Mohon tunggu...
Budi Prakoso
Budi Prakoso Mohon Tunggu... -

membaca untuk bisa menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kenapa Harus Sumur?

26 Februari 2010   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:43 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepeda motorku lajukan dengan kecepatan rendah, supaya anak ku Putra yang dibonceng terdepan sedikit nyaman. Sesekali tali pengaman helmnya menyapu leher ku. Agar meresa lebih enak lagi, kakaknya Kintan ini, merebahkan kepalanya, tepat diatas setang motor, menutupi indikator spedo meter. Kalaupun pada akhirnya putra tertidur. Maka aku jamin, pasti cukup aman, karena ku apit dengan tangan yang membentang ke sisi – sisi setir motor.

[caption id="attachment_82111" align="alignleft" width="240" caption="Monumen Tujuh Jenderal"][/caption]

Aku memang berniat siang ini memanfaatkan waktu khusus untuk Putra. Senin lalu kujanjikan bahwa kita akan sedikit tour kecil ke Monumen Pancasila – Lubang Buaya. Lokasi yang setiap hari ku lewati jika hendak berngkat kerja, ternyata tidak seperti tampak luarnya, yang penuh dengan deretan tukang ojek. Meski kemacetan, seperti menjadi bagian dari perjalanan, ku pastikan, wisata jarak pendek ini, di buat senyaman mungkin. Karena aku memang sengaja memilihnya di hari biasa, alias bukan hari libur.

Membayar retribusi 5.000 perak, aku, Putra dan sepeda motor, sudah bisa masuk ke dalam komplek yang asri. Kepenatan atas perjalanan yang macet sekejap saja hilang, dengan suguhan deretan pohon akasia yang pinggir jalan saat memasuki halaman museum.

Di ujung jalan, deretan motor terpakir seakan menjadi navigasi, menghentikan motor ku. Ku tawarkan kepada anak ku. Kita mulai dari mana ? Putra lebih memilih Sumur Maut. Memang setidaknya ada dua lokasi utama objek studi tersebut. Satu Museum, di mana rangkaian sejarah pemberontakan dan aksi PKI tergambarkan melalui media atraktif patung – patung miniatur.

Agak sulit memang memberikan penjelasan setiap si sulung bertanya. Misalnya, Kenapa Koq kelihatan sadis sekali Yah ? atau kenapa justru sesama kita harus berkelahi ? dengan cara ku sendiri, ku berikan jawaban. Bahwa semua proses terhadap perjuangan itu, selalu dengan pengorbanan yang besar. Jarang ada yang secara gratis bisa mendapatkannya. Sesekali ku doktrin Ia agar terus menghormati para pahlawan pejuang bangsanya.

Destinasi lama ketika anak ku terpaku pada sebuah sumur maut. Dengan diameter sumur yang berkisar 1 meter, dimensi keramat semakin tajam, manakala dari bawah sumur tersembur sebuah cahaya berwarna merah tua. Seakan memberi penjelasan, sumur yang menjadi saksi masuknya para tubuh jenderal, seperti bersimbah darah. Tak tampak kengerian dalam raut muka Putra. Sambil membaca himbauan di bibir sumur, DILARANG MEMBUANG BENDA APAPUN KE DALAM SUMUR, pertanyaan polos meluncur dari bibir mungilnya. “yah, apakah masih ada airnya?”

Harafiah sumur dijabarkan Putra sebagi tempat berkumpulnya air. Tidak salah ! “sejak dulu sumur itu sudah tidak lagi aktif. Bahkan sumur sempat ditutupi pohon pisang, sebagi kamuflase para pemberontak, menghilangkan jejak TNI, guna mencari mayat korban keganasan mereka.” Begitu tukas ku panjang lebar, berharap Putra memahami jawaban ku “Tapi kenapa harus sumur Yah. Kan sayang airnya ?” Yang ini aku bingung menjawabnya !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun