Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Perlu Meminta Maaf, Karena Kami Bangsa Sombong

21 Januari 2014   13:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_291200" align="alignnone" width="600" caption="Semoga ini bukan anda"][/caption] Bingung juga ketika membaca headline sebuah surat kabar beberapa waktu lalu, tentang anjuran meminta maaf bagi gubernur Jakarta (19 Januari 2014) - karena belum berhasil mengatasi banjir di DKI Jakarta. Anjuran ini digaungkan tokoh tua yang rupanya masih berupaya dengan berbagai cara untuk tampil kembali di kancah perpolitikan nasional - dari keterpurukannya karena tidak ada yang mendengarkan suaranya, kecuali partai buatannya sendiri. Untungnya sang gubernur lebih memilih untuk mengatakan,"saya nggak ngurusi yang gitu itu, saya lebih memilih bekerja saja." Singkatnya artinya bisa seperti ini, ente silahkan ngomong ape aje, tapi maaf ye ane cuekin. Ucapan mantan wakil presiden RI yang sekarang menjabat sebagai ketua umum PMI yang dimuat di harian ibukota hari ini (21 Januari 2014), cukup memberikan gambaran bahwa banjir saat ini ada pula andil gubernur DKI Jakarta sebelumnya yang tidak responsif atas apa yang telah diputuskan dan disepakati tentang penanganan banjir Jakarta, disamping penjelasan-penjelasan dari pihak lain yang mengatakan bahwa masalah banjir di DKI Jakarta bukan hanya tanggung jawab pemerintah DKI Jakarta, pemerintah daerah sekitar jakarta, terutama pemerintah pusat, punya peran dan tanggung jawabnya pula. Belum lagi karakter masyarakat yang masih membuang sampah seenaknya dan tidak pada tempatnya - inipun memiliki andil terhadap terjadinya banjir. Dulu saya termasuk pengagum tokoh tua ini, bahkan mengharapkannya untuk menjadi RI satu. Tapi lama kelamaan, memperhatikan omongannya kok sepertinya cuma layak untuk memenuhi kegaduhan politik saja, jauh dari martabatnya yang profesor politik itu. Ke-plin-plan-annya, kengawurannya (kalau boleh saya katakan banyak pendapatnya yang sepertinya as-bun: asal bunyi saja). Lihat saja - contohnya - pendapatnya pada saat menjelang pemilihan gubernur DKI lalu. Keberpihakannya kepada gubernur incumbent menyebabkan beliaunya mengeluarkan statement-statement yang diluar kewajaran, bahkan cenderung kepada pembunuhan karakter. Tapi lihat sekarang, demi partainya untuk pemilu 2014, mengeluarkan sinyal-sinyal untuk menduetkan putra mahkota berambut peraknya dengan sang gubernur DKI terpilih - yang digadang-gadang akan menjadi calon presiden pula diusung partai lain ini, yang dulu diserangnya, dijelek-jelekkannya. Itu satu hal. Hal lain, kalau kita ingat terkait dengan proses menaikkan dan menurunkan presiden keempat RI waktu ia menjabat menjadi ketua MPR RI, ia memiliki andil yang cukup besar - walau sepertinya tidak tampak ke permukaan. Hasilnya kemudian, tidak juga menjadi lebih baik. Kalau diparalelkan dengan anjurannya agar si gubernur DKI ini meminta maaf, tentu saya akan meminta si mbah ini untuk terlebih dahulu meminta maaf, terutama atas ucapan-ucapannya yang banyak tidak terbukti. Terutama meminta maaf kepada konstituennya. Apa ini dilakukannya? Pun, menyambung permasalahan banjir di DKI Jakarta yang masih terus terjadi, apakah gubernur DKI Jakarta terdahulu minta maaf? Apakah pemerintah pusat minta maaf? Apakah pemerintah daerah sekitar DKI Jakarta yang memiliki andil pula terhadap banjir di Jakarta (contoh: pembiaran terhadap bangunan vila-vila mewah didaerah resapan air) juga meminta maaf? Masyarakat yang membuang sampah seenaknya, apakah meminta maaf? Rasanya saya tidak menyesal tidak melihat ndoro kakung ini menjadi RI satu, walau RI satu yang sekarang tidak lebih baik pula, tapi menurut saya, yang sekarang, masih menunjukkan karakter yang lebih baik dari yang telah disebutkan di atas. Lagipula, si mbah ndoro kakung dan juga mungkin termasuk kita semua, rupanya mungkin belum ngeh, kalau meminta maaf, belum menjadi budaya atau membudaya di Indonesia. Biarpun sudah terang-terangan kesalahannya. Beberapa contoh kecil disekeliling kita:

  • Di supermarket, mengembalikan kembalian dengan permen atau bahkan tidak mengembalikan uang kecil - ini salah, apa meminta maaf?
  • Sedang antri di depan kasir, menyerobot seenaknya - mengambil hak mereka yang sudah antri, ini salah, apa meminta maaf?
  • Pejalan kaki menyebrang jalan, bukannya diberi jalan, tapi malah diklakson supaya minggir - padahal di zebra cross, ini salah, apa meminta maaf?
  • Angkot/angkutan umum di sekitar terminal, menunggu penumpang (ngetem) seenaknya, di depan letter S coret (tanda dilarang berhenti), ada petugas? Ada tapi tidak bertindak, katanya sudah 'setor', ini salah, apa meminta maaf?
  • Setiap ganti tahun ajaran, buku-buku bekas kakak tidak bisa dipakai lagi oleh adiknya karena berganti kurikulum berganti buku, ini diamini oleh Kemendikbud tapi memberatkan para orang tua, ini salah, apa meminta maaf?
  • Mobil boleh bagus, branded, berharga mahal, tapi tetap membuka jendela untuk membuang sampah ke jalan, karena menganggap jalan adalah tempat sampah umum terpanjang, ini salah, apa meminta maaf?
  • Pembuang sampah ke sungai yang menjadi pengungsi di saat banjir, menuntut ini itu agar pemerintah menangani banjir dengan serius, tanpa menyadari dirinya turut andil dalam banjir ini, ini salah, apa meminta maaf?
  • Dan lain sebagainya.

Itu baru beberapa contoh, untuk contoh-contoh lain, mungkin anda bisa membantu menambah panjang daftarnya? Kita bangsa sombong, apalagi untuk atas nama kepentingan diri sendiri, keluarga dan golongan harus didahulukan. Untuk atas nama kepentingan orang lain ataupun masyarakat banyak? Nanti dululah. Itu ada di urutan kesekian. Jadi lebih baik kita (dianjurkan) untuk mengintrospeksi diri, bukan meminta maaf, karena kita (masih menjadi) bangsa yang sombong. Semoga bermanfaat dan semoga kita akan lebih baik di masa depan. Bogor, 21 Januari 2014 (ditengah rintiknya hujan dan kekhawatiran akan banjir kiriman dari Bogor ke Jakarta) @kangbugi [sumber foto: http://blog.djarumbeasiswaplus.org/gestinuruladeraputri/?p=173]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun