Bermoralkah Make Over Dalam Iklan Politik?
Modernisasi komunikasi politik di Indonesia ditandai dengan pemanfaatan kecanggihan, kemewahan dan kemudahan teknologi komunikasi. Keunggulan teknologi mampu menembus segala dinding ideologi, menjabatani segala jurang politik dan sosial. Secara instans mudah, cepat dan murah berhadapan dan merayu atau bahkan menghipnotis audiens.
Kehebatan teknologi komunikasi ini telah dibuktikan dalam setidak dua kali Pilpres, Pileg, Pemilu dan Pilkada bahkan Pemilihan Ketua Parpol. Capres, Caleg dan sebagainya sedemikian rupa mempresentasikan diri kepada khalayak melalui berbagai media komunikasi. Bahkan Satu orang Calon memanfaatkan berbagai media sekaligus untuk mendapatkan efek terhadap audien sesuai capean target yang dianggapnya signifikan. Kesadaran politik kemasan ini juga di tandai dengan
Perkembangan industri jasa rancang bangun profil / pencitraan yang sangat signifikan. Setidaknya di jika dilihat adanya target dari pengusaha media untuk ikut memperoleh pendapatan dari berbagai event pilih - memilih semacam ini. Ya, Semoga saja simbiose itu tetap dilaksanakan dalam kerangka pertanggung jawaban moral yang etis.
Keampuhan pola komunikasi politik model baru ini memang harus diakui. Tim sukses-tim sukses sudah pasti menganggarkan pengeluaran rekayasa publik melalui media semacam ini. Sementara hingga saat ini tidak ada lembaga kontrolnya, atau bahkan memang sulit untuk dikontrol, karena memang standar belum ataupun tidak ada.
Perkembangan pengemasan sosok / profil Calon Pimpinan yang disajikan saat ini cenderung bias. Terlalu banyak Make Over, sehingga cenderung tidak jujur, menyesatkan dan jelas menipu audien. Sayangnya iklan atau tayangan propaganda sejenis ini tidak pernah secara jelas dilebeli sebagai sebuah iklan. Alokasi waktu penayangannya kadang sengaja ditempelkan atau berdekatan dengan jam-jam di mana audien dalam kondisi terbuka pikirannya dan siap dihipnotis tanpa ada pembanding yang memadai.
Upaya menghipnotis audien lebih efektif karena segala keunggulan media yang digunakan eksplorasi secara masimal nan elok. Karena yang ditampilkan semuanya adalah rekayasa atau bahkan manipulatif. Bagaimana tidak? Karena setiap apapun yang tampil di media seperti televisiitu, jangankan track ideologinya, hal sekecil gaya tersenyum saja di sutradarai. Pendek kata kejujuran propaganda semacam ini sangat tipis tetapi efektif dan murah.
Ibarat iklan sabun mandi, yang ditayangkan adalah wanita cantik jelita mempesona, padahal si sexy ini belum tentu dalam kesehariannya memakai sabun mandi tersebut. Dalam bayangan penikmat TV yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai, didalam batin mengamini kedahsyatan sabun tersebut, meski tidak selalu diikuti tidakan mengkonsumsinya.
Jika demikian, politik kemasan semacam ini apakah etis? Apakah secara moral bisa dipertanggung jawabkan? Apakah tidak masuk dalam kategori kebohongan publik? Perlukan ada semacam dewan pengawas? Apakah Perlu dalam setiap penayangannya dilebeli sebagai IKLAN, PROPAGANDA, atau apalah labelnya yang jelas menunjukan bahwa tayangan tersebut memiliki sifat tidak netral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H