Mohon tunggu...
Budi Harsono
Budi Harsono Mohon Tunggu... lainnya -

dari keheningan menemukan makna, dari kesunyian menuju asa, hanya berbagi dalam keterbatasan diri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebaikan itu tak Pernah Mati

23 Desember 2013   23:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Inge! Inge! Inge!” panggil Mama Jeni, tetapi Inge tidak menjawab, bahkan tidak menampak batang hidungnya sedikitpun. Padahal tadi Mama Jeni melihat Inge sudah pulang sekolah, lewat pintu depan.

Tidak seperti biasanya, setiap pulang sekolah Inge mengucapkan Salam dan mencium Mama sebagai ungkapan sayang, ganti pakaian, lalu Inge duduk manis di meja makan menanti Mama untuk makan siang bersama. Merasakan keanehan itu, Mama Jeni segera beranjak dari kursinya, bergegas mencari sang buah hati semata wayang itu.

Rupanya Inge sudah merebahkan dirinya dengan muka ditutupi bantal. Mama Jeni kaget melihat keanehan ini. “Inge, ayo makan, nanti keburu dingin lho masakan Mama,” kata Mama Jeni.

Tidak nafsu makan Ma!” sahut Inge sambil mengintip Mamanya dari balik bantal.

“Ada apa Inge, kok tidak seperti biasa, Mama khan kangen sama pelukan dan ciuman anak Mama yang cantik ini,” kata Mama Jeni. “Kamu khan lapar, Makan dulu, kalau tidak makan, kamu malah sakit lho, Mama jadi repot kalau kamu sakit, ayo makan!”

“Inge nggak mau makan, Ma, pokoknya nggak mau!” serunya merajuk.

“ya sudah, tapi nanti kalau lapar langsung makan ya, jaga kesehatanmu, kesehatan mahal harganya lho,” Mama Jeni menanggapi.

Mama Jeni segera beranjak dari kamar Inge, ia tahu Inge sedang merajuk, tapi tak tahu apa yang membuatnya merajuk. Mungkin Inge sedang ingin sendiri untuk menenangkan diri, meski begitu Mama Jeni bertekad untuk mengorek keterangan dan memberi nasehat pada Inge pada waktu yang tepat.

Menjelang makan malam, Inge sudah mulai luruh dari merajuknya. Ia sudah merangkul dan mencium Mama, sebagai ganti merajuknya tadi. Mama tidak menyinggung persoalan tadi siang. Usai makan malam, Mama mengajak Inge duduk di taman kecil di depan rumah. Mereka duduk bersama. Malam itu cerah dan nampak bintang gemintang bersinar dengan menawan, kelip-kelip bak kunang-kunang di angkasa.

“Bagaimana kabarmu hari ini, Inge? Kayaknya tadi merajuk ya? Bisa cerita pada Mama?” kata Mama Jeni lembut.

“Maaf ya Ma, tadi Inge merajuk?” sesal Inge. “Tapi Inge nggak marah sama Mama kok. Inge tuh marah pada diri sendiri, dan juga sama teman-teman satu kelas Inge.”

“lho kenapa bisa begitu Inge?” tanya Mama Jeni.

Di kelas Inge, ada yang suka jahil Mam, suka buat masalah, suka mengganggu teman, gokil lagi, hampir semua orang pernah dijahilinya, sehingga teman-teman satu kelas tidak suka dengan dia, Inge juga nggak suka dengan dia,” jelas Inge.

“Apa teman-temanmu dan guru tidak ada yang menasehati dan mengingatkan kalau hal itu tidak baik, Inge?” tanya Mama Jeni.

“Mamaku sayang, semua kawan-kawan sudah menasehatinya, bahkan bu guru juga tak bosan-bosan menasehati, tapi begitulah Ma, masuk telinga kanan keluar telinga kiri,” jawab Inge.

“Lha hubungannya apa antara temanmu itu, siapa tadi namanya itu, dengan kemarahanmu pada diri sendiri dan teman-teman sekelasmu?” tanya Mama Jeni lebih lanjut.

“oh ya Ma, namanya Farah. Tadi pagi Inge olahraga lari keliling sekolah, entah kenapa mungkin memang kecelakaan atau Tuhan mungkin menghukum Farah, Farah menginjak paku, terus jatuh terkilir lagi, nggak ada Ma yang mau nolong, ia mengerang-erang sambil menangis tetap juga nggak ada yang tergerak hati untuk nolong. Inge cepat-cepat menolong Farah, Inge memapah Farah sampai ke UKS sekolah, darah tercecer di mana-mana, sampai Farah nggak lanjutin pelajaran, karena harus dibawa ke rumah sakit, lukanya cukup dalam, UKS nggak bisa menangani,” jelas Inge.

“Terus gimana?” tanya Mama Jeni tak sabar.

“setelah itu Ma, Inge masuk kelas, semua teman menyalahkan Inge, ada yang bilang biarin aja biar kapok, ada yang bilang terima kutukan dari Tuhan kenapa Inge tolong dia, macam-macamlah Ma, tapi yang paling jengkel tuh Anne dan komplotannya, Vita, Antin dan sisca, mereka memaki-maki Inge Ma, katanya sok suci, sok baik, sok jadi Malaikat, pokoknya sok-sok yang lain sampai telinga Inge pedas,” lanjut Inge. “Inge jadi serba salah Ma, pokoknya yang Inge lakukan spontan Ma, nggak ada pikiran apa-apa, Inge ingin berbuat baik, tapi di sisi lain Inge juga jengkel, karena Inge juga pernah dikerjain sama Farah, sampai Inge nangis-nangis di sekolah, habis Inge di kunci di kamar mandi sampai 1 jam pelajaran, dikira teman-teman, Inge minggat dari sekolahan, guru-guru cari Inge sampai setengah mati.”

“Inge, berbuat baik itu keharusan, tidak perduli siapapun dia,” kata Mama Inge lembut. “Bahkan kepada orang yang membenci kita sekalipun, dan Tuhan sendiri tak pernah mengijinkan kita membenci orang lain, meskipun orang itu membenci kita.”

“Cinta kasih itu harus menjadi cara hidup kita, dan Inge harus berani memberi contoh kepada teman-teman meski untuk itu Inge dibenci teman-teman Inge, tetapi suatu saat nanti teman-teman Inge akan tahu dan memahami bahwa kebaikan adalah jalan Cinta kasih, hanya dengan Cinta kita semua dapat hidup damai dan sejahtera,” Mama Jeni menasehati.

“Lihatlah bintang-bintang itu Inge, anak Mama yang cantik,” kata Mama Jeni sambil tersenyum, Mama Jeni menunjuk bintang-bintang di angkasa yang bersinar. Ada yang redup, ada yang remang-remang temaram, dan ada pula yang terang benderang.

“Tentu Inge tahu bahwa di antara bintang-bintang yang bercahaya itu, ada bintang mati, yaitu bintang yang telah mati ribuan tahun yang lalu, tapi sinarnya masih bisa kita lihat sampai saat ini, demikian juga dengan kebaikan. Kebaikan tak pernah mati, akan selalu dikenang orang. Apa yang Inge lakukan hari ini akan terus dikenang khususnya Farah, ia tahu bahwa Inge tidak membalas kejahatan, kebencian dan kenakalan dengan hal yang sama, tetapi dengan kebaikan. Kebaikan Inge di hari ini seperti cahaya bintang di gelap malam, meski bintang itu telah tiada namun orang masih menikmati cahayanya, seperti kita di malam ini,” kata Mama Jeni.

Inge mendengar kata Mama Jeni sambil termangu-mangu, Inge benar-benar dibuka hatinya oleh perkataan Mama Jeni, Inge meresapi setiap perkataan mama dan terasa menyelimuti relung hatinya yang terdalam, Inge berjanji tak akan marah lagi untuk sebuah kebaikan. Inge ingin selalu melakukan kebaikan untuk semua orang, karena sesungguhnya kebaikan itu tak pernah mati.

Pondok Damai, 17 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun