[caption id="attachment_294889" align="alignright" width="300" caption="Sumber: SBS Two"][/caption] Benar omongan teman saya bernama Levent, yang asal Turki tetapi sudah menjadi WNA (Warga Negara Australia) itu, sewaktu di Australia heboh sejumlah pasukannya yang dikirim untuk turut bertempur di Afganistan tewas di medan perang Afganistan. Heboh karena keluarga dan juga negara secara umum merasakan kehilangan, juga protes-protes dari anggota masyarakat lain yang muncul meminta agar pengiriman pasukan ke Afganistan tidak diteruskan. Permintaan ini juga diperkuat dengan kenyataan bahwa Australia terus ‘kedatangan' pengungsi dari Afganistan (istilah mereka adalah ‘asylum seeker') untuk mencari penghidupan yang lebih baik di Australia. "Kalau mereka (pengungsi Afganistan) terus berdatangan ke Australia, untuk bersenang-senang, hidup lebih baik, mengapa kita harus terus mengirim putra-putra terbaik kita ke sana?" begitu kira-kira pendapat umum yang berkembang. Omongan teman saya yang saya katakana benar itu di atas adalah seperti ini,"lihat itu, mereka (warga Australia maksudnya), sibuk menyesali kehilangan atas tewasnya prajurit-prajurit mereka di Afganistan. Jumlah yang tentara mereka yang tewas berapa? Apakah mereka pernah bertanya kepada diri mereka sendiri, berapa banyak warga Afganistan yang sebetulnya sudah mereka bunuh, apalagi belakangan ada sejumlah tentara Australia yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap rakyat sipil di Afganistan." Termasuk juga hebohnya bocoran tayangan perang di Wikileaks, yang menggambarkan bagaimana tentara-tentara menembaki warga sipil. Film yang saya tonton beberapa hari lalu di saluran TV SBS TWO, dengan judul Flanders yang merupakan produksi Perancis mencoba menggambarkan sebagian kecil dari situasi perang di salah satu negara, yang tidak dengan jelas disebutkan nama negaranya, tetapi berlatar belakang mirip Afganistan. Dalam film itu digambarkan sejumlah pemuda Perancis yang direkrut untuk diterjunkan dalam medan perang tersebut. Prajurit Perancis dalam film itu, selama peperangan, diperlihatkan membunuh anak-anak remaja, melakukan perkosaan kepada wanita serta membunuh warga sipil yang sedang melintas. Tidak terjadi investigasi sebelum penembakan apakah warga itu adalah anggota dari organisasi dimaksud (musuh yang dicari dalam peperangan itu) atau bukan, karena mereka tidak bisa saling berkomunikasi disebabkan bahasa yang berbeda. Sementara, dari sisi warga setempat, yang diperlihatkan dalam film itu ada yang bersenjata dan tidak, terjadi pula aksi balasan. Karena daerahnya dimasuki tentara Perancis, merekapun berusaha membunuh pasukan Perancis tersebut. Dari yang tertangkap ternyata dapat dikonfirmasi (kepada korban) sebagai pelaku pemerkosaan. Kemudian yang dilakukan pihak Afganistan tersebut adalah memotong kemaluannya dan korban perkosaan itupun diberi kesempatan untuk membunuh si pemerkosa. Ketika prajurit Perancis itu membunuh, terlihat betapa geramnya mereka, terlebih kegeraman itu dipicu oleh terbunuhnya beberapa rekan mereka sebelumnya. Di pihak warga, ketika mereka hendak mengeksekusi prajurit-prajurit Perancis itu, pun terlihat betapa bernafsunya mereka karena warga mereka banyak yang terbunuh dan diperkosa oleh prajurit Perancis itu. Cukup sadis memang, tapi itulah sedikit gambaran situasi perang yang ingin disajikan dalam film tersebut. Dari film yang diproduksi tahun 2006 ini, pihak mana yang dalam posisi yang benar? Pihak warga lokal atau pihak Perancis? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu, termasuk ketika pertanyaan berlanjut mengenai benar atau tidaknya film tersebut dalam menggambarkan keadaan sesungguhnya. Biarlah, untuk film yang disutradarai oleh Bruno Drummont ini, jawaban kebenarannya diserahkan kepada sutradara film, penonton, dan pelaku peperangan itu sendiri (bila ada dan menjadi sumber dari cerita film ini). Pesan utama yang saya dapat baik dari film tersebut maupun sewaktu mendengarkan komentar kawan saya tersebut di atas, bahwa peperangan selalu memberikan kerugian, kegetiran justru kebanyakan bagi mereka yang tidak tersangkut secara langsung dalam konflik yang menyebabkan terjadinya peperangan itu. Adanya asylum seeker, adalah salah satu contoh kecilnya. Dari peperangan, walaupun kelak sejarah kelak akan membantu untuk menorehkannya, tapi, bisakah kita dengan jujur mengatakan siapakah sebenarnya pihak yang diuntungkan? Adakah yang ingin membantu memberikan jawabannya ataukah kita biarkan saja rumput yang bergoyang yang nanti menjawabnya? Itupun kalau rumputnya bersedia menjawabnya. Salam hangat Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H