Mohon tunggu...
Budi Susanto
Budi Susanto Mohon Tunggu... Programmer - Karyawan Swasta

Suka IT

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Golput di Kalangan Mahasiswa Masih Banyak?

14 Januari 2023   13:02 Diperbarui: 14 Januari 2023   13:11 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa tahun depan (2024) rakyat Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum kembali, hiruk pikuk pesta demokrasi akan terdengar lagi, spanduk-spanduk, selebaran-selebaran, umbul-umbul dan media-media promosi partai dan calon legislatif akan menghiasi hampir diseluruh tempat di Indonesia dari kota sampai ke desa-desa.  Kita akan mendengar kembali istilah atau sebutan "serangan fajar, politik Uang, Black Campaigne, Swing Voter, Golongan Putih" dan sebutan-sebutan lain yang selalu muncul pada saat penyelenggaraan pemilu.

Pada tulisan ini, kita hanya akan membahas istilah atau sebutan Golongan Putih yang sudah muncul sejak pemilu pertama tahun 1955.Kita akan bahas mulai dari apakah itu golongan putih, apa penyebab timbulnya golongan putih, apakah golongan putih melanggar hukum di Indonesia dan berapa banyak golongan putih pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Apa itu Golput ? dan Apakah Golput Melanggar Hukum ?

Golongan putih atau golput merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang yang masuk dalam kategori pemilih dalam pemilu memutuskan untuk tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu calon dalam pemilu.

Lalu apakah golput merupakan perbuatan melanggar hukum ?. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Mahfud MD, beliau mengatakan bahwa tidak menggunakan hak pilih atau golput merupakan hak warga negara di Pemilu maupun Pilpres. Lebih lanjut menurut beliau, "Golput itu hak, memilih itu hak, golput secara hukum pada dasarnya tidak apa-apa. Namun menurut beliau, golput dikatakan melanggar hukum jika seseorang menghalang-halangi atau mengintimidasi orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya. Hal yang sama juga disampaikan oleh ICJR (Institute  For Criminal Justice Reform) bahwa golput adalah hak politik bukan tindak pidana, bahkan mereka membahas hal ini dengan memgaitkannya ke Pasal  28 UUD 1945, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) khususnya Pasal 198 ayat(1), serta Pasal 515 UU Pemilu.

 

Golput dari pemilu sebelumnya

Berikut ini kita lihat data-data golput dari pemilu-pemilu sebelumnya, mulai tahun 2004 yang merupakan pemilu pertama yang melakukan pemilihan presiden secara langsung.

Pada Pemilu Legislatif tahun 2004, tingkat golput 15.91%, tahun 2009, 29.01%, tahun 2014, 24.89% dan tahun 2019, meningkat menjadi 29.68% dari total jumlah pemilih yang terdaftar

Sementara untuk pemilu presiden, tahun 2004, tingkat golput 31.49%, tahun 2009, 28.09%, tahun 2014,30.42% dan tahun 2019, turun  menjadi 19.24% dari total jumlah pemilih yang terdaftar.

Apabila kita perhatikan data diatas, jumlah golput pemilu legislatif dan pemilu presiden masih sangat besar, walapun di tahun 2019 pada pemiliu presiden, menujukan penurunan yang cukup besar. Seperti kita ketahui bersama, KPU bersama perangkat-perangkat pemerintah yang lainnya selalu mengkampanyekan untuk menggunakan hak pilih atau menghimbau kepada seluruh warga negara yang telah mempunyai hak pilih untuk tidak menjadi golput / tidak menggunakan hal pilihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun