Mohon tunggu...
I Ketut Budiasa
I Ketut Budiasa Mohon Tunggu... -

Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Palu, Bali, dan Gerhana Matahari

11 Maret 2016   07:17 Diperbarui: 12 Maret 2016   12:06 5085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini sesungguhnya bukan tentang Bali atau Palu, apalagi tentang orang Bali atau orang Palu. Samasekali bukan. Kita semua anak-anak bangsa yang waras yang masih bangga dengan ke-indonesia-an kita. Kita semua anak-anak bangsa yang masih selalu gemetar haru dan bangga setiap kali mengucap sumpah pemuda tentang tumpah darah, bangsa dan bahasa yang satu : Indonesia. 

Ini hanya tentang seorang Gubernur yang, karena terkaget-kaget kedatangan tamu mancanegara berjumlah 3000 an orang, lantas berkata ""Mereka bukan turis biasa, tidak seperti di Bali yang telanjang dan mabuk-mabukan. Mereka peneliti, terdidik dan ilmiah".

Adalah sesuatu kebetulan yang istimewa, bahwa ucapan gubernur itu disampaikan bertepatan saat Bali sedang melaksanakan Catur Brata Penyepian : tidak menyalakan api (symbol mengendalikan hawa nafsu), tidak bekerja, tidak bepergian dan tidak bersenang-senang. Bali sedang gelap gulita, segulita gerhana yang seakan sengaja memanggil sang bulan untuk menutupi sinarnya demi menghormati Nyepi sekaligus ikut berkontemplasi : berhenti sejenak dari rutinitas, untuk berbicara dengan sang diri, membaca getar-getar Yang Maha Suci dari dalam sanubari.

Terkadang kebenaran memang menunjukkan dirinya dengan cara yang aneh. Bahwa senggolan Pak Gubernur itu secara kebetulan diucapkan bertepatan dengan momentum Bali yang sedang menyepi, hening, berkontemplasi, mungkin merupakan cara kebenaran itu menunjukkan diri -- sehingga orang-orang Bali tidak perlu menguntai banyak kata untuk membela diri, apalagi untuk mencaci. Samasekali tidak perlu.

Masalah orang telanjang, dimana-mana ada. Ahok berjibaku di Kalijodo, Risma berpeluh di Gang Dholi. Entah di Sulawesi Tengah, mungkin relatif suci bila membaca statement Gubernurnya. Begitu pula orang mabuk. Dalam ajaran Hindu, mabuk itu bukan hanya soal minum minuman keras. Ada namanya Sapta Timira, yaitu 7 jenis kemabukan : Surupa (mabuk karena rupa cantik/tampan), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (Mabuk Karena Kepandaian Ilmu), Kulina (Mabuk Karena Keturunan), Yomana (Mabuk Karena Keremajaan), Sura (Mabuk Karena Minuman Keras) dan Kasuran (Mabuk Karena Kesaktian Atau Keberanian). Jadi mabuk ada banyak jenisnya, dan masing-masing terjadi di banyak tempat. Beberapa waktu lalu, disebuah kota diberitakan puluhan orang meregang nyawa karena minum campuran obat nyamuk dan spritus.

Bali ?
Ah, pulau satu ini memang menyandang begitu banyak predikat. Setelah berkali-kali terpilih sebagai destinasi wisata terbaik dunia, Bali juga dijadikan kiblat spiritual dunia. Ada yang menyebutnya kiblat toleransi dan perdamain. Khusus untuk kata "perdamaian", mungkin karena kata "shanti, shanti, shanti" yang berarti "damai, damai, damai" itu mengumandang dari doa sehari-hari yang terucap dari 4 juta penduduknya, dari ribuan pura dan ribuan pendeta. Tahukah anda bahwa orang Hindu di Bali berdoa "om lokha samasta sukhino bhavantu" -- semoga semua mahluk diseluruh semesta dalam keadaan berbahagia ? Kami berdoa bukan hanya untuk kelompok kami, untuk maharsi atau orang-orang suci kami. 

Kami berdoa untuk semua mahluk diseluruh semesta. Karena kebaikan bersifat universal. Kebaikan tak mengenal suku, agama, dan ras. Kami diajarkan bahwa Yang Esa, Brahman, Tuhan, bersifat satyam, siwam, sundaram -- benar, baik dan indah. Dan kami diajarkan untuk berusaha menjadi seperti itu : menjadi benar, menjadi baik dan menjadi indah. Itulah inti spiritualitas kami di Bali. Demikian kuatnya magnet spiritual Bali, hingga Julia Robert benar-benar mewujudkan perannya dalam film "eat, pray and love" dalam kehidupannya yang nyata dengan menjadi pemeluk Hindu yang taat. Ribuan orang datang ke Bali untuk mempraktekkan Yoga. Jutaan tamu tersihir keindahan yang berharmoni dengan kedamaian. Mereka mengalir datang dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, tak perlu menunggu gerhana matahari.

Tapi wajah dunia memang selalu multiwarna, tepatnya tergantung kacamata yang digunakan. Bahkan siang hari yang benderang akan nampak gelap bila kita mengenakan kacamata hitam. Karenanya orang Bali biasa-biasa saja saat dulu ada seorang tokoh agama yang mengatakan pulau Bali sebagai pulau maksiat. Pernah pula ada yang mengatakan pulau berhala. Begitulah, karena ini dunia--bukan sorga-- pastilah di Bali ada maksiat. Pun ada berhala. Bukankah berhala juga banyak bentuknya ? Ketika seseorang mengagungkan 3000 turis melebihi rasa hormatnya pada saudara sebangsa, bukankah turis-turis itu menjadi sejenis berhala baru ?

Kini, mari kita lihat sejenak agenda beberapa event yang digelar di Bali. Ini event Internasional yang pastinya dihadiri banyak tamu mancanegara. Hanya sekedar untuk menguji kata "peneliti, terdidik dan ilmiah" :
1. International Symposium on Teaching, Education, and Learning - Winter Session (ISTEL 2016-Winter), 2nd–4th February 2016
2. 200 Hours Intensive Yoga Pranala Teacher Training in Bali, 2016, 7th–29th April 2016
3. Ei Compendex, Scopus - 2016 4th International Conference on Electronics Engineering and Technology (ICEET 2016), 7th–8th April 2016
4. 5th International Conference on Bioinformatics and Biomedical Science (ICBBS 2016), 25th–27th June 2016
5. International Research Conference on Engineering and Technology, 28th–30th June 2016

Agenda itu diambil acak dari sederetan agenda event internasional yang list-nya teramat panjang. Bila dibaca sekilas, kelihatannya agenda-agenda tersebut bukanlah tentang ketelanjangan dan kemabukan. Itu belum termasuk kontribusi Bali sebagai tuan rumah dalam berbagai konferensi para pemimpin bangsa yang melahirkan kesepakatan-kesepakatan penting dan bersejarah bagi dunia. Tapi tentu dari sekian juta turis yang membanjiri Bali akan ada saja yang telanjang dan mabuk. Itu tak bisa dipungkiri. Bukankah para intelektual yang meneliti gerhana juga tidak dijamin tidak suka telanjang dan tidak suka mabuk ?

Dan, telanjang dalam tatakrama dan mabuk karena menghitung jumlah turis, samasekali tidak ada bedanya dengan telanjang dan mabuk dalam artian harfiah. Bahkan mungkin lebih menyedihkan. Bayangkan, Bali yang sedang diam, hening, Nyepi, disenggol dari Palu hanya karena Pak Gubernur bangga kedatangan 3000 turis yang menyaksikan gerhana matahari.

Padahal, bila diteliti secara ilmiah, sepertinya gerhana matahari itu terjadi bukan karena program kerja Pak Gubernur .....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun