Kalau ditanya tentang 'nostalgia masa kecil di bulan Ramadan,' biasanya saya langsung teringat nasi kuning buatan ibuku. Terbayang tuh makan nasi kuning hangat-hangat, baru diangkat dari wajan penggorengan, diberi irisan gorengan tempe yang digoreng hampir-hampir sangat kering.
Belum selesai sampai di situ. Satu buah telur ceplok yang harus diusahakan merahnya - atau si mata sapinya ini tidak pecah. Setelah itu dibubuhi sedikit goreng bawang dan lalapan kacang panjang yang dalam kondisi mentah, diiris-iris seukuran telunjuk dan dalam kondisi segar telah terkena cucian air matang, mengiringi keberadaan si telor mata sapi di atas piring.
Sambal? No, tanpa sambal. Saya kebetulan adalah orang yang tidak suka sambal atau makanan yang terasa pedas. Tapi itu juga sepertinya pilih-pilih, karena kalau mie ayam - harus dengan sambalnya, walau sedikit.
Lele kremes, itu juga dengan sambal - dan saya pilih sambal matah. Mie rebus - no cabe rawit. Gorengan - juga no cabe rawit, bebek goreng - harus dengan sambal ijo, makan masakan padang juga begitu, sambal ijo wajib ada. Tapi kalau pesan gado-gado, karedok atau ketoprak, wanti-wanti ke penjualnya,"jangan pake cabe biar sebiji juga ya." Itulah rasa hehehe.
Kembali ke nasi kuning buatan ibuku tercinta, saat kecil, usia-usia SD gitu (Sekolah Dasar) itulah kesukaan saya saat Ramadan. Biasanya ibu menanyakan dulu nih ke anak-anaknya, ada yang mau dibuatkan nasi kuning untuk berbuka nanti?
Begitu jawaban 'iya' kompak diterima, biasanya ibu mulai memasaknya nggak lama sebelum beduk buka puasa tiba. Supaya saat berbuka, si nasi kuning dan isinya ini masih terasa hangat saat disantap. Saya sendiri termasuk berbuka puasa dengan langsung makan, manis-manis buka puasa setelah makan atau pulang dari Tarawih nanti disantapnya. Mungkin karena faktor kebiasaan saja ya.
Kemudian ibu menyiapkan bahan-bahan nasi kuning itu, yaitu: nasi putih, bahan-bahan untuk bumbu (kunyit, bawang merah, bawang putih, garam, merica), telur sejumlah yang ikut berbuka sore itu, tempe untuk digoreng hampir kering dan lalapan kacang panjang.
Caranya ibu memasak yang dapat disisihkan terlebih dahulu, yaitu nasi, telor ceplok dan tempe goreng. Jangan lupa telor ceplok dan tempe gorengnya dibumbui juga ya. Untuk telor ceplok cukup garam dan merica. Sementara untuk tempe goreng, biasanya disiapkan dulu bumbu rendamannya, yaitu terdiri dari, bawang putih, garam, merica dan air untuk merendam.
Sementara bumbu nasi kuning yang perlu disiapkan yaitu kunyit diiris-iris, demikian pula bawang merah dan bawang putih. Setelah wajan penggorengan panas, dimasukkan margarin (ibu tidak menggunakan minyak goreng untuk menumis bumbunya), setelah agak panas, masukkan irisan bawang merah, bawang putih dan kunyit. Tambahkan garam dan merica ke dalamnya.
Lalu masukkan nasi putih yang sudah disiapkan. Diaduk agar nasi kuningnya merata warna kuningnya. Setelah nasi kuning siap, matikan kompor. Biasanya nasi kuning diicip setelah beduk berbuka berbunyi. Kalau rasanya sudah pas (dan biasanya selalu pas, nggak perlu ditambah garam merica lagi), hidangkan di atas piring dengan diberi bawang goreng, telor ceplok dan kacang pandang. Langsung diserbu deh oleh kita semua.
Sambil menikmati nasi kuning buatan ibu, sambil merasakan juga keharuman aroma kunyit keluar dari nasi kuning itu. Walau topping nasi kuningnya tidak lengkap-lengkap sekali alias cukup sederhana - hanya diberi bawang goreng, telor ceplok, tempe goreng dan lalapan kacang panjang, dan dengan cara memasak dan bumbu yang sederhana saja, tapi kelezatan itu luar biasa enak sekali sampai terngiang-ngiang di kepala, asyik deh pokoknya.
Makan nasi kuning disaat berbuka puasa Ramadan, hangat-hangat lagi, sangat melekat di hati. Bu, nasi kuning ibu juara di hati kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H