"Srengg, srengg, ...". Bunyi wajan beradu dengan peralatan masak lain di pagi hari di penghujung ramadhan. Bau khas makanan lebaran menyeruak di ruang keluarga kami yang sederhana. Sejak pukul 08.00, ibu begitu bersemangat di dapur. Segala peralatan telah dia persiapkan sebelumnya. Rencananya, dia akan membuat beberapa hidangan sederhana untuk kami santap, esok setelah menunaikan sholat Ied di rumah.
Lebaran kali ini memang sedikit berbeda dari sebelumnya. Gegap gempita hari kemenangan tidak kami rayakan sepenuhnya dengan keluarga besar yang tinggal jauh di luar kota kami. Juga, pemandangan lumrah tiap tahun, dimana beragam plat kendaraan mulai dari mobil hingga motor yang mewarnai jalan kampungku, kini tidak terlihat.
Pukul 12.00 siang, di tengah terik matahari, aku berpangku tangan depan dinding tembok hijau di sebuah kursi malas mengenangkan lebaran tahun kemarin. Masih kuingat, hari terakhir ramadhan adalah hari paling gemebyar di kampungku. Beragam kegiatan masyarakat hadir. Dari menyiapkan ragam makanan khas, hingga banyaknya lalu lalang kendaraan mengunjungi sanak saudara untuk memberi sedikit rezeki dan berziarah kubur. Bahkan, jika ingatanku tidak keliru, akhir ramadhan adalah hari paling mainstream untuk dilakukan buka bersama.
Aku berhenti dalam lamunan kenangan yang tak lekang oleh waktu itu. Beranjak masuk melihat ibuku yang masih sibuk sendiri di dapur. Melihatnya lelah dan lesu menahan haus, aku menyuruhnya berhenti dan tidur dulu.
"Heup heula, ulah cape teuing, enjing kan lebaran. (Berhenti dulu, jangan kecapean, besok kan mau lebaran)". Seolah tidak peduli, dia masih tetap saja meneruskan pekerjaanya sembari menjawab dengan nada khasnya, "Ke kagok,saalit deui. Kan meh enjing raos mam na, (Sebentar, sedikit lagi. Biar besok enak kalau makan)".
Jawaban itu membuatku tak berkutik lagi. Ah memang, hal itu yang selalu kurindukan belakangan ini semenjak kuliah, dimana waktuku bersamanya tersita begitu banyak.
Suara bedug terdengar nyaring dari masjid yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahku. Tidak lama dari itu, kumandang suara adzan menggema, saling bersahut-sahutan. Magrib terakhir di penghujung bulan ramadhan ini, ujarku.  Tegukan air putih pertama saat maghrib memang terasa begitu nikmat. Menyegarkan juga melepas segala rasa haus dan kantuk yang aku rasai sedari siang tadi.
Selepas sholat magrib, satu persatu masjid mulai mengumandangkan takbir. Ibarat saling terhubung, kalimat takbir terus menerus menggema, tiada henti sedetikpun mengagungkan Tuhan Yang Maha Besar lagi Perkasa.
Kumandang takbir di tempatku hari ini tidak hanya berasal dari masjid, tapi juga dari posko jaga masuk untuk pencegahan COVID-19. Wajar, kota kecilku, kini tengah menyelenggarakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jilid 2.
Pukul 22.00, warga dengan masker lengkap telah riuh di posko. Dari penjuru lain, dua orang naik motor bersama, satu memakai kaos dan bersarung, satu lagi memakai baju koko dan celana panjang hitam. Di depanya, sebuah kardus bekas air kemasan diapit oleh kaki si pengendara.
Mereka berhenti, menyimpan kardus bekas air kemasan di meja yang tepat berada di depan posko.