[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="sumber: https://lh6.googleusercontent.com"][/caption] Jokowi dan Ahok, menurut pengamatan saya, adalah duet pasangan kepala daerah yang paling serasi dan paling 'pas' dibandingkan dengan pasangan kepala daerah-kepala daerah lain di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan duet pasangan presiden dan wakilnya. Jokowi dan Ahok menunjukkan keserasiannya, ke-pas-annya, justru dengan perbedaan-perbedaan yang diperlihatkannya. Sebagai contoh, disamping perbedaan lainnya yang tidak akan saya bahas disini, adalah yang satu lembut, tapi tegas, sementara yang satu lagi jelas memperlihatkan ketegasannya, tapi dengan diimbuhi agak 'kekasar-kasaran' sedikit, but that's fine, publik bisa menerimanya. Semua masih dalam 'selera' publik. Duet pasangan Jokowi - Ahok juga ternyata mengungkap banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, atau malah terpikir tetapi dalam logika yang terbalik dan celakanya itu yang dipahami secara umum sebagai logika yang benar. Apa saja yang saya kategorikan terbalik. Yang pertama adalah tentang waduk pluit - friksinya dengan penduduk illegal yang lama menempati kawasan tersebut. Logika kita digiring kepada opini bahwa membersihkan waduk pluit akan merugikan penduduk sekitar karena mereka harus keluar meninggalkan kawasan tersebut, hingga Komnas HAM turut pula berbicara - walau keluar dari jalur - dalam persoalan ini. Ternyata itu logika terbalik. Logika yang tidak terbalik adalah bahwa sekelompok anggota masyarakat itu menduduki kemudian tinggal di kawasan tersebut secara ilegal, secara tidak sah. Karena itu adalah tanah negara. Seharusnya mereka tidak boleh dibiarkan hingga meluas dari satu rumah, menjadi dua rumah, tiga rumah, empat rumah dan seterusnya (kelihatan nih jadinya, gubernur yang dulu-dulu, bagaimana kinerjanya ya, hingga masalah ini meluas menjadi sangat kompleks) ditambah lagi keberadaan mafia yang rupanya mengorganisir usaha-usaha di situ. Jumlah kelompok masyarakat yang akan dipindahkan tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan manfaat waduk itu bagi kepentingan pengurangan dan pencegahan banjir. Dengan pengurangan dan pencegahan banjir jutaan warga Jakarta terselamatkan, tingkat dan aktivitas ekonomi masyarakat tidak terganggu akibat datangnya banjir. Hingga secara logika, lebih manfaat mana, membiarkan sekelompok masyarakat yang melanggar hukum dan mempunyai andil menyebabkan banjir dengan mengeluarkan mereka dari kawasan waduk tapi membuka peluang tercegahnya timbulnya banjir dengan membiarkan mereka tinggal di sana tetapi jutaan warga terus dalam kerugian akibat banjir. Contoh yang kedua, yang terjadi baru-baru ini. Sekelompok pelajar membajak sebuah bis dan memukuli warga/penumpang untuk kepentingan yang tidak jelas. Pemda DKI bereaksi keras dan meminta pelajar-pelajar yang melakukan tindak kriminal tersebut dipindahkan (bukan dikeluarkan) dari sekolah asal ke sekolah baru dengan cara disebarkan, tidak disatukan dalam satu sekolah lain. Logika kita digiring oleh pendapat (termasuk KPAI - yang terlalu banyak bicara itu) yang menyatakan bahwa tindakan tersebut melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan. Ternyata logika itupun adalah sebuah logika yang terbalik. Logika yang tidak terbaliknya adalah bahwa pelajar-pelajar tersebut sudah melakukan tindak kriminal, merugikan masyarakat dan melakukan pemukulan kepada beberapa warga yang menjadi korban. Tindakan yang dilakukan sudah cukup kuat untuk membawa mereka kepada jalur hukum. Karena ada korban mereka yang tidak bersalah. Kalau kita diminta untuk memperhatikan hak pelaku-pelaku tersebut agar sesuai dengan koridor hukum, bagaimana hak-hak para korban untuk tidak mendapat perlakukan dari para kriminal tersebut, untuk naik transportasi yang aman dan nyaman serta bebas dari kriminal. Apakah para korban ini tidak dilindungi oleh undang-undang (keselamatan)? Siapa yang akan menjamin dan melindungi hak-hak warga tersebut? Logika terbalik yang ketiga, kita biasa disuguhi tingkah polah pemimpin kita. Gubernur atau pemimpin daerah sejenisnya, jika sudah menduduki jabatan tersebut, seolah-olah menjadi tidak tersentuh oleh masyarakat, duduk di menara gading dan langsung berjarak dengan jelas. Logika yang tidak terbalik, menjadi gubernur, bupati, walikota, mereka adalah, seharusnya, merupakan pelayan masyarakat, penjaga ataupun pengatur tertinggi ketertiban untuk wilayahnya, kotanya, kabupatennya dan lain sebagainya. Sehingga wajar jika seharusnya mereka lebih sering 'bersentuhan' dengan rakyatnya, dengan masyarakatnya. Mendengar dan menangani keluhan masyarakat secara proporsional. Gubernur, walikota, bupati itu adalah bapak/orang tua bagi rakyatnya. Itu baru tiga contoh dari sekian banyak logika-logika terbalik yang berseliweran di sekitar kita. Mudah-mudahan hal-hal diatas bisa menjadi refleksi kita apakah kita terbiasa pula berpikir dengan logika terbalik? Semoga tidak. Jikapun sudah terlanjur, yuk sama-sama kita perbaiki. Semoga bermanfaat. Wassalam, @kangbugi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H