Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berpikirlah, Maka Kita Ada

6 Oktober 2010   00:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otak dan pikiran tidak terpisah dalam melaksanakan prosesnya tetapi terdapat hubungan kait mengkait diantaranya, hubungan antara proses rohani dan neuronal. Sehingga, yang disebut dengan proses berpikir itu merupakan campuran olah otak dan olah rasa. Perkembangan munculnya olah otak dan olah rasa ini ditandai dengan berkembangnya budaya. Budaya sendiri memiliki dua pengertian yaitu olah budi dan olah daya. Budaya, mengacu kepada proses terjadinya, semestinya dapat berkembang dengan dinamis, tidak statis.

Kembali kepada pengertian berpikir, otak tidak bekerja sendirian, terjadi olah otak, olah rasa dalam nuansa olah budi dan olah daya. Dalam proses berpikir, terjadi aliran menyerap informasi yang diterima, memproses informasi yang diterima tersebut, ditambah hasil dari ‘olah-olah’ tersebut – dimana didalamnya dilakukan proses analisa berdasarkan referensi yang dimilikinya selama ini, kemudian sebagai hasil adalah bisa setuju, menolak terhadap informasi tersebut, atau dihasilkan pandangan lain (baru) terhadap informasi itu, yang lain daripada yang sekedar menyetujui maupun yang tidak menyetujui.

Apakah yang menyetujui terhadap informasi awal itu lebih mendekati kebenaran? Apakah justru yang tidak menyetujui informasi itu yang benar? Ataukah pendapat lain yang muncul itu yang disebut mendekati kebenaran?

Jawabannya dikembalikan kepada referensi yang digunakan dan kebenaran apa yang akan dicapai, kemudian, sejauh mana hasil pikiran itu bisa bermanfaat.

Dua contoh sederhana dari penggunaan pikiran itu  akan dicoba disajikan di bawah ini:

Contoh satu:

Seorang (calon) pencuri mendengar bahwa rumah di jalan x nomor y akan kosong selama beberapa waktu karena siempunya rumah, yang juga termasuk golongan berada akan mudik lebaran. Diapun sudah mendapat informasi lainnya bahwa pemilik rumah tersebut tidak akan dijaga oleh siapapun selama ditinggal. Si (calon) pencuri tersebut kemudian melakukan beberapa langkah sebelum melakukan aksinya, antara lain: melakukan pengamatan situasi sekitar, melakukan persiapan, melaksanakan simulasi (hanya dalam pikiran) – mulai dari melakukan aksinya sampai dengan selesai. Pada hari H, hari yang direncanakan, si pencuri (sudah bukan calon lagi, tetapi sudah benar-benar menjadi pencuri) itupun mulai melakukan aksinya. Ternyata semuanya sesuai dengan yang telah direncanakannya, maka si pencuripun berhasil menunaikan aksinya dengan gemilang.

Contoh dua:

Saya coba mengambil contoh dari film sang pencerah, yang sedang marak belakangan ini. Dari tokoh utamanya, KH. Ahmad Dahlan, beliau mendapati kondisi di sekitarnya di Yogyakarta waktu itu yang menurutnya dari segi agama yang diketahuinya, dalam kondisi yang memerlukan perubahan. Kemudian, berbekal ilmu pengetahuan Islam yang dipelajarinya, mulailah beliau mencoba memperhitungkan langkah-langkah yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki kondisi dan situasi tersebut. Perlahan-lahan dilaksanakanlah langkah-langkah yang telah diperhitungkannya tersebut. Walaupun pada awalnya banyak mendapatkan tentangan, namun pada akhirnya, kesuksesanlah yang diraihnya.

Dari contoh di atas, bukan hendak menyamakan capaian tokoh ulama tersebut dengan pencuri, tetapi lebih menunjukkan bahwa proses berpikir bisa dilakukan oleh siapa saja, dalam bentuk apa saja untuk mencapai tujuan apa saja. Proses berpikir masuk kedalam segala lini kehidupan.

Untuk contoh satu, dari sisi pencuri, dia sudah melakukan proses berpikir itu. Menurut pencuri itu, apa yang sudah dilakukannya sudah benar. Yang penting berhasil dan si pencuri itu cukup untuk menyambung hidupnya. Mencuri disamakan dengan mencari nafkah. Dari sisi si empunya rumah, jelas, ini merupakan kerugian baginya karena harta bendanya disikat oleh pencuri. Menurutnya, tidak ada benarnya, mencari nafkah dengan cara merugikan orang lain. Pendapat ini pun berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya selama ini, berdasarkan proses berpikirnya pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun