Tinggal di Indonesia sejak lahir, tentunya membuat kita semua sudah tidak asing dengan namanya pantangan, hal tabu, dan mitos yang ada disekeliling kita, dimana rata-rata terdengar memang agak aneh untuk didengar apabila tanpa konteks atau penjelasan, seperti misal jangan bangun siang nanti rezeki kita dipatok ayam, jangan makan di depan pintu nanti akan sulit dapat jodoh, dan mitos lainnya yang beragam.
Salah satu mitos yang ada adalah larangan duduk di atas bantal. Dimana duduk di atas bantal adalah tingkah laku yang tidak baik. Duduk di atas bantal dianggap sebagai hal yang pamali, tidak elok dan tak baik dilakukan. Konon dipercaya, penyebabnya adalah duduk di atas bantal bisa membuat pantat jadi bisulan.Â
Sejauh ini tak ditemukan adanya penelitian atau pembuktian medis yang mendukung anggapan tersebut. Yang pasti, banyak orang Jawa beranggapan tak elok duduk di atas bantal. Bahkan orang-orang Jawa melarang keras anak-anaknya duduk di atas bantal.
Tak ada kaitan 'magis' antara duduk di atas bantal dengan bisul yang tumbuh di pantat. Namun, secara medis bisulan akibat duduk di atas bantal bisa saja terjadi. Salah satunya disebabkan oleh kebersihan bantal yang digunakan untuk duduk.Â
Dimana bantal memang merupakan tempat yang paling ideal bagi berkembangnya kuman, bakteri, kutu debu, dan kotoran lainnya. Bantal bisa menjadi sarang minyak, kulit mati manusia, dan banyak hal lainnya. Karena itu permukaan bantal bisa menjadi tempat yang sangat kotor, meski tak terlihat. Apalagi bantal duduk yang terkadang tak diperhatikan kebersihannya.
Sementara itu apabila ditinjau ilmu filsafat terdapat tiga aspek yang dapat ditinjau yaitu ada makna ontologis, epistemologi, dan axiologi. Makna ontologis ini berhubungan dengan pemahaman tentang keberadaan dan esensi dari objek dari bantal. Dalam banyak budaya, bantal dianggap sebagai objek yang memiliki nilai dan fungsi tertentu, terutama dalam kaitannya dengan tidur dan kenyamanan.Â
Larangan menduduki bantal bisa diinterpretasikan sebagai bentuk penghormatan terhadap fungsi asli bantal sebagai alat untuk kepala saat tidur, dan bukan sebagai alas duduk. Larangan ini mengindikasikan bahwa bantal memiliki "esensi" atau "hakikat" yang tidak sesuai dengan tindakan mendudukinya.
Selanjutnya makna epistemologis, dimana makna ini melibatkan beberapa pertanyaan seperti Bagaimana kita mengetahui bahwa menduduki bantal adalah sesuatu yang terlarang? Sumber pengetahuan ini bisa berasal dari tradisi lisan, ajaran keluarga, adat-istiadat, atau pendidikan budaya yang diajarkan sejak kecil. Lalu Bagaimana kita menafsirkan makna dari larangan ini? Pemaknaan bisa bervariasi tergantung pada konteks budaya dan sosial.Â
Bagi beberapa budaya, menduduki bantal mungkin dianggap tidak sopan atau tidak menghormati fungsi bantal sebagai alat untuk tidur. Penafsiran ini juga bisa melibatkan simbolisme atau nilai-nilai yang lebih dalam yang dikaitkan dengan kebersihan, kesucian, atau kenyamanan.
Lalu yang terakhir ada makna axiologis ini berhubungan dengan nilai dan norma yang mendasari larangan ini, dimana makna axiologis ini mencakup nilai estetika dan simbolis, dimana menduduki bantal bisa dianggap merusak atau mengurangi keindahan dan kebersihannya.Â
Selain itu, bantal mungkin memiliki nilai simbolis, misalnya sebagai representasi dari kenyamanan, istirahat, dan kebersihan, sehingga tindakan mendudukinya dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Lalu nilai moral dan etika, dimana menghormati barang-barang yang digunakan untuk tidur bisa dianggap sebagai tindakan yang etis dan sopan.Â