Pada hari Rabu, 5 Desember 2018, warga Yogyakarta dikagetkan dengan munculnya berita tentang tewasnya seorang anak setelah tertabrak kereta. Usut punya usut, anak tersebut merupakan seorang tunarungu dan tunawicara. Saat sedang mencari orangtuanya, ia melintasi rel kereta. Nahas, tubuhnya kemudian tertabrak oleh kereta yang sedang melaju kencang. Anak tersebut pun langsung tewas di tempat.
Masyarakat pun kemudian langsung berbondong-bondong mengutarakan opininya terhadap kejadian ini. Ya, sepertinya memang sudah menjadi sifat dasar manusia untuk mengkomentari setiap kejadian yang terjadi, mulai dari yang penting sampai tidak penting. Ada yang beropini sambil sekaligus bersimpati dengan keluarga korban. Ada juga yang menyayangkan tentang minimnya fasilitas pengamanan di sekitar tempat terjadinya kecelakaan. Namun, tidak sedikit pula yang menyalahkan keadaan korban yang seorang tunarungu dan tunawicara. Bahkan parahnya, ada juga yang menyebutkan jika kejadian itu merupakan sebuah kejadian yang wajar karena korban merupakan seorang penyandang disabilitas. Apakah itu berarti kasus kecelakaan yang korbannya merupakan seorang difabel harus dimaklumi? Jawabannya tentu saja tidak.
Munculnya komentar seperti yang disebutkan diatas disebabkan karena kurangnya edukasi tentang pentingnya menghargai kaum difabel. Sebagai sesama manusia, kita harus menghargai kaum disabilitas dan tidak mendiskriminasikan mereka. Edukasi mengenai pentingnya menghargai kaum difabel sebenarnya sudah gencar dilakukan sejak seseorang berada di bangku sekolah. Yang jadi masalah, penerapannya pada masyarakat masih kurang. Masih banyak orang yang mendiskreditkan seorang penyandang disabilitas karena keadaan mereka, seperti misalnya menolak mempekerjakan seorang pelamar kerja hanya karena orang tersebut merupakan seorang difabel, padahal kinerjanya mumpuni dan memenuhi syarat. Hal-hal seperti itu masih sering ditemui di masyarakat kita sehari-hari.
Oleh karena itu, edukasi mengenai pentingnya menghargai kaum disabilitas tidak boleh dihentikan hanya sampai di bangku sekolah saja. Di dalam bermasyarakat pun, edukasi tersebut harus selalu dijalankan. Bagi orangtua yang memiliki anak, berilah pengertian dan contohkan bagaimana caranya menghormati kaum difabel. Masyarakat pun harus selalu mengingatkan satu sama lain agar tidak melakukan tindakan diskriminasi terhadap kaum difabel. Disinilah pentingnya peran masyarakat sebagai komponen penting dalam kontrol sosial.
Tanggal 3 Desember kemarin diperingati sebagai Hari Penyandang Disabilitas. Momentum tersebut sudah sepantasnya digunakan sebagai penyemangat untuk terus menyuarakan pentingnya menghargai kaum disabilitas. Hal senada juga disampaikan oleh Bambang Soepijanto, Ketua Umum APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI