Mohon tunggu...
Budy_ Thamrin
Budy_ Thamrin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Menikmati Hidup di Parkiran Hamba" || Lingkar Belajar Pemuda Indonesiana (LBPI) Tidore.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Antara yang Memimpin dan yang Dipimpin

3 Maret 2014   02:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi selama ini, dalam benak saya, tidak lebih dari sebuah demokrasi yang memiliki tubuh namun tak memiliki roh (demokrasi zombie). Sebagai anggota dari sebuah komunitas akademik, saya percaya bahwa kita memiliki tanggung jawab intelektual dan moral untuk mengisi dan melengkapi demokrasi formal dan prosedural ini dengan nilai-nilai, etika dan tradisi”._Daniel Sparringa

Wacana mengenai wakil rakyat dan pemimpin, entah yang mencalonkan diri (caleg) maupun yang sedang menjabat menjadi hidangan spesial dan marak diperbincangkan hampir diseluruh kalangan masyarakat. Walaupun sesibuk apaun, mereka (masyarakat) masih sempat meluangkan sedikit waktu untuk membahasnya. Adalah wajib diperbincangkan masyarakat, karena mereka (wakil rakyat) merupakan pucuk harapan rakyat. Inilah yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan Maluku Utara pada khususnya. Terlepas dari itu, merupakan suatu kebanggan tersendiri karena masyarakat kita telah menyadari pentingnya peran mereka akan hal ini. Namun yang terpenting dan menjadi suatu keharusan ketika berbincang-bincang mengenai wakil rakyat dan pemimpin, masyarakat harusnya terlebih dahulu memahami tentang sistem pemerintahan negara kita saat ini (demokrasi) agar tidak terkesan hedonis (ikut-ikutan).

Demokrasi secara konseptual adalah dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Menurut etimologinya, Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu kata demos(rakyat) dankratos(pemerintahan), yang jika digabungkan menjadi pemerintahan rakyat, pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat. Pemerintahan rakyat ini dipertegas kembali dengan istilah “Vox Dei Vox Populi” yang artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan”.Dengan begitu di dalam demokrasi yang menjadi penguasa sebenarnya adalah rakyat dimana pemerintahan yang berkuasa dapat dikontrol oleh warganya sendiri.

Berangkat dari sedikit ulasan mengenai Demokrasi diatas, maka konsekuensinya masyarakat harus mempersiapkan jagonya yang nantinya bisa diharapkan. Keterlibatan masyarakat disini yaitu ada yang menjadi pemantau aktif, ada yang menjadi sukarelawan, ada yang menyelenggarakan debat, dan bahkan ada yang mengelus-elus jagonya. Meskipun sampai saat ini masih menyisakan sejumlah aib disana-sini (terutama dengan bau politik uang) yang sudah semakin menjamur yang biasa disebut “serangan fajar”. Ironisnya sebagian besar masyarakat pun ikut menjemputnya (seragan fajar) dengan karpet merah, mungkin karena sudah sering atau terbiasa dilakukan saat momen pesta rakyat ini.

Terlepas dari itu harusnya wakil rakyat dan pemimpin (dalam konteks negara) kita belum bisa tidur ngorok (baik dirumah, dikantor maupun di tempat lain). Tahun 2014 akan menjadi tahun pergantian pemimpin dan wakil rakyat beberapa daerah di Indonesia. Penggantian pemimpin dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan rakyat, dan sampai saat ini masih sulit disebut berhasil. Realita yang ada malah berbanding terbalik, Harapan rakyat untuk melihat perbaikan lingkungan (bebas dari banjir) belum terpenuhi. Harapan rakyat melihat para koruptor diadili tidak memuaskan. Karena rumah tahanan para koruptor ibarat surga dunia yang dilengkapi dengan sejumlah fasilitas sehingga membuat para koruptor nyaman dan seakan-akan tidak pernah merasa berbuat kesalahan. Harapan rakyat untuk bisa bekerja (bebas dari pengangguran) juga belum terpenuhi. Kekuasan politik yang diberikan rakyat pada pemimpin dan wakil rakyat sesuai dengan prinsip demokrasi belum dipakai untuk kepentingan rakyat. Harapan- harapan ini hanyalah bagian dari “kebutuhan dasar” yang harus dipenuhi oleh negara.

Gambaran umum diatas mengindikasikan bahwa telah terjadi pelestarian masalah yang belum terungkap tentang kepemimpinan. Kita masih harus bejalar banyak tentang praktik demokrasi. Karena sampai saat ini belum nampak demokrasi formal dan prosedural dengan nilai-nilai, etika dan tradisi.

“kualitas pemilihan umum ternyata tidak hanya ditentukan oleh kelancaran pemilihan calon-calon pemimpin maupun wakil rakyat, melainkan juga (bahkan pertama-tama) oleh ketersediaan pilihan-pilihan yang memenuhi kebutuhan rakyat”.

Sekalipun pemilihan umum sudah selesai, barangkali kita belum bisa melupakan keluhan sejumlah pemilih yang kurang semangat atau bahkan tak ada kemauan untuk pergi ke TPS karena merasa tak punya pilihan. Keluhan ini juga muncul karena kesal jagonya tidak masuk nominasi berikutnya. Kalau kita kaitkan dengan penilaian sejumlah pengamat, keluhan ini ada karena secara objektif kita miskin pilihan. Ada calon yang bersih dan mampu namun dipertanyakan wawasan nasionalnya (dengan kata lain berbau sektarian entah karena rasis atau kurang toleran pada agama lain). Ada calon yang dinilai mempunyai wawasan nasional namun dipertanyakan kecakapannya keluar dari kompleksitas persoalan dan kebersihannya untuk menata rumah tanngga pemerintahan yang kotor. Ada calon yang mempunyai kedua-duanya namun dipertanyakan kemauannya untuk membuat real break dengan rezim sebelumnya sehingga dipertanyakan pula kemampuannya untuk melakukan transformasi (ST. Sunardi, 2004).

Memang belum ada calon yang sempurna, namun masyarakat berhak mengharapkan calon ideal dan kalau belum ada kini saatnya masyarakat ikut terlibat dalam mempersiapkan calon-calonya. Agar tidak terjadi kerenggangan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Karena itu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kualitas tentang kepemimpinan itu sangat diperlukan guna mencapai tujuan yang sering dijanjikan oleh pemimpin dan wakil rakyat yaitu “Kesejahteraan Masyarakat”.

Paparan sederhana diatas secara umum mencerminkan bahwa masih ada masalah serius yang harus dibenahi dalam tahta kepemimpinan sejauh ini. Menurut Arbi Sanit, Indonesia mengalami kelangkaan kepemimpinan karena “sistem politik  yang tersentralisasi dibawah kekuasaan kaum birokrat, yang cenderung membirokratisasikan masyarakat, sehingga sumber kepemimpinan terkekang dan bahkan terlumpuhkan”. Birokratisasi masyarakat menjadi salah satu faktor  langkahnya calon-calon pemimpin yang kita harapkan. Tentu saja birokratisasi itu tidak berdiri sendiri melainkan berdampingan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi (bisnis, proyek dll), walaupun tidak semua. Apalagi masyarakat kita yang terkesan hedonis dan belum dewasa, ketika dihadapkan dengan persoalan praktik demokrasi hanya akan menimbulkan bermacam-macam dimensi diskriminatif yang abnormal yang nantinya dapat memicu konflik. Bagaimana kita bisa melahirkan calon-calon pemimpin berkualitas kalau masyarakat sebagai sumber para calon pemimpin masih menderita patologi (penyakit) birokratis..??? belum lagi kaum feodalisme yang turut andil didalamnya.

Kepemimpinan tidak diukur dari posisi yang diduduki dalam hirarki kekuasaan melainkan pengakuan sosiokultural masyarakat pada seseorang atau lembaga. Kepemimpinan dalam artian direczione (pengarah) merupakan hasil hubungan dialektis antara pemimpin dan yang dipimpin. Jabatan bisa dicapai lewat ijazah, lewat rekomendasi, deal politik (perjanjian politik), lewat koneksi (orang dalam), lewat setoran dan semacamnya. Kepemimpinan intelektual dan moral sebaliknya, mengandaikan kebebasan mesyarakat untuk mengakui atau tidak.

Kepemimpinan Intelektual dan Moral

Pentingnya dua hal ini yakni Intelektualitas dan Moralitas merupakan komposisi yang tidak asing lagi pada ranah kepemimpinan. Lantas intelektual seperti apa yang pantas menjadi direczione (pengarah) suatu masyarakat..? Apakah setiap pendidikan intelektual mengarah kepada kepemimpinan..?? tentunya tidak semua. Oleh karena itu kita perlu mencari intelektualitas yang pantas menjadi direcizione (pengarah) zaman ini. Seperti yang dikatakan ST. Sunardi ; Identitas intelektual yang sedang kita cari bisa kita beri nama Intelektualitas Publik. Intelektualitas Publik adalah sebuah nama yang bagi jenis intelektualitas untuk menggairahkan kehidupan publik yang demokratis. Kalau ruang publik kita pahami sebagai ruang bagi para masyarakat untuk berpartisipasi, berarti intelektualitas publik adalah bentuk partisipasi intelektual kita pada kepentingan publik. Kenapa ini perlu ditekankan..?? karena pada kenyataannya telah terjadi dislokasi yaitu dari kepentingan publik ke kepentingan pribadi atau bisnis. Begitu masuk perguruang tinggi orang harus menjadi ahli (pada disiplin ilmunya), kata Pater Drost. Mengapa..?? Karena masyarakat menghendakinya (membutuhkannya). Individu-individu, kata sosilog pendidikan Zygmunt Bauman, “tidak dapat menjadi bebas kecuali mereka bebas membentuk masyarakat yang mendorong dan melindungi kebebasan mereka”. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, inilah yang disebut dislokasi.

Alangkah baiknya ketika intelektualitas publik disandingkan dengan etika publik atau etika sosial (moralitas). Etika sosial tentunya menjadi sketsa yang berdasarkan pada tanggungjawab untuk menciptakan ruang sosial agar tidak terjadi kecemburuan sosial dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. Selama masa kampanye para pengungsi hendak disembah-sembah dengan berbagai bingkisan, namun begitu selesai pemilu mereka dikembalikan lagi ke pembuangan sampah. Tak bisa dipungkuri lagi, bahwa yang sering terjadi saat ini adalah penguasa birokrasi melakukan tindakan diskriminasi dalam birokrasi. Mungkin karena bukan satu tempat asal (geografis), suku, ras atau hanya karena berbeda pilihan saja. Padahal pada hakikatnya mereka juga masyarakat (rakyat). Lantas inikah yang dimaksud dengan intelektual publik dan moralitas publik..?

Dari potret sederhana masayarakat kekinian dalam spektrum praktik demokrasi diatas, hadir dalam benak bahwa tendensi masyarakat tentunya yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki intelektual dan moral. Sementara problem mendasar manusia (masyarakat) yang harus diselesaikan adalah Pengetahuan. Pengetahuan adalah keutamaan yang besar. Hanya dengan cara itu pencarian ilmu tidak dilakukan setengah-setengah. Hanya ilmu yang tidak setengah-setengahlah yang bermanfaat bagi kehidupan (masyarakat). Karena pengetahuan tidak berdiri sendiri melainkan harus dikombinasikan dengan tanggungjawab, dan transformasi sosial yang demokratis sebagai kompas kehidupan. DISITULAH LETAK KEHORMATAN SEBAGAI SEORANG HAMBA INTELEKTUAL.. salam..!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun