Berita tentang persidangan kasus suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berkaitan dengan reklamasi dengan melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali memanas. Ahok kembali dipanggil dalam persidangan, karena memang dia terindikasi sebagai pihak terlibat dalam kasus suap reklamasi yang ada. Ahok yang merasa dirinya yang paling benar, mulai menyalahkan berbagai pihak, baik itu Sekda DKI Saefullah ataupun DPRD Jakarta.
Ahok menyatakan bahwa pengembang reklamasi tersandera oleh DPRD DKI. Pasalnya, DPRD DKI tidak kunjung mengesahkan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (ZWP3K) DKI Jakarta dan raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Ahok beralasan karena raperda ini tidak kunjung disahkan, maka pengembang kesulitan untuk mendapatkan IMB. Selain itu menurutnya dalam raperda tersebut juga memuat aturan kewajiban kontribusi tambahan sebesar 15 persen. Sehingga kedua hal ini menyebabkan pengembang terhambat untuk melanjutkan pembangunan proyek yang ada. (sumber)
Namun yang harus kita cermati adalah alasan kenapa tidak disahkannya kedua Raperda tersebut oleh DPRD DKI. Kontribusi tambahan sebesar 15% itu belum memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga sulit bagi DPRD DKI untuk mengesahkannya. Karena dalam peraturan, pengembang sudah dibebani kewajiban sebesar 5 % dan juga tambahan kontribusi 5%, dan ini sudah disepakati. Namun Ahok meminta kontribusi tambahan kepada pengembang sebesar 15%. Pengembang pun keberatan, karena 15% merupakan angka yang fantastis, sehingga pengembangpun melakukan lobi-lobi ke DPRD DKI agar kontribusi tambahan dihilangkan. Dari sini terjadilah Operasi Tangkap Tangan anggota DPRD DKI, M. Sanusi, oleh KPK karena pengembang menyuap DPRD DKI untuk membatalkan kontribusi 15% tersebut.
Jika saja istilah kontribusi tambahan itu tidak ada dalam klausul raperda yang akan disahkan, maka DPRD akan dengan mudah mengesahkan raperda tersebut. Selain karena kontribusi tambahan itu tidak ada dasar hukum, juga aspek keberatan para pengembang reklamasi yang menjadi pertimbangan. Dengan kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa Ahok lah yang menawan pengembang dengan mengajukan kontribusi 15%, sehingga membuat pengembang reklamasi melakukan potong kompas suap ke DPRD DKI.
Selanjutnya besaran kontribusi 15% yang belum disahkan dan masih dalam bentuk Raperda sudah Ahok tagih ke para pengembang reklamasi. Hal ini jelas menyalahi aturan hukum yang berlaku karena aturan 15% tersebut belum disahkan. Malah Ahok sudah memintanya ke para pengembang dalam bentuk pembangunan rusunawa, pompa air, dan lain-lain. Jika pengembang reklamasi tidak mau membuatkan apa-apa yang diinginkan oleh Ahok, maka izin reklamasinya akan dicabut. (sumber)
Hal ini sudah jelas menyalahi aturan, karena Ahok sudah meminta komitmen fee diawal kepada pengembang reklamasi. Hal ini layaknya sebuah suap, jika tidak dibangunkan ini dan itu, maka izin reklamasi akan ditahan. Hal – hal yang dimintakan oleh Ahok pada para pengembang adalah rusun dan pompa air, yang ini tidak lain untuk menarik simpati masyarakat dalam rangka menaikkan popularitasnya dalam pilkada DKI 2017 nanti. Seharusnya jikapun ada aturan kontribusi tambahan pengembang, maka anggarannya harus disesuaikan untuk hal-hal yang prioritas di dalam APBD DKI, bukan malah untuk memenuhi anggaran yang Ahok inginkan saja.
Dari sini sangat jelas bahwa Ahok yang membutuhkan kontribusi tambahan 15%. Hal ini dia butuhkan untuk keperluan kampanye dan menaikkan elektabilitasnya, bukan untuk keperluan prioritas APBD DKI seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat miskin, pembenahan transportasi, dll.
Raperda  reklamasi yang saat ini belum disahkan, malah sudah ada berbuah pembangunan di pulau hasil reklamasi. Kepala dinas tata ruang akan merobohkan ruko yang dibangun di atas lahan reklamasi karena tidak ada IMB. Namun demikian Ahok memaksa kepala dinas tata ruang untuk menghentikannya. Mengapa Ahok menghentikan penggusuran padahal jelas tidak ada IMB? Di sisi lain beberapa tempat di Jakarta banyak dilakukan penggusuran olehnya karena alasan tidak adanya IMB. (sumber)
Coba lihat penggusuran yang terjadi dibeberapa area di Jakarta. Beberapa area yang tidak ada IMB Ahok gusur. Namun di sisi lain Ahok mendukung pembangunan ruko dan rumah yang ada di pulau-pulau hasil reklamasi, meskipun belum ada IMB nya. Ahok sendiri yang mengakui belum ada IMB dari bangunan yang ada di pulau-pulau hasil reklamasi tersebut, namun bangunan tersebut dilindungi. Dari sini sangat jelas nampak bahwa Ahok tidak pro masyarakat kecil. Masyarakat kecil ia tindas, sedangkan pengusaha ia lindungi.
Terakhir memang bukan namanya Ahok jika tidak menyalahkan orang lain dan dirinya lah yang selalu benar. Ahok menyalahkan Sekda DKI, Saefullah, karena Ahok takut Saefullah akan mengesahan pergub terkait kontribusi yang besar kontribusinya tidak sesuai dengan keinginannya. (sumber)
Kesimpulan dari informasi tersebut bahwa memang kontribusi 15% itu adalah keinginan Ahok pribadi tanpa ada dasar peraturan yang ada. Sekda sebagai seorang birokrat hanya memfasilitasi keinginan Ahok dan DPRDI DKI dan mencari titik temu keduanya. Namun Ahok malah menuduh Sekda akan bersekongkol dengan DPRD DKI dalam pengesahan pergub yang jumlah kontribusi tidak sesuai keinginan Ahok.