Mohon tunggu...
Budi Gunawan Sutomo
Budi Gunawan Sutomo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Editor FISKAL.CO.ID\r\nredaksi@fiskal.co.id\r\nMobile: 081380088824\r\nBB PIN: 73EEBE66

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Partai Jokowi"

29 Januari 2014   08:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390960074913949471

Tak ada wacana politik yang begitu menyita perhatian publik selain wacana pencalonan Jokowi sebagai Capres (calon presiden) republik Indonesia. Wacana ini bahkan bergulir sepanjang tahun 2013 dan awet seperti musim hujan di bulan Januari 2014. Gubernur DKI Jakarta bernama lengkap Joko Widodo ini memenangi semua survey sebagai Capres paling populer pilihan rakyat. Gebrakannya menata ibukota senantiasa mendapat liputan hangat media massa.  Aksi blusukannya mendapat apresiasi tak hanya di akar rumput, media internasional ikut menjadikan Jokowi sebagai “media darling”. Meskipun sejatinya apa yang dilakukan Jokowi bukanlah hal yang luar biasa. Sebagai mantan Walikota Surakarta, Jokowi melakukan hal yang sama dalam menata kota Solo. Komunikasi yang guyub dengan warga lintas agama, lintas sektoral dilakukan tanpa batas kelas dalam suasana yang egaliter. Konon untuk merelokasi dan menata pedagang kaki lima di pusat kota Solo, Jokowi perlu ratusan kali bertatap muka dan bermusyawarah dengan para pedagang dan warga. Sungguh sebuah praktek politik yang sangat sederhana, dilakoni Jokowi dalam gesture yang alamiah. Turun ke bawah, menyapa para pedagang, menepuk pundak anak muda sambil tersenyum juga ditunjukkan Jokowi saat menyelesaikan masalah di waduk Pluit, Ria Rio dan Blok G Tanah Abang. Meskipun di era media canggih dewasa ini, political gesture Jokowi yang polos seringkali dituding sebagai bentuk pencitraan tingkat tinggi yang manipulatif dan karikatif. Kepemimpinan Horizontal Sekian lama kita mengenal pemimpin sebagai sosok yang maha tinggi, berdiri dan duduk di atas, berjarak dengan rakyat. Bahkan saat sang pemimpin atau pejabat turun ke bawah meninjau langsung masalah, rakyat punya penilaian miring seraya menduga ada kepentingan di balik udang. Dalam konteks ini momentum pemilu menjadi contoh paling nyata. Rakyat didekati hanya karena dihitung kepalanya bukan suaranya apalagi jiwanya. Kemudian datang era demokrasi populis dimana pemimpin harus populis. Rakyat yang makin cerdas kini bebas komentar, berpendapat, berunjuk rasa, mengkritik bahkan menuntut. Pemimpin dan para calon pemimpin dituntut untuk bisa melayani kepentingan rakyat bukan dilayani. Tak ayal para politisi berlomba menjadi yang terdepan dalam membela kepentingan rakyat demi meraih citra sebagai pemimpin yang merakyat. Namun ternyata, politik pencitraan itu sangat menyakitkan. Seperti penyakit, manis-manis di depan, diabetes kemudian. Rakyat yang kerap disuguhi janji-janji manis kampanye, retorika yang membuai, drama politik pepesan kosong, mulai awas terhadap kemunculan aktor-aktor baru di panggung politik. Dari perspektif inilah sebagian “mewaspadai” kehadiran Jokowi sebagai pencitraan tingkat tinggi yang pada gilirannya tak berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Tak ada perubahan berarti kecuali pergantian kekuasaan. Terlepas dari apa yang akan terjadi nanti-nanti, hari ini Jokowi menjadi ikon pemimpin egaliter dalam arti sesungguhnya. Jokowi bukanlah pemimpin hebat yang berperawakan tinggi besar dengan penampilan karismatik. Lalu apa yang membuat Jokowi begitu dikagumi banyak orang padahal ia bukanlah orator ulung sebagaimana pemimpin besar revolusi, Bung Karno pada tempo doeloe atau presiden kulit hitam Barack Obama di masa kini. Gaya bertuturnya sama sederhananya dengan penampakkannya yang kurus dan ndeso. Jokowi sendiri mendefinisikan dirinya sendiri sebagai model kepemimpinan horizontal. Kepemimpinan yang menurutnya sangat dibutuhkan saat ini setelah kesenjangan menjadi menu masyarakat selama bertahun-tahun. Kondisi ini didukung munculnya beragam media dan teknologi informasi super canggih  yang mampu menembus batas-batas struktural, sektoral, teritorial. Internet, gadget dan media sosial seolah membuat dunia tak lagi bulat, melainkan rata seperti Anda menonton dunia melalui layar monitor. Semuanya sejajar dan bisa menyapa satu sama lain. Jika seorang Ibu Negara bisa saling bertegur sapa dengan anak SMA di Instagram, maka Jokowi membuktikannya di dunia nyata setiap hari setiap waktu (real time online). Bagi Jokowi, meskipun “kasta ekonomi” telah terbentuk sedemikian rupa, pemimpin tetap harus membaca dan mendengar langsung apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat,  mengenal siapa rakyatnya, membaca imajinasinya, harapan, pesan, dan pikirannya. Hal inilah yang melatarbelakangi aksi blusukan yang dilakoninya setiap hari. Bukan dalam konteks artifisial, blusukan seolah menjadi protap (prosedur tetap) bagi Jokowi dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Inilah salah satu keunggulan Jokowi, penguasaan lapangan, praktek lapangan yang belum tentu dimiliki pemimpin sekolahan lain yang seringkali mengandalkan teori-teori baik dalam menyelesaikan masalah maupun pembangunan. Partai Jokowi Jika Jokowi sebagai sebuah istilah ia adalah harapan masyarakat akan perubahan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik. Jokowi adalah terminologi politik yang menggambarkan kerinduan terhadap pemimpin yang merakyat, egaliter, sederhana tapi mampu menyelesaikan masalah masyarakat. Tak harus pandai berorasi, bergelar jenderal, pengusaha kaya raya atau profesor doktor selama ia selalu berpihak pada kepentingan rakyat kebanyakan. Ekspektasi tersebut pada kenyataannya lebih besar daripada nama Jokowi sebagai figur Capres. Tak heran jika di tahun politik ini banyak yang “memaksa” Jokowi untuk “naik kelas”. Padahal ia sendiri harus merampungkan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai tahun 2017. Beberapa kalangan yang menyangsikan kepemimpinan Jokowi di level nasional dan internasional menjadi bukti  bahwa “nama besarnya tak sebesar orangnya”. Entah karena media yang membesar-besarkan atau karena harapan rakyat yang makin membesar dari hari ke hari. Faktanya beban besar itu kini disandang Jokowi. Rakyat mendaulatnya sebagai Capres! Jokowi bukanlah sekedar momentum politik, ia adalah momentum perubahan jika dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat. Kesadaran untuk merubah keadaan secara bersama-sama. Penulis tak ambil pusing dengan menghitung kancing, maju-tidaknya Jokowi sebagai Capres 2014. Tokh, partai punya hitungan sendiri dalam konteks untung-rugi. Lagi pula menyandarkan nasib bangsa pada seorang figur bukanlah keputusan bijak. Seolah bangsa ini tak pernah beranjak dari sejarah pengkultusan individu “orang-orang besar yang membuat sejarah”. Kenyataan ini seolah membenarkan memang tak pernah ada partai dalam arti organisasi modern di Indonesia, yang ada hanyalah tokoh dikerumuni massa. Sistem yang dirancang-bangun sedemikian rupa sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi tak mengubah struktur paternalistik tradisi patron-klien di masyarakat. Demokrasi yang baik tentu mengandalkan sistem bukan orang per orang. Bisa saja Jokowi dijadikan instrumen perubahan untuk mengusung ide-ide kerakyatan ke tengah panggung politik. Apalagi sudah terbukti kharisma Jokowi memiliki daya magnetis luar biasa di mata masyarakat. Munculnya fenomena relawan militan pendukung Jokowi di luar PDI Perjuangan bahkan sudah terjadi sejak Pilkada 2012 lalu. Inilah gerakan dukungan alamiah yang ditunjukkan warga secara terorganisir, massif dan terutama sukarela. Meskipun orientasi gerakan masih bersifat paternalistik dan figuristik, bukan kesadaran sistemik. Meski demikian menumpangi popularitas Jokowi dengan memasukkan agenda-agenda kerakyatan menjadi pilihan strategis bagi gerakan. Jika yang lain harus mengutak-atik ideologi untuk dijadikan instrumen perubahan sosial dalam upaya menggerakkan kesadaran massa, maka saat ini rakyat punya Jokowi yang sederhana tapi fenomenal. Hanya satu kelemahannya, ia bukan pimpinan Parpol.

Budi Gunawan S - Editor Politik di fiskal.co.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun