Tuan dan nyonya yang terhormat,
Masih ingatkah masa empat ratus tahun yang lalu, masa-masa dimana nusantara terjajah oleh imperialisme yang digagas oleh kompeni Nederlandsch. De jure dan de facto seluruh tanah adalah kepemilikan tuan-tuan kompeni Nederlandsch, suatu perluasaan kekuasaan imperium. Perjanjian-perjanjian ditandatangani dengan cap darah, keringat, serta keperawanan pribumi yang diwakilkan oleh penguasa-penguasa tamak dan korup. Dari rempah-rempah hingga permata, dari balita hingga setengah baya, semuanya dirampas paksa, demi kesejahteraan katanya.
Tak perlu kami uraikan lagi sejarah-sejarah perjalanan bangsa, bukankah tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang lebih paham tentang nusantara. Karenanya, tak perlu kami mengajarkan betapa pahitnya orang-orang kala itu menjadi budak di istana sendiri. Kami hanya memastikan tuan dan nyonya sekalian masih bisa mengingat perjalanan panjang bangsa yang nestapa.
Merdeka...Merdeka...Merdeka!
Soekarnoe telah memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia merdeka! Katanya, atas nama bangsa Indonesia; Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Tuan dan nyonya yang terhormat, sudahkah segala bentuk penjajahan dihapuskan, bahwa kita secara sadar telah merdeka penuh. Kami bukan berburuk sangka, tidak juga tidak menaruh kepercayaan kepada tuan dan nyonya sekalian. Ini adalah kegelisahan kami sebagai anak bangsa yang dilahirkan di tanah air sendiri, yang kemudian mati tetapi masih bersusah payah mencari sejengkal tanah untuk membuang jasad kami sendiri. Mencari makan dengan mengais-ngais sampah di sawah kami sendiri, mencari minum dengan biaya sendiri padahal dibelakang rumah kami berlimpah-ruah mata air.
Maafkan kami tuan dan nyonya sekalian, kami hanya ingin sekadar bertanya. Dimanakah rumah kami, bumi masih menjadi lantai dan angkasa masih menjadi atap, dengan riuh-rendahnya angin menjadi dinding-dinding pembatas diantara kami. Dimanakah orang tua kami, seharusnya kami masih bisa mengenyam pendidikan yang layak, untuk mencita-citakan impian kami di masa depan. Maaf seribu maaf, kami masih merasa di pengasingan, seperti perantauan di negeri orang.
Mereka...Mereka...Mereka!
Kami bukanlah musuh kalian, kami hanyalah segerombolan tengik yang menajiskan kaki-kaki kalian. Sekelompok benalu, yang akan mati ketika pepohonan mulai kering di musim kemarau. Kami masih anak negeri, dilahirkan lalu dikuburkan dalam lubang-lubang tak bertepi, kemudian dilupakan tanpa batu nisan di kuburan kami. Merekalah musuh kalian, penjajah berwajah baru demi mengeruk keuntungan. Imperialisme modern yang merampas segala milik kami, ditanah kami sendiri. Duka kami hanyalah tragedi; kehilangan dan perjuangan untuk mendapat sesuatu yang seharusnya milik kami.
Inilah surat(an) kami, anak-anak negeri untuk tuan dan nyonya penguasa di republik presidensial(an), kami harap tuan dan nyonya sekalian memperhatikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H