Mohon tunggu...
Budi Harsono
Budi Harsono Mohon Tunggu... lainnya -

dari keheningan menemukan makna, dari kesunyian menuju asa, hanya berbagi dalam keterbatasan diri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tersesat di Dukuh Siluman Celeng

5 Januari 2014   22:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 2764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan berboncengan motor, aku dan Jaswadi menyusuri jalanan lengang bertepikan hutan menuju Sumber Semen, aku dan Jaswadi sama sekali tak paham daerah itu. Hanya berbekal peta sederhana buatan Kaprogdi dan Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Dekan untuk pengembangan hutan tanaman produksi. Aku bermaksud melakukan penelitian sebagai bahan skripsi, kebetulan Jaswadi teman fakultasku memiliKi tema yang hampir sama.

Memasuki hutan itu, terasa “tintrim” buatku, dan nampak temaram karena tingginya pohon-pohon jati lima pelukan orang dewasa, ditambahan jalan aspal asal jadi selebar badan truk, berkelok-kelok menghindari  bukit-bukit padas mengular, khas hutan jati. Tak ada rumah hampir sepanjang 5 km yang kami lalui. Aku teringat waktu masih belia diajak orang tuaku ke Randublatung via Blora, 20 km hutan jati perawan, rumah yang aku temui hanya rumah panggung khas Polisi Hutan, yang lain sama sekali tidak ada.

Keadaan yang aku lewati hampir sama persis, untunglah aku dan Jaswadi sudah sempat mampir makan bakso di pertigaan stasiun Jepon, samping Kios cukur “Jupri”. Jadi aku tidak terlalu kelaparan, walau perut sudah keluarkan status siaga merah.

“Wid, kok nggak sampai-sampai ya?” keluh Jaswadi padaku, merasakan penat di pantat sejak pagi dari Jogja menuju lokasi.

“sebentar lagi juga sampai,” hiburku

“Jangan-jangan peta Pak Chaerul salah, Wid!” serunya agak dongkol.

“Nggaklah!” jawabku. ”Dia kan pernah kesana”, tambahku memberi penegasan.

Jaswadi nampak tidak puas dengan jawabku, tapi dia tidak membantah, suasana terasa hening dan “tintrim”.

“Wid, kamu rasa nggak, keadaan terasa makin mistis, sejak Kita masuk belok dari pertigaan pos Polisi Hutan tadi,” ujarnya memecah kesunyian.”Perasaanku rasanya nggak karuan sejak masuk melintasi portal tadi.”

“Maksudmu, pertigaan yang ada palang pemeriksaan dan ada polisi tidurnya itu Jas?” tanyaku

“Betul”, sahutnya. “Memang kayaknya di kasih palang supaya truk yang nggak ijin nggak boleh masuk,” kataku beralasan agar tidak terpancing perasaan mistis, meski aku sendiri juga merasakan hal seperti itu.

“Coba Wid, kamu nalar saja, masak 10 km nggak ada rumah sama sekali, hutan melulu, pohon jatinya besar-besar nggak lazim ada di Jawa, setahuku paling satu dua yang besar-besar, tapi ini banyak yang besar-besar,” komentar Jaswadi penasaran.

Tapi aku nggak mau mengiyakan Jaswadi meski akal merasakan ketidaknalarannya, “lha ya wajar to Jas, Kita masuk hutan lindung, hutan larangan sehingga hutannya pasti perawan, lha nggak pernah dijamah orang, jangan berpiKiran aneh-anehlah yang penting sampai!” sergahku mengusir piKiran aneh dari benakku.

Kata hutan larangan malah menggelitik piKiranku, jangan-jangan hutan larangan itu maksudnya orang tidak boleh ke situ, karena tempat itu sudah dihuni sebangsa jin dan makhluk halus untuk tetap hidup damai seiring dengan perluasan lahan huni dan lahan usaha manusia seperti pertanian dan lain-lain, mengingat itu aku jadi bergidik, “Nggaklah! Pergi! Pergi!” batinku mengusir ketakutanku.

“Wid, kayaknya Kita sudah masuk areal perkampungan, tuh lihat dah ada ladang dan sawah!” serunya menunjukan ke kejauhan.

Memang terasa kami sudah keluar hutan, pohon-pohon tidak lagi banyak, bahkan di sisi yang lain aku sudah melihat hamparan persawahan yang subur. Selang berapa waktu kami sudah memasuki perkampungan. Matahari memang sudah turun mendekati peraduannya, hari  telah mendekati petang. Beberapa penduduk menyempatkan keluar rumah menyalakan “uplik” untuk penerangan luar. Rumah-rumah yang ada sangat sederhana profil rumah pedesaan, rumah “gebyok”, rumah papan untuk rumah utama dan gapitan “gelam”, kulit jati, untuk bagian belakang. Tampak teratur, rapi dan bersih.

Aku mendekati seorang bapak yang kebetulan melintas. ”Selamat sore pak, maaf ke Sumber masih jauh tidak?” tanyaku, bapak itu  kelihatan bingung.

“maaf, Kisanak, saya tidak tahu, saya tidak pernah meninggalkan kampung ini, tanya saja sama Ki Ageng, maaf saya duluan ya, rumah Ki Ageng itu yang paling besar, ada pendapanya,” sambil tunjuk arah dengan jempolnya khas orang Jawa.

Sebutan Ki Ageng membuat aku dan Jaswadi penasaran. “Kayaknya desa ini terisolir ya Wid, sampai sebutannya  masih menggunakan istilah lama seperti jaman Kasultanan Jawa jaman dulu,” komentar Jaswadi.

“Ya mungkin mereka masih terikat tradisi kayak suku Badui di Banten dan Jawa Barat, atau mirip orang Samin di Klapaduwur,” imbuhku.

Segera, aku geret Jaswadi menuju ke pendapa Ki Ageng yang tidak terlalu jauh dari jalan tempat aku bertanya. “Kulanuwun, kulanuwun!” seruku dalam bahasa Jawa yang artinya “permisi”.

“Mangga Kisanak!” bersama itu muncul seorang tua gagah dari dalam rumah sambil tersenyum. “Janur gunung, tumben ada tamu dari kota, sudi mampir ke rumah saya”.

“Mangga lenggah!” katanya

“terima kasih Ki,” sahut kami berdua.

“ada apa malam-malam ke sini Kisanak?” tanyanya

“begini Ki, kami dari Jogja mau ke Sumber, menurut peta dari dosen yang mengutus kami, kami sudah benar jalurnya, tapi kok nggak sampai-sampai, mungKin Ki Ageng bisa menunjukan jalan kepada kami,” jawabku menjelaskan sekaligus bertanya.

Sahut Ki Ageng, ”Kisanak, sebetulnya Sumber sudah dekat, tapi ini sudah malam, Kisanak berdua masih harus melewati satu bagian hutan lagi, saya kuatir Kisanak tersesat, terus malah tidak bisa sampai ke tujuan.”

“Tapi Ki, saya malam ini harus sampai, karena besok pagi saya harus jumpa dengan Kepala  Kehutanan wilayah sini,” kataku.

“Ya Ki, kami harus sampai malam ini,” imbuh Jaswadi.

“Wah saya nggak yakin kalau malam ini bisa sampai kalau diteruskan, hutan ini masih perawan, yang lewat saja harus ijin perhutani, Kisanak lihat to, pohon-pohonnya besar, saya yang sudah tinggal lama di sini, menyarankan Kisanak untuk tinggal menginap di sini, terlalu berbahaya, masih banyak juga binatang liar yang berkeliaran di malam hari, menginap saja di sini Kisanak, di sini terbuka untuk Kisanak berdua,” kata Ki Ageng mendesak kami berdua untuk tinggal menginap di situ.

Dalam keadaan bimbang, kami berdua berembug, tinggal atau tidak. Akhirnya kami mengambil kesepakatan untuk tinggal, aku lebih senang lanjut saja, tapi Jaswadi sudah kecapaian selama perjalanan, ia beralasan toh besok akan sampai juga ke Sumber, pagi-pagi, kalau perlu, sudah harus berangkat tepat waktu.

“Bagaimana Kisanak, jadi menginap?” tanya Ki Ageng

“Maaf Ki, akhirnya kami terpaksa merepotkan barang semalam, kalau boleh malam ini kami menginap,” jawab Jaswadi.

“Baik kalau begitu Kita makan dulu ya Kisanak, belum makan malam ta?” ajak Ki Ageng sambil tersenyum.

Jawabku malu-malu, “Belum Ki.”

“Makan sederhana ya Kisanak, Kita makan singkong rebus ya, maklum petani punyanya ya cuma hasil bumi,” jawab Ki Ageng ringan.

“Nggak apa-apa Ki kami malah senang sederhana dari ladang sendiri, tidak perlu beli,” aku menimpali.

“Sebentar ya Kisanak, Nyi!, nyi! tolong sediakan singkong rebus yang tapi Kita rebus! Tamu Kita perlu untuk makan malam,” seru Ki Ageng kepada istrinya.

“Ya Ki, ini sudah saya siapkan,” terdengar suara merdu dan bening dari dalam rumah. Keluarlah perempuan paruh baya, masih tampak guratan ke cantikan dalam dirinya, dari warna kulitnya ya langsat itu, aku hampir yakin Nyi Ageng dari kalangan ningrat.

Nyi Ageng tersenyum melihat kami. “Ini hasil kebun samping itu Kisanak, semua alami, tidak pakai pupuk-pupuk buatan pabrik kok.”

“Silakan dinikmati Kisanak mumpung masih hangat,” Ki Ageng menawarkan singkong rebus.

“Nyaman ya Ki, suasana di sini, aman, tentram, damai, yang ada hanya suara jengkerik,”ujarku sambil merasakan hangatnya singkong rebus dan secangkir kopi hangat.

“Yah begitulah Kisanak kalau tinggal di desa, ini sejuk, karena bulan purnama, cerah, tenang dan angin semilir menyejukkan,” jawab Ki Ageng.

“Tapi kok nggak ada ya Ki, yang keluar rumah, jagongan, atau sekedar ngobrol, juga nggak ada suara radio atau tv?” tanyaku menyelidik. Memang aku rasakan dari tadi kok rasanya sepi-sepi saja, tidak seperti layaknya dukuh modern, anak berlari-larian atau sekedar jalan, bahkan nonton tv tidak ada, ini agak membingungkan.

“Di sini tidak ada tv, radio atau hiburan yang lain Kisanak, paling wayang, itupun yang nanggap orang lain, kalau hari biasa ya begini ini, sunyi, sepi, mamring,” Ki Ageng menanggapi pertanyaanku.

“Dari tadi saya juga nggak lihat ada listrik ya Ki, setahuku hampir 80 persen jawa sudah ada aliran listrik, tapi di sini kok nggak ada, jaringan listrik kan sudah ada di Sumber, kata dosenku kemarin, sini khan nggak jauh dari Sumber, kok listrik belum sampai.”

“Memang begitulah masyarakat kami Kisanak,” Ki Ageng menjelaskan. “Kami memiliki aturan dan budaya sendiri yang wajib di taati kalau mau selamat.”

Kata “selamat” membuatku agak bergidik, sepertinya kampung ini punya rahasia sendiri, aturan sendiri yang harus ditaati.

“Kampung ini ada ketentuan, kalau tengah malam seluruh kampung harus gelap gulita, semua lampu harus mati, dan tidak boleh ada tamu, makanya tadi Kisanak, penduduk kampung menyarankan untuk menghubungi saya, karena kalau terpaksa, hanya saya yang boleh memutuskan tamu boleh datang atau tidak, berhubung Kisanak tersesat dan sudah malam justru saya yang minta Kisanak tinggal, sebab di luar kampung ini, saya tidak bisa menjamin keselamatan Kisanak,” ungkapnya penuh misteri.

“Karena Kisanak bukan penduduk asli dari sini, Kisanak saya beri tempat khusus, sebab juga kalau Kisanak berada bersama kami keselamatan Kisanak tidak dapat saya jamin,” tambahnya semAkin misterius.

Aku dan Jaswadi mAkin bertambah takut. Batinku, ”Tadi kalau nggak mampir lebih baik, tapi kalau tersesat ya tidak tahu lagi, selamat atau tidak.”

“Oleh karena itu, Kisanak nanti tinggal di atas sana,” Ki Ageng menunjuk ke atas.

Aku dan Jaswadi kaget setengah mati, karena kami akan tinggal di puncak joglo pendapa, atau orang jawa sering menyebut “penuwun”.

“Jangan kuatir ya, nanti Kisanak saya sediakan tangga, di atas juga sudah bersih sudah ada kasur, tadi mata batin saya sudah merasakan bakal ada tamu, jadi saya sudah bersihkan,” katanya menepis kekuatiran saya. “Apapun yang terjadi di bawah sini, jangan takut, kuatir dan jangan berteriak atau menangis, diam saja, dan saran saya yang terakhir, nanti waktu mau tidur tolong tangganya ditarik saja ke atas dan tutup lubang pintu masuk.”

“Ada apa ta Ki Ageng kok kayaknya misterius gitu?” tanyaku.

“Nggak apa-apa, pokoknya tenang dan lihat sendiri, Kisanak bisa lihat dari sela-sela papan di atas, Kisanak juga bisa lihat luar lewat sela-sela genting penuwun itu. Pokoknya ini sangat istmewa untuk Kisanak berdua dan bisa dijadikan pengalaman hidup, yang penting ikuti nasehat saya, saya sebagai kepala dusun mengijinkan Kisanak berdua melihat keistimewaan kampung kami, paham?” tegas Ki Ageng.

“Paham Ki, kami akan lakukan nasehat Ki Ageng,” jawab kami berdua.

“Nah, ini sudah waktunya naik ke kamar atas, lampu akan segera saya matikan, ingat apapun yang terjadi jangan takut rekam baik-baik jadikan suatu pengalaman berharga,” segera Ki Ageng mengambil tangga bambu dan mempersilakan kami naik ke penuwun. Ki Ageng membantu membawakan “uplik” untuk penerangan kami sementara. “Nanti kalau saya mematikan lampu pendapa uplik ini dimatikan ya”.

Ki Ageng telah turun, tangga juga aku tarik, Jaswadi menutup papan kayu tempat kami masuk tadi. Beberapa waktu, aku lihat beberapa orang keluar rumah, mereka mulai mematikan “uplik”, demikian juga Ki Ageng mematikan “uplik” pendapa. “Jas!” bisikku, “Matikan upliknya!” Jaswadi beringsut mendekati “uplik” lalu meniupnya.

Gelap gulita, tapi mataku mulai terbiasa, ditambah lagi ada sinar rembulan menembus di sela-sela genting penuwun. Aku mulai terbiasa melihat pendapa dari pantulan sinar rembulan yang purnama itu, aku baru tahu kalau malam ini adalah purnama penuh. Dari jauh aku dengan gendingan mengalun dengan merdu seolah-olah ada orang punya gawe atau punya kerja.

Syahdu, menyentuh, mengingatkan aku pada mendiang kakekku yang setiap malam “ngeloni” radio mendengarkan wayang. Rasanya bulu kuduk meremang, berdiri merinding. Sepertinya jiwaku merasakan sebuah fenomena lain yang tidak lazim, ada hawa mistis yang merebak di hatiku, seiring dengan angin malam yang menusuk kulitku, khas hawa hutan jati yang masih perawan, beriring bau bunga jati yang mulai berjatuhan diterpa angin malam, sangat khas dan tak terlupakan.

Demikian juga dengan perasaan Jaswadi, dia lebih lagi. Bercampur aduk, antara takut, kuatir, merinding dan tertekan. Ia merasakan bahwa dirinya serasa di alam lain yang penuh misteri. Tapi semua itu dengan tekan dengan kesah dan tarikan nafas, yang berkali-kali dia lakukan. Setiap kali ia menarik nafas, terasa bergemuruh di telingaku, seakan turut merasakan gejolak batinnya.

Dalam kilasan bulan purnama yang kian meninggi, menunjukan bahwa waktu hampir tengah malam. Kulihat Ki Ageng keluar rumah bersama Nyi Ageng, mesKi agak remang temaram, aku melihat jelas dalam sorotan cahaya rembulan. Aku lihat juga para penduduk kampung mulai keluar rumah bersama istri dan anak-anak mereka. Mereka berkumpul di tanah lapang yang tak jauh dari pendapa. Gending Jawa berkumandang mAkin jelas meski tak tahu dari mana asalnya, sanubariku terasa teriris seiring dengan alunan rebab yang mengalun kian meninggi. Terdengar lolongan anjing ajag atau anjing liar, bersahut-sahutan menambah alunan mistik, terasa mendera siapapun yang mungkin mendengarnya, aku kira Jaswadi merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan, memang sedari naik ke penuwun ia terdiam seribu bahasa.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, kabut tipis mulai melingkupi lapangan tempat Ki Ageng dan penduduk berkumpul, atas pimpinan Ki Ageng semua orang duduk bersimpuh menundukan kepala. Dengan pelan tapi pasti terjadi perubahan pada struktur tubuh mereka termasuk Ki Ageng, aku tidak dapat melihat jadi apa mereka dalam perubahan itu. Terasa semua sarafku menegang karena takut sekaligus takjub, Jaswadi yang ikut memperhatikan mulai pelan-pelan menempel di sebelah ku, terasa tubuhnya penuh keringat dingin. Meski aku takut perubahan itu, tetapi proses itu tetap aku perhatikan dengan seksama, kabut tipis itu mulai bergerak dari saf ke saf, dari depan ke belakang meliuk dan melingkupi semua orang.

Mata hatiku seakan dibukakan  atas semua fenomena itu. ”Ya Allah, mereka semua jadi celeng!” seruku dalam hati.  Mereka berubah wujud menjadi babi hutan, yang terdepan, tentu Ki Ageng berubah menjadi celeng yang hampir sebesar sapi, penduduk desa berubah masih pada ukuran celeng pada umumnya. Ratusan celeng itu mulai berkeliaran di sekitar kampung, kemudian mereka bergerak dalam keberapa kelompok menuju ke lain-lain tempat, mungkin mereka mencari makan atau apalah di dalam hutan. Aku menggigil gemetar melihat ke anehan itu.

“Jas!” bisikku. “Kamu lihat tadi khan?” tanyaku dengan gemetar, ku seka peluhku yang yang mulai sebesar butiran jagung.

“Ya!”  sahut Jaswadi, “Aku mau pingsan rasanya, Wid.”

“Tahan aja Jas, jangan pingsan, ini sudah tengah malam paling jam 4 pagi sudah normal kok,” hiburku.

Tiba-tiba satu rombongan celeng, mendekat ke pendapa, “grok. Grok, grok “ bersahut-sahutan seolah memberi komando, aku mulai resah suara itu kelihatan amarah, kepala yang bersiung itu mendengus ke sana kemari, mungkin mereka membau manusia yang mengancam jiwa mereka. Nampaknya ada beberapa celeng yang tahu kami di penuwun. Mereka mulai menabrak berulang ulang hendak merobohkan empat pilar joglo tempat kami bersembunyi, joglo terasa bergetar hebat, kami mulai panik, tapi kami mencoba untuk terus berdiam diri.

“Wid, kalau Kita mati di sini bagaimana ya? Matilah aku!” seru Jaswadi menahan tangis.

“Pasrah aja Jas, baca ayat apa saja yang kamu ingat, mohon pertolongan Allah,” nasehatku dengan suara bergetar juga menahan takut, aku sebetulnya juga hampir nangis tapi terus aku tahan, rasanya menyesakkan dada seiring pendapa yang terus bergoyang kian hebat.

Dalam keadaan kritis itu, muncullah Ki Ageng yang sudah menjelma menjadi celeng raksasa, ia menabrak semua celeng yang brutal tadi. Tak tertandingi kiprah Ki Ageng, semua kocar-kacir dibuatnya, dan tak ada satupun yang berani mendekat, apalagi melawan. Mereka tunduk kepada Ki Ageng, mereka segera berlalu dengan suara parau dan tertunduk pilu.

Nampak dari tubuh Ki Ageng keluar asap tipis yang berbau harum bak bunga melati berpadu dengan cendana, asap itu terus naik menembus atap papan tempat aku dan Jaswadi bersembunyi dengan ketakutan, asap itu menghipnotis kami, aku melihat pendapa itu tak lagi sebuah rumah joglo, tetapi sebuah pohon besar menyerupai beringin dan aku berada di puncak yang tertopang ranting-ranting, aku mulai takut dan berteriak sekenanya juga Jaswadi berteriak ketakutan, dalam ketakutan itu aku limbung tak sadar diri, aku sudah tak tahu lagi nasib Jaswadi, yang ada cuma gelap, gelap dan gelap, dan mAkin bertambah pekat.

Aku merasa dikejar-kejar celeng besar, aku berlari, terus berlari, sampailah di tepi jurang lalu aku berteriak sekuat-kuatnya, “Tolong! Tolong! tolong!” Celeng itu tak peduli, aku diterjangnya sampai masuk ke jurang. Aku menggapai semua yang ada di sekitarku, dan akhirnya, “Gubrak, glodak....!”

“Mas! Mas! mas!” seseorang menggoyang-goyang tubuhku, hidungku membaui minyak kayu putih, aku agak pening, “Mas, sadar! Sadar! sadar!”

Aku membuka mataku mencoba menguasai keadaan, selain minyak wangi, aku mencium aroma menyan madu, aku lihat di sudut ruang ada kepulan asap api arang yang membubung meninggi.

Aku mencoba duduk, seorang Aki yang sudah ubanan yang tak taksir berusia 70 tahunan dengan iket wulung di kepalanya mendekatiku. Katanya, “Nak, minum dulu air putih ini, agar cepat pulih kesadarannya, mbah jamin 30 menit lagi pasti segar lagi.”

Tiga puluh menit kemudian, benar juga, aku sudah segar.  Aku lihat ada beberapa Polisi Hutan yang mendampingiku. “Sudah segar mas?” tanyanya sopan.

“Ya begitulah pak, sudah, tapi perasaan saya masih kacau, maaf ya pak, teman saya ada dimana?”tanyaku kuatir.

“Ndak apa-apa mas, dia seperti mas juga, dia agak shock rupanya, tapi 30 menit lagi pasti pulih, apa lagi Mbah Dipo sudah turun tangan,” kata Polhut itu.

Aku baru tahu, rupanya Aki tua tadi bernama Mbah Dipo, dari perkataan Polisi tadi berkesan kalau Mbah Dipo seorang paranormal.

“Sini sudah hafal mas, kalau ada begituan Mbah Dipo itu pakarnya,” Polisi itu menambahkan.

“Begituan apa ta Pak maksudnya?” tanyaku mengejar Pak Polisi.

“Nanti saja mas, biar dijelaskan sama Mbah Dipo saja, dia yang lebih tahu,” tukasnya.

Setelah makan pagi dan minum teh yang disediakan oleh Polisi Hutan, yang tentu menu seadanya, maklum kami ternyata sudah berada di rumah jaga Polisi Hutan. Rumah jaga itu berupa rumah panggung, tempat aparat ini menyiapkan diri patroli atau pelepas lelah saat mereka pulang patroli.

“Mari duduk sini nak, ngobrol-ngobrol sama mbah,” Mbah Dipo mempersilakan kami duduk di pojok teras sambil menikmati udara pagi hari. “Sebenarnya anak berdua, dari mana dan mau kemana, kok sampai nyasar kemari,” tanya Mbah Dipo kalem.

Jaswadi yang sejak tadi diam mulai angkat bicara, ”Kami berdua dari Jogja mbah, kami mahasiswa Gajahmada Fakultas kehutanan, kami direkomendasi dosen kami untuk melakukan penelitian di sini untuk skripsi kami, dosen kami yang pernah meneliti di sini beberapa tahun yang lalu menyarankan kami ke sini, untuk itu kami diminta untuk menemui Kepala Kehutanan di Sumber. Dosen saya sudah memberi 2 jalur alternatif,  lewat jalur utara via Rembang menuju Sale, atau lewat Purwodadi, Blora terus Jepon belok ke arah Jatirogo. Kami memilih lewat Blora karena jalur itu memiliki hutan yang masih relatif lebat dan itu tantangan buat kami, dan bekal untuk mengelolaan hutan di masa depan.”

“Betul mbah, tetapi setelah belok pos jaga yang berpalang ke arah Sumber, rasanya kok nggak sampai-sampai, sebenarnya kami agak curiga, perasaan kami sudah tidak nyaman, tapi berhubung sudah gelap kami menginap di rumah Ki Ageng,” imbuhku menguatkan cerita Jaswadi.

“O begitu ya ceritanya, “ kata Mbah Dipo manggut manggut sambil tersenyum, nampak Aki ini tidak heran, kemudian ini menambahkan, “Sebenarnya hutan setelah pos jaga itu, memang hutan lindung atau masyarat mengatakan hutan larangan, tidak ada seorang pun yang berani lewat di atas pukul lima, Polisi Hutan selepas jam 5 sore lebih banyak ngepos di sini.” Dia menghela nafas meneruskan, ”Dini hari menjelang pagi sekitar pukul 3 pagi, seorang anggota pos yang piket jaga mendengar jeritan dan ketakutan dari dalam hutan. Dia yakin jeritan itu pasti manusia walau lamat-lamat terdengar, dia lalu membangunkan  komandan peleton, komandan memerintah 2 orang untuk menjemput mbah, yah rumah mbah memang tak jauh dari tempat ini, paling 500 meter, secara spiritual mbah hapal daerah sini.”

Beliau terdiam sejenak lalu menyerutup seteguk kopi, lanjutnya, ”Pak komandan tidak mau ambil resiko, karena hal yang sama pernah terjadi sekian tahun silam, semua personil bersiaga dan merambah hutan, menerobos jalur, kami tahu kemana harus mencari, jadi tak butuh waktu lama, cuma yang ditakutkan adalah gerombolan celeng yang berjumlah cukup banyak.”

“Tapi mbah tahu, kalau lokasi itu adalah kerajaan siluman celeng,” kata Mbah Dipo bergetar. ”Lewat Kontak batin, mbah minta Ki Ageng penguasa kerajaan siluman supaya bisa mengendalikan anak-anaknya, Ki Ageng juga minta jaminan, tak boleh satupun anak buahnya ada yang terluka, karena mereka hanya mendengar perintah Ki Ageng, celeng itu tetap celeng ketika menjadi celeng, nalurinya juga celeng, oleh karena itu hanya kontak dengan Ki Ageng maka celeng-celeng itu bisa dikendalikan, celeng-celeng itu sesungguhnya makhluk halus yang pada waktu tertentu menjadi celeng untuk bisa menembus dunia manusia. Hanya Ki Ageng yang seratus persen nalarnya manusia, meski tubuhnya celeng pada waktu tertentu atau kalau ia mau menemui manusia. “

“Kami menemukan kalian tersangkut Di pohon serupa beringin, kami temukan, kalian berteriak, mengigau, meronta-ronta ketakutan terus pingsan, untunglah polhut Kita ini membawa berbagai kelengkapan selain senjata untuk berjaga-jaga, kami berhasil membawa kalian, tapi maaf nak, motornya baru nanti siang Kita upayakan untuk dibawa ke sini, mbah minta kalian ikut ya, jangan takut mbah nanti akan ikut menyertai,” ujar Mbah Dipo.

Siang itu, tampak serombongan kecil bergerak menyusuri jalan setapak menembus hutan, aku dan Jaswadi sebetulnya was-was, tapi sebagaimana janji Mbah Dipo, aku yakin, kalau Aki tua ini mampu mengatasi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kami tiba di suatu tempat agak lapang di tengah rimbunan pepohonan, ada satu pohon yang menakjubkan di lapangan kecil  seluas 2 kali lapangan voli. Menurut taksiranku sebesar 8 pelukan orang dewasa, dan di pojok lapangan itu terparkir manis sepeda motor kesayangan Jaswadi.

Jaswadi geleng-geleng kepala, “ Bagaimana aku bisa naik motor sampai ke sini, jalan rata saja tidak ada?” katanya heran sekaligus bingung. Ia segera bergerak mendekati motor, tetapi segera dicegah oleh Mbah Dipo.

“Tunggu dulu nak!” seru Mbah Dipo tegas melarang, “Kita mohon ijin dulu dengan Ki Ageng, percaya tidak percaya, daerah ini khan kekuasaannya.”

“Mbah mohon bapak-bapak tunggu di sini dulu!” kata pada Polisi Hutan, “Mbah dengan anak berdua akan mohon ijin dulu.”

Mbah Dipo memberi kode kepada kami berdua untuk mengikutinya, pada jarak 5 meter dari pohon besar, kami segera berhenti langsung duduk bersila. Mbah Dipo menyilangkan tangannya di dada sedekap, sambil komat-kamit, tiba-tiba entah dari mana, tampak bayang-bayang Ki Ageng berdiri di bawah pohon itu.

“Anakku berdua, aku mengijinkan kalian mengambil motor itu, tapi ingat, jangan merusak apapun di daerah kekuasaanku,” kata Ki Ageng berbisik di telinga ku seiring dengan terpaan angin sepoi-sepoi, ”Ingatlah bahwa pengalaman itu sangat berarti dan mengandung pengertian, meski kamu dan aku berbeda alam, tapi masing-masing perlu tempat untuk hidup, katakan kepada semua orang bahwa aku dan kaumku tidak mau diusik, kamu berdua menjadi dutaku untuk menjaganya, agar kaumku dan manusia dapat hidup dengan nyaman dan damai di tempat masing-masing, camkan itu.” Perlahan bayangan itu hilang lenyap, seiring dengan menghilangnya kabut tipis di bawah pohon itu.

Kami terpaksa memikul bergantian membawa motor ke pos Polisi Hutan, meski lelah tapi pelajaran yang di dapat amatlah besar. Aku berjanji secara pribadi, berkomitmen untuk ikut terlibat dalam melestarikan hutan, bukan semata-mata karena pengalaman mistik itu, tetapi juga karena kesadaran pentingnya hutan sebagai paru-paru lingkungan hidup.

Masih terdengar di telinga ku, “Camkan, camkan, camkan!” seiring langkahku meninggalkan tempat itu. Aku berdoa mohon petunjuk Yang Kuasa, Kiranya pengalaman itu berarti bagiku untuk membangun hidup ku di kemudian hari, bagaimanapun semua makhluk mempunyai tempat untuk hidup dengan damai.

Pondok Damai, 10 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun