Hari Minggu kemarin, 29 Oktober 2023, bertempat di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang berada di dalam kompleks TIM (Taman Ismail Marzuki), menjadi hari yang perlu dicatat bagi dunia per-novel-an di Indonesia. Karena pada hari itu, novelis mas Yon Bayu Wahyono meluncurkan novel ter-kiwari-nya, yaitu: 'Prasa' dan 'Kelir'.
Tapi bukan hanya diluncurkan, mas Yon, demikian ia biasa dipanggil, pun meminta novelnya itu dibedah, didiskusikan. Untuk mendiskusikan novelnya, pembahas-pembahas yang mumpuni di bidangnya diundang, yaitu dua orang pembahas, bapak Sunu Wasono dan bapak Isson Khairul.
Acara yang dimulai di sekitar pukul 14an itu menampilkan pula pembacaan nukilan kedua novel tersebut. Nukilan novel Kelir dibacakan oleh mbak Retno Budiningsih, sedangkan nukilan novel Prasa oleh mbak Devie Matahari. Pembacaan nukilan yang dibawakan dengan penuh penghayatan inipun memberikan gambaran, kira-kira kedua novel ini bercerita tentang apa.
Untuk memperlancar jalannya diskusi, didapuk mbak Nuyang Jaimee sebagai moderatornya. Sementara yang bertindak sebagai MC adalah tokok penyair TIM, yaitu bapak Nanang R Supriyatin.
Hadirin yang memenuhi undangan temu komunitas Click Kompasiana ini mencapai lebih dari 100 orang yang memenuhi aula ruang peluncuran dan bedah buku. Dinginnya ruang AC ruangan dapat mengimbangi hangatnya acara peluncuran dan bedah novelnya mas Yon ini. Pengemasan acara peluncuran ditata demikian apik tanpa meninggalkan kesan friendly-nya. Sebagian besar yang hadir adalah sahabat-sahabat mas Yon di dunia literasi, yaitu para Kompasianer, sebagian lagi bukan, namun tetap mendukung, dan tertarik dengan dunia literasi.
Inti dari acara peluncuran dan bedah novel itu, dikunci dengan baik oleh penulis novelnya, yaitu mas Yon, di bait terakhir acara dengan pernyataannya kurang lebih seperti ini:
"sastra harus tetap hadir dalam diri kita untuk mengisi ceruk-ceruk yang kurang atau hilang yang tidak tergantikan oleh kemajuan teknologi moderen."
Statement tersebut selaras dengan yang telah menjadi concern saya selama ini pula. Dimana, sebagai pegiat literasi, saya merasakan dan menjadi keprihatinan saya pada generasi muda kita - generasi dengan hati yang hampa - bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Walaupun kita tidak ingin hal ini terjadi, melalui pengisian ceruk-ceruk yang kosonglah, melalui hasilan karya-karya sastra, novel dan sebangsanya, yang akan mengisi kekosongan tersebut.
Saat mas Yon menyampaikan kalimat tersebut, terasa sekali kedalaman keprihatinannya bila hal itu dibiarkan demikian - membiarkan hati-hati yang hampa berkelana. Dan keprihatinannya itu dituangkannya diantaranya melalui tulisan-tulisannya di Kompasiana maupun melalui tulisan di kedua novelnya ini.
Apalagi, dengan bertambahnya usia, seperti yang diyakininya yang disampaikan di acara kemarin oleh mas Yon, bahwa dalam keyakinan budaya Jawa - termasuk di aliran kejawen, semakin sepuh manusia, semakin ada keinginan untuk 'menepi' atau bersembunyi, dengan maksud agar dapat lebih memberikan manfaat lagi serta memboboti arti kehidupan ini. Terlebih dengan filosofi Kejawen:"Sangkan paraning dumadi" yang maknanya adalah kita diingatkan dan selalu diingatkan 'darimana sebetulnya asal kita dan kemana kita kembali kelak.'