Mohon tunggu...
I Ketut Budiasa
I Ketut Budiasa Mohon Tunggu... -

Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi lain dari "Kau adalah Aku yang Lain"

4 Juli 2017   20:44 Diperbarui: 4 Juli 2017   21:20 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"..........Hai anak Adam, semua mahluk itu keluargaku".

"Maknanya, semua keberadaan dipandang sebagai persaudaraan dan kebersamaan, sehingga satu sama lain hanya ada satu kemungkinan, tidak saling meniadakan tetapi merajut cinta melalui jalur persaudaraan. Itulah intinya. Kau adalah aku yang lain"

***

Saya tidak tau apakah Anto Galon pernah mendengar istilah tat twam asi atau tidak. Apakah Anto Galon pernah mendengar atau membaca istilah vaisudewam khutumbhakam atau tidak. Tapi saya sendiri surprise bahwa di kalangan muslim ternyata juga ada tafsir "kamu adalah aku (yang lain)" -- dalam Hindu ini dikenal dengan tat twam asi, juga "semua mahluk adalah keluarga(KU)" -- dalam Hindu ini disebut vaisudewam khutumbhakam, semua mahluk bersaudara. Tafsir itu tersampaikan jelas dalam adegan ceramah keagamaan dalam film pendek karya Anto Galon yang saya kutip pada paragraf pertama diatas. Surprise saya itu, adalah surprise yang membahagiakan, bahwa diantara agama2 besar ini, ternyata ada persamaan2 substantif yang memberi harapan adanya kerukunan, kesalingpengertian dan penghormatan satu sama lain.

Tapi saya juga memiliki surprise yang lain, yaitu bahwa kisah film pendek yang dipentaskan pada ajang tahunan Police Movie Festival ke-4 yang digelar oleh Polri itu, ternyata menimbulkan pro kontra hingga harus ditarik dari postingan akun Facebook Divisi Humas Polri. Ini, berkebalikan dari surprise pertama yang membahagiakan, justru sesuatu yang membuat saya bersedih. Karena penasaran dengan pro kontra itu, saya menyempatkan diri menonton film pendek itu secara utuh, bahkan berulang-ulang, lebih dari 10 kali. Mencoba mencari berbagai sudut pandang, yang mungkin menyulut pro kontra.

Terlepas dari pro kontra tersebut -- yang saya tidak ingin ikut didalamnya karena semua orang berhak punya pendapat, apalagi itu menyangkut keyakinan -- bagi saya Anto Galon telah memberi saya pemahaman baru tentang wajah islam, sebagaimana tersampaikan pada paragraf pertama diatas. Bahwa yang bersangkutan memilih peran Abah dan pengajian di satu sisi, dan pasien non muslim di sisi lain, mungkin karena dia sendiri seorang muslim sehingga merasa lebih nyaman menjadikan muslim sebagai latar belakang ceritanya.

Itupun tokoh antagonis hanya 1 orang, yaitu Abah, sementara itu penceramah agama, santri dan polisi semua menunjukkan islam yang "rahmatan lil alamin". Tapi, lagi2, orang berbeda2 dalam menerima kritik. Ada yang senang di kritik karena mendapat sudut pandang baru, ada yang langsung melakukan denial bahkan menyerang pihak yang berusaha memberikan kritik. Semoga saja pergulatan ide, gagasan dan keyakinan itu menukik ke substansi, bukan hanya ribut2 urusan ego.

Kalau bagi masyarakat Hindu Bali, kritik semacam lakon Abah itu sudah sangat biasa, bahkan disambut sebagai lelucon yang mengocok perut, terutama bila disampaikan oleh tokoh Delem - Sangut, utamanya lagi saat disampaikan oleh Jero Dalang "Ceng Blong" Nardayana. Simaklah salah satu percakapan "sekaha tuak versus sekaha betara", bagaimana tokoh Delem mengejek orang2 Hindu yang aktif di Pura, orang yang sembahyang, orang2 yang memuja Tuhan dengan khusuk. Bagi Delem, jauh lebih baik bergaul dengan orang2 penggemar tuak (minuman keras khas Bali) dibanding bergaul dengan orang2 religius. 

Dengan sangat meyakinkan Delem menyajikan "fakta2 kebaikan" orang2 penggemar tuak, disandingkan secara kontras dengan "fakta2 keburukan" orang2 religius. Lalu sang Dalang mengubah lakonnya menjadi tokoh Sangut yang memberi nasihat, menguak fakta dari sudut pandang lain. Dialog mengalir penuh gelak tawa, padahal kalau mau mencari kata2 harfiah, akan ditemukan "penghinaan" pada Pretima (symbol Tuhan Hindu Bali).  Tapi, lagi2, tidak ada orang yang cukup radikal dan degil untuk melihat dari sisi itu. Dialog itu bahkan, oleh banyak orang, dianggap mencerahkan. Dan, itu membuat saya cukup bahagia, bahwa komunitas dimana saya dibesarkan masih memiliki sisi humoris yang cukup baik. Artinya, mereka masih cukup waras untuk menerima kritik sambil tertawa.

Di jaman ini, kalau mau hidup bahagia, sebaiknya jangan terlalu sensitif. Kadang bahkan kita perlu mentertawakan diri sendiri. Setidaknya itu lebih baik, dibanding ditertawakan oleh orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun