Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memelihara Anak Seperti Memelihara Anak Anjing?

11 Desember 2014   18:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_340686" align="alignnone" width="300" caption="an innocent little puppy"][/caption]

Sahabat saya semasa di kampus pasca dulu di Australia, sebut saja Robyn, selalu tertarik untuk tahu tentang perkembangan Ghia (Ghia adalah my only son, sekarang berusia delapan tahun, tapi pada saat itu berusia sekitar dua tahunan). Menurut Robyn,”Bugi, buat kami di Australia sini, memiliki keyakinan bahwa punya anak itu seperti punya anak anjing (puppy). Memelihara anak itu seperti memelihara anak anjing.”

Wah, kaget juga mendengarnya. Anak manusia kok disamakan dengan anak anjing. Melihara anak kok disamakan dengan melihara anak anjing, dimana samanya? Apalagi seumur-umur belum pernah pelihara (anak) anjing.

Saya mencoba memahami ‘kultur anjing’ di Australia dan ‘I got it‘. Saya mulai mengerti filosofinya.

Anjing, di Australia dan mungkin di belahan lain western country, sudah menjadi bagian dari keluarga. Part of their family. Bagian dari keluarga besarnya. Rasa sayang mereka kepada anjing sama seperti rasa sayang mereka kepada anak mereka. Mereka melihat anjing seperti ‘manusia hanya berwujud hewan.’ Demikian pula menurut mereka, anjing adalah hewan yang paling setia kepada tuannya.

Banyak cerita bagaimana anjing menunjukkan kesetian kepada tuan atau pemiliknya. Salah satunya adalah kisah anjing setia Hachiko di Jepang. Anjing ini menunggu tuannya pulang di depan stasiun kereta api tempat ia biasa mengantar dan menjemput tuannya pergi dan pulang kerja. Padahal tuannya sudah meninggal. Anjing itu tetap melakukan rutinitasnya, berharap tuannya akan muncul. Patung anjing itupun kemudian didirikan di depan stasiun kereta api tersebut.

Anak anjing (puppy) berpolah semaunya khas anak anjing. Kadang lucu, kadang menjengkelkan (baca: menggemaskan), tapi, bagaimanapun polah mereka, mereka akan selalu terlihat lucu, dimata pemiliknya, dimata tuannya.

Kesan itu yang muncul dari penjelasan Robyn. Ketika anak anjing menyalak saat tuannya datang, kalau tuannya TIDAK MENGERTI, kesannya gonggongan anjing itu mengganggu. Padahal ia sedang ‘menyambut’ kedatangan tuannya.

Ketika anak anjing menggigit celana tuannya, kalau tuannya TIDAK MENGERTI, dikira akan merusak celana tuannya. Padahal si anak anjing tersebut sedang akan mengajak tuannya bermain-main.

Ketika anak anjing tidak mau berhenti berputar-putar disekitar tuannya, kalau tuannya TIDAK MENGERTI, anak anjing tersebut akan selalu terlihat merepotkan tuannya dan TIDAK ‘BEHAVE’ seperti anjing dewasa yang sudah dididik untuk jadi anjing yang penurut. Padahal, sekali lagi, si anak anjing itu cuma mau mengajak tuannya bermain-main.

Dalam posisi ini, si tuan diminta untuk mengerti dan menyesuaikan cara pandangnya. It’s only a puppy and what they’re doing is (always) for funny things not a serious matter. Ya, mereka cuma anak anjing, masih memerlukan proses pelatihan untuk menjadi seekor anjing dewasa yang BEHAVE.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun