Mohon tunggu...
Budi Prathama
Budi Prathama Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Kuliah di Universitas Sulawesi Barat. Hobi nulis lepas sambil minum kopi. Ngobrol di IG @budi.prathama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mudik Dilarang, Rindu Meronta

16 Mei 2021   20:32 Diperbarui: 16 Mei 2021   20:42 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Antaranews.com

Setahun yang lalu pemerintah Republik Indonesia juga melarang warganya untuk mudik karena virus Corona masih bergentayangan di mana-mana. Dikhawatirkan jangan sampai si Corono terus menancapkan dan memperluas lagi kekuasaannya sampai pada seluruh penjuru desa-desa yang ada di negeri ini.  

Si Corono atau biasa disapa Covid-19 tak ubahnya seperti hantu yang bergentayangan dan hebatnya dapat meringkus nyawa manusia dalam sekejap jika tidak kebal pertahanan tubuh. Mungkin itulah mengapa para pemangku kebijakan negeri ini melakukan berbagai upaya untuk dapat meretas dan mencegah penyebaran si Corona.  

Selain vaksinasi yang baru-baru ini diluncurkan pemerintah, pelarangan mudik pun hangat diperbincangkan di jagad media sosial dan menuai pro-kontra. Jangankan mudik antar pulau, antar kabupaten pun juga ada yang melarang. Katanya sih kenapa dilarang mudik?, karena untuk menghindari ruang si Corono dalam menyebarkan sayap kekuasaanya kepada banyak orang, padahal saat Pilkada justru tidak ada yang melarang pulang kampung untuk memilih, hahahah. Upss, pulang kampung dan mudik kan berbeda, wkwkwk.  

Tentu semua orang merindukan kehangatan agar bisa berkumpul bersama keluarga seperti pada hari lebaran, namun sekali lagi maaf, pemudik yang dilarang mudik, Anda belum beruntung. Lho kok bisa begitu?, negara kita kan negara hukum, ya mesti harus taatlah. Kenapa aturan dilarang mudik harus dituruti?, karena kalau tidak pak Jokowi akan marah besar dan ujungnya dapat berbenturan dengan pihak keamanan kalau ngotot ingin mudik. Iya salah satunya dengan adanya aturan untuk mudik.

Sekali lagi maaf ya, mudik dipending dulu sampai waktu yang tak ditentukan. Suara Anda belum bisa diterima dan Anda tidak bisa melawan pada kebijakan tersebut, apalagi kalau status sosial hanyalah sebatas rakyat biasa yang tidak punya popularitas dan elektabilitas di mata pemerintah, no way.  

Pemudik yang dilarang mudik, tentu rasa rindu dan sedih bisa saja datang menghampiri. Berkhayal untuk berkumpul bersama keluarga pada suatu istana di pelosok-pelosok desa, hanyalah abstraksi saja. Suasana sejuk dan indah, canda tawa di mana-mana sebagai pengikat keutuhan warga kampung. Begitulah kiranya angan-angan para pemudik yang akan menemani lebaran tahun ini.  

Lebaran di tanah orang lain bukan karena tidak mampu untuk menjalaninya, hanya saja terkesan ada kekurangan saat lebaran tiba namun tidak bisa berkumpul bersama keluarga. Semacam alur cerita pendek, namun raga tidak menyatu. Walaupun dapat berkomunikasi dengan bantuan alat-alat modern saat ini dengan kecanggihan luar biasa, sebutlah ia Smartphone.  

Hanya dengan alat tersebut, para pemudik yang dilarang mudik dapat memantau kondisi keluarga di kampung. Tegur sapa berada dibalik layar untuk mengucap mohon maaf lahir dan batin. Meski kondisinya berbeda kalau secara langsung bertemu di kampung. Akan tetapi, jaman sudah berubah dan dunia sudah amat dekat, seperti kata Pram dalam buku "Bumi Manusia" yang dianonimkan sebagai Minke.  

Karena lagi-lagi kondisinya yang memaksa untuk tidak bisa mudik. Maka mau tidak mau, para pemudik yang dilarang mudik harus menerima nasib untuk lebaran kedua kalinya di daerah orang. Walaupun pun nalar akan memberontak, pikiran dan perasaan berkolaborasi melawan. Namun, tetap saja keputusan pak Jokowi tidak bisa diganggu gugat. Pribadi yang memberontak akan sayup karena kebijakan yang katanya kepentingan umum tetap berada diatas segala-galanya.

Nah, sampai kapan suara gemuruh itu akan berkelabu dalam keterimpitan. Bergumum tak berdaya dan dirongrong dengan aturan-aturan yang katanya sebagai pelindung dan pemberi keadilan kepada kaum lemah. Karena hanya dengan slogam keperpihakan pada yang lemah dapat melenggangkan kekuasaan. Kalau pun belum ada kabar sampai kapan raga dan rindu itu terus bersemayam. Jiwa yang merindu dan meronta, maka tentu sangat merusak jiwa-jiwa menusia itu sendiri.

Kondisinya pun harus larut dalam diri, lebaran di daerah orang dan berbeda saat kumpul bersama keluarga di kampung yang terlihat jelas dalam menyebar maaf-maafan. Namun nasi sudah jadi bubur, aturan untuk melarang mudik para pemudik sudah ditetapkan dan dioperasikan. Siapa yang ngotot melawan aturan tersebut, maka tentu resikonya juga akan disuruh untuk putar balik dan tidak boleh meneruskan perjalanan. Dan lagi-lagi sampai kapan kondisi ngaco yang seperti akan terus terjadi?, entahlah.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun