Mohon tunggu...
Mas Budi
Mas Budi Mohon Tunggu... -

ﺑﺎﺭﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻚ

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Zombie, Penjara dan Ujian Nasional

5 Desember 2013   20:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:16 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bermain Playstation adalah pelarian dari ketidakmampuan saya untuk berperan dalam kenyataan. Ketika lapangan sepakbola semakin menyempit, sementara isi saku tak cukup untuk menyewa lapangan futsal, maka Pro Evolution Soccer (PES) jadi pelampiasan. Di saat mobil balap tak sanggup saya miliki, maka Nascar Rumble saya mainkan. Bila amarah sedang menyala, sementara memukul orang lain berimplikasi pada pelanggaran hukum, maka Smack Down jadi solusi. Begitu pula ketika dahaga petualangan saya tentang dunia misteri sedang memuncak, biasanya Resident Evil jadi pilihan permainan . Khusus untuk game yang tarakhir saya sebutkan, ada sesuatu yang cukup menarik... Dalam Resident Evil seorang player memiliki misi untuk membumihanguskan para zombie alias mayat hidup_tapi bukan pocong, kuntilanak, genderuwo, dan semacamnya. Demi kesuksesan misi, ia dibekali dengan persenjataan lengkap. Akan tetapi, mari kita sedikit berpikir nakal_seperti halnya pertanyaan tentang pocong, kuntilanak dan kawan-kawan, apakah zombie itu ada? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita pelajari metafisika, para-psikologi, astrologi, dan lain-lain semua ilmu yang pasti njelimet. Cara paling mudah barangkali dengan mengandaikan zombie itu serupa dengan entitas yang bisa kita indra. Seperti halnya Fahd Djibran yang mengandaikan alien itu adalah manusia modern yang sudah jemu dengan rutinitas, dengan mengutip Marx_ sebagai manusia yang kehilangan sisi kemanusiaannya, maka saya mengandaikan bahwa zombie adalah manusia yang telah kehilangan gairah hidup : seorang yang mati dalam kebernyawaan, seorang yang menganggap hidup sebagai kutukan, dan bukan justru anugerah. Seorang yang sudah stres dan putus asa. Seperti diceritakan Soekarno dalam Penyambung Lidah Rakyat, tempat paling pas untuk membunuh jiwa seseorang adalah penjara, baik itu dalam artian sebenarnya maupun dalam artian yang agak puitis. Penjara dalam artian sebenarnya adalah sebuah ruangan kecil yang dibatasi oleh jeruji besi. Sementara penjara dalam artian yang agak puitis bisa berupa sistem yang membuat seseorang menjadi terkekang. Maka bila berniat menemui zombie, kunjungilah penjara-penjara itu. Salah satu kategori zombie yang ada pada masa kini adalah para pelajar, terkhusus di Indonesia. Apa sebab saya mengatakan itu? Semua pelajar takkan menyangkal bahwa hal yang paling mereka rindukan ketika bersekolah adalah bel istirahat, pulang, atau acara perpisahan. Semua itu merupakan tanda bahwa mereka tidak merasa betah di sekolah, sebuah tanda bahwa sekolah telah menjadi penjara. Bila pendapat ini dinilai terlalu ekstrem, maka silahkan Anda tanya para ahli pendidikan : Apa tujuan negara membangun sekolah? Jawabnya pasti,”Untuk mempersiapkan manusia yang siap hidup dalam lingkungan masyarakat”. Tentu redaksinya tidak akan persis, tapi substansinya pasti sama. Kemudian, apa istilah yang lebih manusiawi bagi penjara? Tiada lain adalah lembaga pemasyarakatan. Bedanya, sekolah adalah tempat untuk mencegah kejahatan, sedangkan penjara adalah tempat untuk mengobati para penjahat. Persamaannya : kedua tempat itu, terutama sekolah, untuk saat ini di Indonesia, sama sekali tidak nyaman, setidaknya bagi para pelajar yang selalu mendamba bel pulang.

Sekarang, mari kita bertanya, mengapa para pelajar menjadi zombie? Mengapa para pelajar kehilangan gairah hidup, putus asa, galau dan murung? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa belajar dari sejarah. Ibnu Taymiyah merasa stress ketika ia dipenjara dalam penjara yang sebenarnya. Tapi jangan lupakan satu hal bahwa perkara yang lebih membuatnya stress ialah berpisahnya ia dengan buku-buku_sahabat terbaik yang ia cintai. Baginya, perpisahan itu adalah penjara dalam artian yang agak puitis, penjara yang jauh lebih menyakitkan. Soekarno merasa putus asa ketika oleh pemerintah kolonial Belanda dijebloskan ke dalam penjara Banceuy, penjara yang sebenarnya. Tapi jangan lupakan bahwa perkara yang lebih membuatnya galau justru berpisahnya ia dengan massa rakyat sehingga tak bisa lagi berorasi_suatu aktivitas yang sangat ia gemari. Baginya, perpisahan dengan massa rakyat, hilangnya kesempatan untuk berorasi adalah penjara dalam artian yang agak puitis, penjara yang jauh lebih menyengsarakan. Ada satu pelajaran yang bisa kita sari dari kisah dua tokoh tadi, yakni bahwa cara terenteng untuk membunuh seseorang tanpa menghilangkan nyawanya, tiada lain selain memisahkan ia dengan kehidupannya, memisahkan ia dengan kegemarannya_seperti memisahkan gadis kecil dari boneka, memisahkan pria dari perempuan yang ia cinta atau memisahkan macan dari perburuan di rimba hutan. Begitu pula dengan para pelajar, mereka mati menjadi zombie karena terpisah dari apa yang mereka gemari, dari apa yang mereka suka, dari apa yang merupakan nadi dalam hidupnya. Dan semua itu, terjadi di sekolah. Lantas, tentu Anda bertanya, atas dasar apa saya mengatakan bahwa sekolah telah memisahkan mereka dari kehidupannya? Untuk itu, izinkanlah saya untuk memperpanjang catatan ini, menjelaskan kepada Anda tentang dasar atas apa yang saya katakan. Dengan dalih untuk memberikan pendidikan yang kualitasnya merata se-Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberlakukan standarisasi satuan penyelenggaraan pendidikan (Sekolah). Dengan standar itu diharapkan semua sekolah berupaya keras untuk memberikan pendidikan yang optimal dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mengukur ketercapaian standar tersebut, maka evaluasi hasil pendidikan pun dilakukan dengan standar yang sama, dalam bentuk tes yang sama, untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Tes atau alat evaluasi ketercapaian standar pendidikan yang dimaksud ialah Ujian Nasional (UN).
Karena UN adalah alat evaluasi pendidikan, maka semakin tinggi tingkat kelulusan siswa, semakin cemerlanglah citra suatu sekolah. Begitu pula sebaliknya. Adapun indikator kelulusan UN adalah siswa mendapat nilai diatas batas minimal yang ditetapkan untuk mata pelajaran tertentu seperti matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan lain-lain. Biasanya, berdasarkan hasil Try Out (TO) jarang sekali siswa yang nilai UN-nya diatas batas minimal, sehingga mereka terancam tidak lulus. Bila banyak siswa tidak lulus UN, maka citra sekolah akan tercemar. Oleh sebab itulah banyak sekolah yang melakukan kecurangan dalam rangka ‘menyelamatkan anak-anaknya’. Dalam catatan ini saya tidak hendak memperbincangkan kecurangan dalam UN. Hal itu rasanya sudah terlalu mainstream. Hal ikhwal yang ingin saya paparkan disini ialah memandang UN dari sudut yang lain, sudut yang tetap memperlihatkan bahwa UN sama sekali layak untuk tidak dipertahankan. Dengan adanya UN, berserta ketentuan-ketentuan yang menyertainya, kini para pelajar tidak lagi belajar untuk kehidupannya, melainkan hanya ‘untuk lulus ujian’. Karena itulah sejak awal mereka dipersiapkan untuk menguasai mata pelajaran yang di-UN-kan. Sialnya, tidak semua pelajar menyukai mata pelajaran yang di-UN-kan itu. Seorang pelajar yang menjuarai olimpiade angkat besi tingkat internasional tetap tidak akan lulus UN bila nilai bahasa Inggrisnya hanya 2,00. Bahkan andai Lionel Messi yang telah meraih penghargaan sebagai pemain sepakbola terbaik dunia selama empat tahun berturut-turut adalah seorang pelajar sebuah sekolah di Indonesia, ia takkan lulus UN bila matematikanya jeblok. Oleh karena itulah, mereka harus meninggalkan apa yang mereka sukai, agar berkonsentrasi mempelajari apa yang di-UN-kan saja. Bayangkan bila orang-orang berikut adalah seorang pelajar di Indonesia : Messi harus gantung sepatu demi lulus matematika, Pedrosa harus parkir motor demi lulus fisika, Bruno Mars harus tutup mulut demi lulus kimia, dan seterusnya-dan seterusnya. Sekarang, lihat apa yang terjadi dengan Messi, Pedrosa serta Bruno Mars versi pelajar Indonesia : Mereka terpisah dari kehidupannya, mereka terpisah dari apa yang mereka cintai, mereka bercerai dengan nadi hidupnya. Dengan kata lain, mereka terpenjara oleh UN. Maka tak heran, bila gairah hidup mereka kemudian mati, maka tak heran bila kemudian mereka galau, maka tak heran bila mereka menjadi zombie... Monyet terpisah dari pisang, ikan dipaksa hidup di tengah gurun, burung justru dipaksa berenang... Kasihan... sumber foto : path.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun