[caption caption="Seorang anak sedang khusu' berdoa"][/caption]Acara Jappa Joka (dalam bahasa setempat berarti jalan-jalan/hang out) di Makassar (Senin, 22/02/2016) diadakan setelah acara Cap Go Meh yang merupakan rangkaian dari peringatan tahun baru Tionghoa ditiadakan karena Dewa-Dewa meminta Cap Go Meh untuk tahun 2016 di Makassar ditiadakan. Seperti biasanya memang Cap Go Meh diadakan sekitar seminggu setelah imlek yang jatuh pada tanggal 8 Februari lalu. Sementara di daerah lain, seperti di kawasan pecinan Glodok misalnya, festival Cap Go Meh dirayakan, setelah selama 54 tahun ditiadakan.
Konon Cap Go Meh 2016 ditiadakan karena rata-rata para Dewa di beberapa kelenteng di Makassar, tidak menyetujui Cap Go Meh dilaksanakan tahun ini. Bagaimana mereka tahu? Seperti biasa, sebelum mengambil keputusan penting, pihak kelenteng melakukan tradisi Pappoe. Pappoe ini merupakan acara ritual meminta doa kepada para Dewa yang berada di kelentengnya masing-masing. Pappoe menggunakan sumpit yang berisi petunjuk-petunjuk Dewa. Saat digunakan, Pappoe ini yang berada dalam suatu wadah bambu diguncang-guncang sampai sebuah sumpit terlempar keluar wadah tersebut. Sumpit yang sudah keluar ini dibaca apa yang menjadi keinginan para Dewa tersebut. Petunjuk tersebut menjadi petunjuk yang perlu dipatuhi, karena merupakan kehendak para Dewa. Dan di tahun 2016, kehendak para Dewa adalah tidak melaksanakan Cap Go Meh. Pappoe dilaksanakan di beberapa kelenteng di Makassar dan hasilnya rata-rata semakna yaitu untuk meniadakan Cap Go Meh.
Wah ... hilang nih kesempatan untuk menikmati arak-arakan Barongsai dan patung para Dewa yang biasa diarak keliling kota Makassar saat Cap Go Meh, begitu pikir saya.
Tapi rupanya para pengurus kelenteng itu tidak meniadakan begitu saja, tidak mau mengecewakan masyarakat umum. Sebagai gantinya, mereka bersepakat menyelenggarakan festival Jappa Joka. Festival ini, yang dimulai sekitar pukul 19.00 WITA, menutup jalan utama perniagaan di Makassar, yaitu jalan Sulawesi. Di sepanjang jalan didirikan tenda di kanan-kirinya. Tenda-tenda itu berisi penjual makanan, baju dan lain-lain. Di beberapa tempat, tenda tersebut diisi dengan panggung hiburan. Panggung utama yang digunakan pula sebagai pertunjukkan barongsai terletak di awal jalan Sulawesi. Acara ini sangat diminati masyarakat Makassar. Jalan Sulawesi dipadati oleh pengunjung yang berjubel.
Tapi bagi saya, tujuan utamanya adalah menikmati budaya yang berbeda - budaya Tionghoa serta hunting foto hal-hal yang berbau imlek. Karena benda-benda kelenteng tidak dikeluarkan di arak seperti saat acara Cap Go Meh, berarti sayalah yang harus mendatanginya. Malam itu, langkah kaki dimantapkan untuk berkunjung ke dua buah kelenteng besar yang berada di Jalan Sulawesi, kelenteng Ibu Agung Bahari dan kelenteng Xian Ma.
Pengalaman saat memasuki kelenteng di Bogor, pada waktu Imlek beberapa tahun yang lalu, biasanya kami, yang bukan ke kelenteng untuk beribadah, boleh memasuki areal kelenteng dan mengambil foto - dengan catatan tidak mengganggu mereka yang sedang melakukan ibadahnya.
Kelenteng Ibu Agung Bahari yang pertama saya kunjungi. Tentu meminta izin dahulu kepada penerima tamu yang berada di depan lift. Seperti yang saya duga, mereka tidak berkeberatan atas kedatangan saya (dan juga pengunjung umum lainnya) termasuk keingingan untuk memotret didalam kelenteng. Bahkan mbak-mbak yang menjaga di situ menyebutkan tempat-tempat yang perlu dilihat didalam kelenteng, termasuk patung Ibu Agung Bahari yang sangat besar di lantai paling atas.
Di kelenteng ini malah saya dibolehkan untuk memukul genta doa yang berukuran cukup besar. Sebelum memukul genta, tradisi dalam kelenteng itu adalah yang memukul diminta untuk mengucapkan wish dulu sebelum memukul genta tersebut.
[caption caption="Pukul genta doa (1)"]
Sementara di kelenteng Xian Ma, saya datang bertepatan saat mereka memulai sembahyang, sangat beruntung sekali karena saya dapat melihat dengan jelas dan lengkap prosesi persembahyangan mereka yang dipimpin oleh seorang pendeta dan beberapa anak buahnya dengan menggunakan peralatan khas dan tradisional seperti gendang kecil, terompet dan gong kecil.
Di kedua kelenteng terdapat banyak 'pohon harapan'. Pohon ini digunakan para pengunjung/peziarah untuk menggantungkan harapan-harapan/doa-doa mereka yang telah dituliskan disehelai potongan kain kecil yang telah disiapkan. Kain-kain kecil tersebut disiapkan sesuai dengan nama Dewa yang dituju, misalnya harapan/doanya untuk Dewa keberuntungan, Dewa keselamatan, dan lain sebagainya.