Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggunakan 'Kekerasan' dalam Mendidik, Apakah Dibenarkan?

6 Mei 2016   06:58 Diperbarui: 6 Mei 2016   07:27 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya agak termenung sejenak mendengarkan penjelasannya itu. Terkesima dan sejenisnya lah …. Saya tidak melanjutkan pembicaraan tentang balsem, saya alihkan membicarakan topik lain dengan ibu guru tersebut.

Balsem …. Murid-murid yang nakal … reaksi murid-murid yang nakal tersebut saat diolesi balsem oleh ibu gurunya itu … rasa pedih di mulut yang teroles balsem … rasa takut yang muncul pada murid-murid itu … ah … perasaan ko menjadi tumpah ruah begini ya. Saya tiba-tiba menjadi orang yang jadi serba salah, karena saya tidak bisa menerima alasan apapun, seorang guru memberikan/mengoleskan balsem kepada murid-muridnya walau nakal sekalipun. Menurut saya itu sudah berlebihan, bu, sudah child abusesudah ada unsur kekerasannya - walau hanya menggunakan balsem - karena menimbulkan rasa ketakutan, bukan kesadaran. Nggak ada cara lain ya bu? Ko saya menjadi miris sekali ya. 

Ah, tapi kan saya hanya beberapa jam saja berada di sekolah itu, mungkin saya tidak berhak langsung menghakimi seperti itu. Mungkin guru tersebut sudah lelah mengajar di kelas yang heboh itu dengan murid-muridnya yang nakal, mungkin sudah berbagai cara pula ia lakukan tetapi tidak ada yang efektif untuk menenangkan murid-murid nakalnya itu, hingga ia menemukan ‘teknik balsem’ tersebut... entahlah.

Entah pula apakah sudah pernah ada yang mengajukan keberatan terhadap tindakan 'pembalseman' tersebut selama ini? baik dari pihak sekolah ataupun orang tua? saya tidak memiliki informasi terkait hal tersebut. Yang pasti adalah yang saya tulis ini adalah pengalaman dari yang saya dengar dan saya saksikan.

Namun dari penjelasannya, sepertinya bu guru tersebut sudah lama mempraktikan ‘teknik balsem’ tersebut. Lalu, hanya satu pertanyaan saya kemudian muncul, sudah betulkah tindakan bu Guru tersebut?

Saya salut kepada ibu guru tersebut yang mengajar dari pagi hingga petang dengan suasana kelas seperti itu. Tapi penggunaan balsem itu, tetaplah merupakan hal yang tidak lazim dan secara pribadi tidak dapat saya terima masuk sebagai bagian dari upayanya dalam 'mendidik'.

Saya kemudian teringat putra saya yang saat ini duduk di kelas tiga sekolah dasar (tapi bukan sekolah negeri). Apakah ia pernah memiliki guru seperti itu, atau pernahkah ia mengalami perlakuan seperti itu di sekolahnya? Tidak dengan balsem, tapi mungkin pukulankah, kata-kata kasarkah atau apalah yang sejenisnya?

Kemudian saya tanya istri dan putra saya itu tentang kemungkinan mengalami tindakan-tindakan yang seperti demikian di sekolah anak saya tersebut? Alhamdulillah, dari penjelasan anak dan istri saya,anak saya tidak pernah mengalami kejadian/hal-hal buruk di sekolahnya – seperti tindakan yang mengarah kepada child abuse tersebut.

Walau demikian, saya menekankan kepada anak saya, agar jangan segan-segan untuk menceritakan apapun pengalaman-pengalaman yang dialaminya di sekolah, kepada kami, orang tuanya, agar bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dapat segera diantisipasi ataupun diambil tindakan yang diperlukan.

Tentang balsem dan bu guru itu, biarlah itu menjadi bagian dari cerita pendidikan kita, wajah kita dalam kehidupan sehari-hari. Ada pihak-pihak yang lebih berkompeten menjawab/menanganinya.

Untuk saya yang terpenting, saya dan istri, sebagai orang tua, akan berusaha menjadi best friend bagi anak saya, agar dapat menjadi orang tua yang lebih terbuka serta dapat menjadi tempat cerita, tempat curcolnya anak saya itu dalam hal apapun. Biar jika ada masalah, mudah-mudahan dapat segera diketahui dan diatasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun