Sabtu lalu (25/12/2021), setelah mengumpulkan segala rasa sedih dari segala penjuru akhirnya saya memberanikan diri kembali ke Yogyakarta. Dengan segala macam rasa rindu dan ribuan keping kenangan, saya jajakan kembali kaki ini setelah 8 jam berkendara.Â
Meski telah saya tinggalkan selama hampir 6 bulan lamanya, segala macam penjuru seolah masih menyapa. Dekapanya saat saya datang memang tidak sehangat dulu. Entah saya yang terlalu menikmati ribuan celah rindu atau memang saya yang terlalu meromantisasi keadaan.
Bagi saya, kedatangan kali ini bukan saja untuk melihat segala rekaan kejadian yang telah berlalu. Lebih dari itu, saya pun rindu bertemu teman-teman lama di lembaga yang bisa dibilang membuat saya bisa bertahan hidup hingga saat ini dari menulis.Â
Desember ini, lembaga yang saya cintai ini memiliki agenda perubahan pengurus.Â
Ritual ini memang agenda wajib tahunan. Selain sebagai salah satu cara regenerasi, agenda ini juga terkadang membuat kami dapat kembali saling bertemu dan berbagi tawa.Â
Pada kesempatan yang sempit, saya lebih sering berkeluh kesah perihal hidup pada teman yang saya anggap lebih paham atas berbagai hal yang telah atau tengah saya lalui.
Agenda tahunan ini juga sedikit berubah bentuk sejak adanya Pandemic. Peserta tidak perlu datang jauh-jauh ke tempat musyawarah. Cukup gunakan smartphone, unduh aplikasi rapat daring, dan bergabung.Â
Sesederhana dan senyaman itu agenda tersebut dua tahun belakangan ini. Meski demikian, saya tetap menganggap teknologi tersebut tidak dapat menggantikan sepenuhnya rasa saat kita datang secara langsung.Â
Melihat rekan-rekan yang lebih muda, semangat yang membara, dialektika yang berubah, dan berbagai macam hal lainya yang niscahya tidak bisa didapatkan dari sekedar setor muka di aplikasi rapat daring.
Dialog-dialog kritis juga kerap kali terjadi. Dialog yang menjadi arena pertarungan pemikiran baru dan pemikiran lama. Dialog yang acap kali membantu saya menyandingkan dan membandingkan relevansi pola pikir antara anggota lama dan anggota baru.Â