Sudah terbentuk persepsi publik tentang dikotomi partai Islam dan partai Nasionalis. Paling tidak dari penyataan suveyour yang merilis hasil survei dari lembaga masing-masing. Ambilah salah satunya Indo Barometer. Secara gamblang Qodari, sang direktur menyatakan perbandingan antara partai Islam dan partai Nasionalis. Memang ada dikotomi itu. Dari persepsi itulah, tulisan ini beranjak. Bagaimana situasi parpol Islam sampai saat ini?
Dari beberapa hasil riset, menunjukan bahwa sejak dahulu perolehan suara partai Islam selalu kalah melawan partai nasionalis. Sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2009, gabungan suara parpol Islam selalu kalah, dan bahkan cenderung menurun. Pada Pemilu 1955, suara partai Masyumi dan partai NU, cukup tinggi hingga mencapi 40%. Angka yang hampir serupa diperoleh pada Pemilu 1999, yang agak menurun berkisar 38%. Bahkan pada Pemilu 2009, gabungan perolehan suara parpol Islam tidak lebih dari 28%. Sedangkan gap antara parpol Islam dengan parpol Nasionalis, jaraknya semakin melebar. Jika pada tahun 1995, gap keduanya sekitar 8%, maka pada tahun 2009, gap keduanya terbentang 21,4%.
Menurunya perolehan suara parpol Islam dan meluasnya gap antar parpol Islam dengan partai Nasionalis kedepannya akan berakibat paling tidak pada dua hal: pertama, bubarnya parpol Islam karena tidak terpenuhinya parliementry treshold, dan kedua, tidak adanya calon Presiden yang dapat diusung oleh parpol Islam. Tentu saja, kalah dan melemahnya kekuatan parpol Islam di parlemen dan eksekutif, akan makin menjauhkan agenda-agenda politik yang ingin diwujudkan oleh parpol Islam. Lalu apa solusinya? Membentuk aliansi partai Islam. Tapi, hal ini bukan perkara yang mudah. Hambatan justru datang dari parpol Islam sendiri.
Bergabungnya parpol Islam selama ini mencirikan Fusi dan Koalisi. Fusi atau peleburan parpol dilakukan menjelang Pemilu 1971 untuk penyederhanaan parpol oleh rezim Orde Baru. Semua parpol Islam yang ada saat itu, bersatu dalam satu bendera PPP.Sedangkan Koalisi yang cukup dikenal dengan istilah Poros Tengah. Koalisi yang digagas oleh PAN (Amin Rais) dan PKB (Alwi Shihab), berhasil menaikan capres Islam, Abdurrahmad Wahid dan Amin Rais sebagai ketua MPR. Terlepas koalisi ini bersifat sementara, namun fakta sejarah menyatakan, penyatuan parpol Islam dapat menandingi kekuatan parpol Nasionalis.
Wacana Poros Tengah jilid II, kembali diserukan oleh Din Syamsudin menjelang pemilu 2009. Ide ketua PP Muhammadiyah ini dilatarbelakangi perolehan suara partai Islam pada pemilu sebelumnya terus mengalami penurunan. Ada keinginan agar parpol seperti PAN, PMB, PPP, PKB, PBB, PKNU, PNUI dan PKS tidak terpecah belah. Din ingin melihat partai Islam menampilkan "ukhuwah Islamiyah" atau "persaudaraan sesama muslim" agar juga tercipta di pentas politik. Kalkulasi saat itu, jika perolehan suara lima parpol Islam pada Pemilu 2009 digabung, termasuk dua parpol berbasis ormas Islam, maka hal ini akan menjadi kekuatan politik cukup signifikan. Bahkan diyakini bisa mengalahkan parpol besar seperti Partai Golkar dan PDI-P. Diprediksi kedua parpol besar itu akan melirik kekuatan koalisi partai Islam untuk kepentingan Pilpres 2009. Namun gagasan ini mentah. Hanya elit parpol PKB, PAN dan PBB yang menyepakatinya. Sedangkan elit PKS menolak gagasan penyatuan ini. Padahal suara PKS cukup signifikan untuk memperkuat Poros Tengah Jilid II. Ego masing-masing parpol Islam sulit untuk ditundukan demi ukhuwah Islamiyah.
ALIANSI BUKAN KOALISI
Yang Dibutuhkan oleh parpol Islam saat ini adalah Aliansi bukan Koalisi. Koalisi lebih menekankan kepada kerjasama yang bersifat sementara dan berasas manfaat. Koalisi sesaat hanya untuk mengejar dan memperoleh kekuasaan semata. Oleh karena itu kerekatan antar unsur parpol didalamnya lentur dan mudah untuk “kawin-cerai”. Ikatan antar parpol didalamnya karena ada kepentingan yang sama. Kepentingan untuk merebut kekuasaan secara bersama. Koalisi dibentuk menjelang Pilpres atau Pilkada atau bahkan sesudahnya. Sebutan koalisi yang akrab ditelinga kita, saat ini seperti Koalisi Kebangsaan, Koalisi Kerakyatan, Koalisi Mega Bintang, Koalisi Poros Tengah.
Ada juga yang mengatakan bahwa Aliansi (sekutu) adalah koalisi permanen. Dibentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama bahkan ideologi yang sama. Aliansi dibentuk sebelum Pemilu digelar. Perolehan kursi masing-masing parpol bukan menjadi pertimbangan utama. Aliansi lebih disandarkan pada keinginan bersama yang lebih "murni". Dalam pola aliansi ciri yang paling kentara adalah kentalnya kesamaan tujuan dan agenda politik.
Aliansi bukan fusi. Karena tidak ada peleburan parpol di dalamnya. Masing-masing parpol tetap otonom. Aliansi memiliki pola konfederasi. Dimana masing-masing parpol eksistensinya tetap dijamin. Wadah aliansi akan dipergunakan dalam memperjuangkan nilai dan agenda politik yang sama dan berjangka panjang.
Apa yang diwacanakan oleh Din Syamsudin tentang Poros Tengah Jilid II, dia menyebutkannya sebagai koalisi strategis atau aliansi. Alinasi ini tidah hanya mengacu bagaimana menghadapi pemilihan presiden, tetapi juga dalam menghadapi persoalan-persoalan strategis umat Islam. Hubungan jangka panjang antar partai-partai Islam yang berbasis masa Islam dengan tanpa harus melebur eksistensi mereka. Juga merupakan realisasi ukhuwah Islamiyah dan silaturahmi dalam kehidupan politik.
Menjelang Pemilu 2014, fungsionari PBB, MS Kaban melemparkan kembali gagasan penyatuan parpol Islam melalui istilah “aliansi hijau”. Keinginan untuk menghilangkan sekat sekterian dan fanatisme golongan yang selama ini berkembang diantara partai Islam atau di internal partai itu sendiri. Aliansi Hijau ini diharap akan menjadi penyeimbang partai-partai nasionalis yang telah mengakar di sistem perpolitikan di Indonesia. Aliansi Hijau ini sifatnya permanen tidak terbatas pada Pemilu 2014 belaka. Dan bisa menjadi wadah bersama perjuangan umat Islam.
Baik gagasan Poros Tengah Jilid II maupun Aliansi Hijau mendapat respon dari elit parpol Politik. Seperti PAN yang menyetujuinya karena disuarakan oleh Ketua umum PP Muhammadiyah sebagai basis konstituen utama PAN.Demikian juga dengan PPP melalui sekjen Irgan Chaerul Mahfidz menyatakan bahwa pembangunan poros Islam akan mempermudah penyesuaian sikap politik, visi, dan misinya, terutama menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan dan bangsa. Irgan menyatakan wacana tersebut menarik disaat kita mengalami kebuntuan politik. Ketua PBB Yusron Ihza Mahendra juga mendukung gagasan tersebut, agar partai-partai Islam dirapatkan untuk menguatkan barisan. Demikian pulaZainul Munasichin, Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengapresiasi gagasan yang disampaikan oleh MS Kaban tersebut.
Justru yang menarik dukungan dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang pada pemilu kali ini tidak masuk sebagai kontestan Pemilu.Bahkan Ketua Umum PKNUChoirul Anam sudah ikut terlibat dalam deklarasi Aliansi Hijau ini. Chorul menegaskan bahwa aliansi ini bersifat permanen sehingga nanti tidak ada lagi koalisi-koalisi yang temporer atau sementara.
BAGAIMANA DENGAN PKS
Keikutsertaan PKS dalam pentas politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dukungan parpol Islam. Kerelaan parpol Islam mendukung PKS menjadi catatan penting sejarah. Dengan kata lain, PKS “berhutang budi” pada parpol Islam.
Pada Pemilu 1999, saat itu masih bernama PK mendapat 1,4 juta suara atau 1,36%.PK gagal memenuhi parliementry treshold sebesar dua persen. Sehingga terpaksa partai ini melakukan stembus accord (penggabungan suara sisa), dengan delapan partai politik berbasis Islam lainnya pada Mei 1999. Delapan parpol Islam itu, antara lain: Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Partai Ummat Islam (PUI), PPII, Masyumi,PNU,dan PSII 1905. Inilah sejarah, dimana parpol Islam memiliki solidaritas kuat untuk mendukung PKS.
Dalam waktu yang bersamaan Dewan Dakwah Islamiyyah menghimbau partai-partai Islam agar menyatukan diri dalam satu aliansi politik, agar suara umat tidak terpecah-belah. Waktu itu sudah ada gagasan membentuk aliansi partai Islam. Tetapi gagasan penyatuan ini ditolak oleh Anis Matta, dengan alasan agar partai-partai Islam mencari konstituen masing-masing sebanyak-banyaknya, nanti aliansi di Parlemen. Namun kenyataannya, PAN dan PKB yang mempelopori terbentuknya Poros Tengah di parlemen pada tahun 1999.
Begitu pula pada tahun 2009, saat wacana pembentukan aliansi partai Islam dikumandangkan, dan direspon cukup baik oleh parpol Islam lain. PKS justru menolaknya. Alasan Presiden PKS Tifatul Sembiring saat itu, usaha membangun poros Islam itu justru bisa kontraproduktif. Poros tengah percuma dan tidak penting, karena tidak jelas untuk apa, ujar Tifatul. Karena partai berbasis Islam sulit dipersatukan, karena masing-masing mempunyai aliran yang berlainan. Jadi alasan aliran inilah yang mendasari PKS selalu menolak untuk bergabung dalam Aliansi Partai Islam.
Hal yang sama pernah juga diwacanakan oleh Forum Umat Islam (FUI) sebelum Pilpres 2009. FUI menghimbau untuk membentuk “Kaukus Partai Islam”. Tapi, lagi-lagi PKS menolaknya. Rupanya PKS lebih nyaman untuk berkoalisi dengan partai Demokrat sejak pemilu 2004 hingga Pemilu 2009. Hal ini tidak mengherankan jika melihat kiprah Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang jadi panutan PKS di Indonesia.
Ikhwanul Muslimin di Mesir, lebih nyaman untuk membentuk blok baru bernama Blok Aliansi Demokrat, ketimbang bergabung dengan Blok Aliansi Islam. Blok Aliansi Demokrat yang dipimpin Ikhwanul Muslimin menyatukan 12 partai, dua partai diantaranya adalah Partai Ghad liberal dan Partai Nasserist Karama yang bukan berideologi Islam. Sedangkan musuh Ikhwanul Muslimin, adalah Blok Aliansi Islam yang dipimpin oleh partai Nour Salafi. Blok AliansiIslam mencakup empat partai: Partai Nour, Partai Asala, Partai Salafi Kini, dan Partai Konstruksi dan Pembangunan ( sayap politik Al-Jamaa al-Islamiyah). Melihat langgam politik IM di Mesir, PKS rupanya menapak jalan yang sama. Lebih memilih bergabung (koalisi) dengan partai nasionalis/ sekuler ketimbang partai Islam. Mungkin "gaya" langkah PKS yang menggerilya kubu konstituen nasionalis akan jauh lebih menghasilkan penambahan suara daripada energinya disalurkan dalam suatu aliansi poros Islam yang belum pasti.
Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan suara, dakwah dan komentar yang kerap disuarakan oleh para kader dan simpatisan di bawah. Bahwa PKS adalah partai Islam, membawa agenda politik Islam ke ranah politik dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Namun elit PKS selalu menolak adanya ukhuwah Islamiyyah, penyatuan gerakan politik Islam secara bersama. Dalam satu Blok, dalam satu Poros.
Dengan alasan kontraproduktif, tidak jelas arahnya dan sulit untuk disatukan karena adanya perbedaan aliran, menandakan PKS melupakan sejarahnya yang didukung oleh delapan parpol Islam yang notebenenya berbeda aliran.Dengan begitu PKS menafikan prinsip Islam itu satu, dan harus bersatu dalam ukuwah Islamiyah. Yang nampak justru bukan ukhuwah Islamiyyah tetapi ukhuwah ashobiyyah (fanatisme golongan).
Sekedar mengingatkan, sabda Rasulullah” Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah (HR Abu Dawud)”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H