Mohon tunggu...
Budi Prakoso
Budi Prakoso Mohon Tunggu... -

membaca untuk bisa menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pak Kiki: Mencari Uang Halal di Tempat yang Kotor

23 Mei 2010   06:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:02 5009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aktivitas Pak Kiki Di Kolam Ikan

Pak Kiki (61) adalah petani ikan yang sudah bergelut di budidaya ikan hias hampir 25 tahun. Di lahan seluas 1.700 meter persegi, Pak Kiki dan kelurga membuat kolam ikan hias. Jumlahnya sekitar 63 bak ikan yang terdiri atas berbagai ukuran.

Sebagai petani (budidaya) ikan hias, kehidupan pak Kiki tergolong biasa saja. Walau memiliki jumlah ikan ribuan, tapi kadang menurut pria asal Kebumen Jawa Tengah ini, masih sering kewalahan menghadapi permintaan.

Selepas subuh pak Kiki berangkat mencari pakan berupa kutu air yang terdapat di sejumlah empang di kampungnya. Kutu – kutu air itu selalu bersarang pada temat atau pembuang air yang kotor. Tidak jarang kalau sedang langka, pak Kiki sering berendam mencari kutu air untuk makanan beruyak (ikan kecil hasil penetasan). “Walaupun kotor, tapi sudah dua puluh lima tahun saya berteman dengan empang. Ikan kecil belum bisa makan cacing. Kan mulutnya lebih kecil ketimbang ukuran cacing,” tukas pak Kiki. Kutu air, menurut pak Kiki adalah jenis makanan terbaik bagi perawatan ikan hias.

Umumnya ikan – ikan hias yang di cetak pak Kiki, selalu diekspor ke beberapa negara seperti Eropa, Jepang, Singapura dan Amerika. “Ikan – ikan saya jalannya lebih jauh dari saya, mereka sudah banyak yang sampai ke luar negri, tapi sampai hari ini saja, saya malah belum pernah merasakan enaknya naik pesawat terbang,” katanya berseloroh.

Ikan hias yang diproduksi Pak Kiki ternyata banyak jenisnya, dari mulai Blue Eye, Green Tiger, Manfish, Maskoki, Cupang dan lainnya. Menurut pak Kiki, nama – nama ikan itu lebih familiar di Indonesia, karena kalau menyebut dalam nama Latin, agak sulit di lafalkan.

Dari budidaya itulah, pak Kiki mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Meskipun sebenarnya juga ada senandung keluhan petani ikan. Konon menurut ayah beranak 3 itu, di bisnis ikan hias, bagaimanapun pemodal jauh lebih untung ketimbang petani. Nasib Petani selalu tidak seberuntung pemasoknya.

Manfish, Pasarnya Lokal Dan Ekspor

Sekedar Contoh, ikan jenis Blue eye, untuk ukuran M (1,8cm) berumursatu bulan hanya dihargai 150 perak perekor. Padahal pemasok bisa menjual seharga Rp 200 samapi Rp 250 perak per ekor. Ikan jenis ini memang sekali kirim bisa mencapai ribuan untuk satu petani (Meski masuk komoditas ekspor, namun petani di Kampung Rawa Lele Pondok Gede Bekasi sering menyebutnya sebagai ikan kiriman). Bahkan meski ikan tergolong langka di tingakt petani, tapi hargapun tetap dikendalikan oleh pemasok dan eksportir. “bayangkan saja, pemasok yang tidak memiliki kolam ikan, sudah punya untung Rp 50 samapi Rp 100 perak. Kalau dikalikan 10 ribu ekor, kan hasilnya sudah banyak. Padahal, pemasok selain tidak memiliki kolam ikan, Ia juga tidak terbebani biaya pakan,” tukas pak Kiki bernada tinggi. Di tangan Pemasok biasanya ikan hanya mampir selama 2 sampai 3 hari, selanjutnya ikan dikirim ke eksportir. Kalau sudah di packaging dengan kantong – kantong ikan, dan diberi oksigen, ikan bisa tahan selama 3 hari tanpa harus dipindah tempat.

Butuh Dukungan Pemerintah

Meski terbukti sebagai salah satu komoditas andalan, bahkan menjadi sumber ekonomi masyarakat setempat sejak puluhan tahun. Pak Kiki belum pernah merasakan pembinaan dan dukungan finasial dari lembaga – lemabag terkait. Petani ikan hias di daerahnya memang jauh dari radar pembinaan.

Sejak puluhan tahun lalu, pasar ikan hias ekspor tergolong besar. Indonesia.go.id merekam angka 10 juta dolar amerika untuk tahun 2009. Indonesia, ternyata hanya menyumbang 7,5% dari nilai ekpor ikan hias dunia. Bandingkan dengan Singapura yang menikmati 22,5% pasar ekspor. Padahal Negara itu kurang memiliki sumber daya ikan hias.

Kolam Ikan Pak Kiki Sempat Dipakai Syuting

Sejak puluhan tahun lalu, di Kampung Pak Kiki terkenal sebagai sentra penyupalay ikan hias ekspor. Bahkan beberapa jenis ikan terpaksa jarang sekali dapat memenuhi permintaan karena seretnya produksi.

Umumnya kendala produksi menurut Pak Kiki lebih di sebabkan factor ekonomi para petani. “Bahkan sampai ada yang menjual biang, untuk kehidupan sehari – hari. Bagaimana bisa hidup kalau tukang ojeg malah menjual motornya,” tutur pak Kiki.

Selain budidaya, mengelola bisnis ikan hias juga masih bisa dilakukan dengan cara pembesaran. Biasanya para petani sangat tahu jenis ikan yang sering menjadi permintaan pasar. Untuk meningkakan pendapatan, para petani yang belum memiliki ikan siap jual, melakukan pendekatan bisnis dengan cara menampung bibit untuk pembesaran. “Istilahnya beli beruyak, dan dibesarkan sampai ukuran siap jual,”tukas Pak Kiki.

Model ini juga tergolong positif. Terbukti banyak petani menengah (pemilik modal) mampu membesarkan bisnisnya. Bahkandari cari seperti itu, ada yang sudah punya akses langsung ke eksportir atau buyers di luar negri. “Tapi itu kan bagi yang punya modal, bagi yang tidak, ya sudah, seperti ini saja. Punya uang kalau panen !” katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun