Jogja memang luar biasa dan istimewa. Beberapa peristiwa yang terjadi di sana kerap menyita mata dunia. Dua kali bencana menerpa daerah istimewa (merapi 2010, gempa 2004), dua kali pula jogja mengundang kepedulian hingga ke mancanegara.
Nikmati bersama suasana Jogja yang kali ini sedang gegap gempita mempertahankan tahta sang raja dalam rangka mereaksi Jakarta punya cerita.
Cerita yang memang berawal dari Jakarta. Kala itu SiBuya dengan PD-nya bersabda mengenai adanya ancaman monarkhi di dalam negara. Sehingga sejalan dengan apa yang sedang dirumuskan di gedung parlementaria, Presiden kita menekankan tentang perlunya mengorek(-ngorek)si keistimewaan Yogyakarta.
Salah satunya ialah menyoal kedudukan Sultan sebagai Gubernur. Sesuai amanat nagari nomer sekian, seluruh kepala daerah di nusantara harus dipilih rakyat melalui pemilihan langsung. Sedangkan warga Jogjakarta selama ini mendapati Gubernur dan Wakilnya secara given.
Pro-kontra pun bergulir bak bola salju yang kemudian memicu gelombang aksi demonstrasi ribuan orang. Perang wacana dihembuskan, pendukung dimobilisasi, media massa pasang kuda-kuda dan pasukan partai hura-hura menyambutnya dengan sukacita. Kali ini dia salah langkah, mari keroyok ramai-ramai!
Dikiranya dengan berbekal hasil survey 71% rakyat jogja menghendaki pilkada ditambah iPad merk Apple dia bisa mendikte rakyat dengan sederhana. Kenyataannya justru berbanding terbalik. Karena masih banyak iPad yang lebih canggih dan lebih pantas dipamerkan di hadapan kamera. Artinya, masih banyak juga hasil survey yang menyatakan 70% atau 80% atau bahkan 99% rakyat jogja yang menginginkan penetapan. Untuk menjawab ambiguitas itu kiranya aksi kolosal ribuan massa Jogja yang menumpuk di halaman gedung DPRD perlu mendapat perhatian yang lebih patut. Artinya, iPad mana yang lebih laku?!
Sungguh Negara ini punya banyak pakar, pengamat serta tokoh yang bisa dimintai pendapat untuk mengembangkan wacana keistimewaan Jogja agar tidak melulu bermuara pada dua bipolaritas pemilihan versus penetapan. Kita yakin di antara dua kutub ekstrim di atas, terdapat opsi-opsi lain yang seyogyanya pantas mendapat tempat dalam membentuk kepemimpinan DIY di masa depan. Tapi mengapa suara-suara pro demokrasi itu nyaris tak terdengar?
Sementara tak perlu lah kita masuk dalam debat terbuka mengenai pro-kontra keistimewaan Yogyakarta, karena melorotnya citra SBY dan Partai Demokrat merupakan efek samping yang justru layak ditonton. Mundurnya adik sultan dari ketua Partai Demokrat DIY dan lantangnya suara penolakan rakyat Yogyakarta yang beresonansi nasional jelas berpengaruh negatif terhadap citra SBY dan Partai Demokratnya.
Maka sayang jika situasi ini tidak dimanfaatkan secara politik oleh partai-partai di luar demokrat. Jarang-jarang kita melihat sosok SBY yang begitu memukau dan memesona dalam setiap penampilan serta tutur kata, takluk tak berkutik dikeroyok massa rakyat secara spontan dan membabi-buta. Maksud hati ingin memeluk gunung merapi, namun apa daya abu vulkanik di mana-mana.
Anti klimaks SBY di DIY tentu tidak bagi Sultan. Jikalau paduka sultan berkenan, beliau bisa memanfaatkan situasi emosi dan psikologi massa rakyat Indonesia yang punya sejarah simpatik terhadap sosok yang teraniaya atau dizolimi. Seperti yang terjadi pada SBY di pemilu 2004 atau Megawati di pemilu 1999, tapi tidak dengan Sri Bintang Pamungkas di pemilu manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H