pengkritik kritis itu akan dibumihanguskan, ditiadakan. Hal itu demi menyelamatkan tampuk kekuasaan agar dapat terus berkuasa sampai waktunya. Kini jaman telah berubah semenjak reformasi, demokrasi menjadi keyakinan baru bagi kaum pecinta kebebasan. Dalam hal mempertahankan kekuasaan suatu rezim membuat taktik maupun strategi baru untuk tetap dapat berkuasa, kini cara-cara represif perlahan-lahan (walupun masih ada) mulai ditinggalkan.
Metamorfosis Intel Melayu Dalam dunia intelejen seorang intel mempunyai beberapa tugas utama, yaitu mendengar informasi, mencari informasi, kemudian mengelolanya. Seorang intelejen akan mengelola suatu opini hingga mendapat fakta datanya, misal; Nazarudin membuat testimoni melalui Singapura. Dari opini itu yang diambil datanya adalah "Singapura" kemudian diselidiki apakah benar Nazarudin keberadaannya di Singapura, persoalan dia membuat testimoni itu urusan lain. Fakta yang didapat adalah Nazarudin berada di Singapura. Jika dalam orde baru intelejen lebih represif maka dalam era reformasi saat ini intelejen dirubah menjadi lebih berintelektual, mampu mengolah data sedemikian rupa, hingga mampu membalikan opini berdasar data yang ada. Kini intelejen bukan lagi mendengar, mencari dan mengelola informasi, tetapi membalikan atau membelokan opini-opini yang berkembang di masyarakat dan media.
Politik dan Intelejen BIN sebagai lembaga intelejen di indonesia bukanlah sebagai alat negara, tetapi dia adalah alat penguasa atau rezim, hal ini terlihat ketika Kepala BIN diangkat langsung oleh presiden. Maka BIN bukanlah sebagai lembaga yang mempertahankan Negara Republik Indonesia tetapi mempertahankan kepala negara agar tetap dapat berkuasa.
Intel Melayu Kekinian Disaat tampuk kekuasaan "goyang" akibat opini menyudutkan yang berkembang dimasyarakat, maka sang penguasa perlu menyeimbangkan kedudukannya agar tidak merenggut posisinya. Disaat inilah sang penguasa memakai intelejen untuk membelokan opini-opini yang telah berkembang di masyarakat. Intelejen tidak akan membuat opini tandingan yang berlawanan, tetapi sang intelejen akan mengikuti alur opini dan membelokannya, hingga masyarakat menjadi kebingungan terhadap opini yang berkembang, yang pada akhirnya masyarakat bosan dan jenuh akan opini-opini tersebut. Saat kejenuhan itulah pengalihan isu digulirkan, karena secara psikologis seseorang akan mencari hal-hal yang baru ketika hal yang lama sudah terasa membosankan. Akhirnya sang penguasa selamat dari opini-opini yang menyudutkan dirinya. Perkara selesai.
Bagaimana dengan kasus Nazarudin? Tetaplah berpegang atas data informasi yang benar, buang ke tong sampah opini-opini yang tidak jelas. Acuhkan juga orang yang mengaku-ngaku Nazarudin di jejaring sosial internet. Minta pemimpin yang Ksatria itu menyelesaikan persoalan, bukan malah membiarkan opini-opini kardus terus bergentayangan di masyarakat.
Ini bukan kajian ilmiah, hanya analisa kacangan ala warung kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H