SANG Ayah, bapak bangsa Afrika dan dunia itu telah tiada. Ia wafat dalam usia 95 tahun (1918-2013) dan meninggalkan warisan tak ternilai untuk sejarah kemanusiaan modern. Legasi ketokohannya tidak hanya nyata bagi rakyat Afrika Selatan, melainkan juga bagi dunia. Ia memberi teladan kemuliaan, melampaui apa yang pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi, Roosevelt, Marthin Luther, dan JF Kennedy. Ia terinspirasi oleh Gandhi yang mengumandangkan politik dan demokrasi tanpa kekerasan (Gandhi pernah berjuang di Afrika Selatan semasa pemerintahan kolonial Inggris, 1893-1913). “Generasi-generasi yang akan datang sulit percaya bahwa ada orang seperti dia yang pernah berjalan di muka bumi ini dalam rupa daging dan darah,” tulis Albert Einstein ketika mengenang kematian Gandhi yang tewas dibunuh oleh orang Sikh, 1948. Nelson Mandela melakukan apa yang diwariskan Roosevelt: New Deal. Mewujudkan mimpi Marthin Luther King untuk dunia tanpa perbedaan ras, sekurang-kurangnya untuk Afrika Selatan. Ia membuat ucapan JF Kennedy yang terkenal: forgiven but not forgotten (dimaafkan tapi tidak untuk dilupakan) menjadi praksis riil. Rekonsiliasi nasional yang diprakarsainya dan dilakukan dengan determinasi kuat tanpa ragu, adalah salah satu contoh resolusi konflik yang paling mengesankan dan menyalakan harapan bagi dunia. (Bandingkan dengan Gus Dur yang memprakarsai Komisi Rekonsiliasi untuk memulihkan hak-hak korban kejahatan era Orba, sampai hari ini tidak ada kemajuannya). Ia menunjukkan kelasnya sebagai negarawan (bukan sekadar pemimpin atau presiden), ketika hanya bersedia menjabat satu periode dalam masa jabatan kepresidenan. Dan pada eranya itu, landasan dan arah bernegara dibangun kuat-kuat untuk memastikan semuanya berlangsung dan berlanjut. Ia muncul sebagai mutiara Afrika paling bersinar yang sebelumnya amat kelam oleh kekejaman dan banjir darah seperti yang terjadi Uganda pada masa diktator Jenderal Idi Amin (1971-1979) dan Kongo pada masa Mobutu Seseseko (1965-1997). Kedua diktator itu tak hanya haus kekusaan dan merampok harta bangsanya, melainkan juga membantai ratusan ribu rakyatnya sendiri. Namun, Afrika sampai hari ini masih mewarisi riwayat panjang konflik dan perang saudara yang tak kunjung usai di sebagian negara di benua itu. Mandela tidak hanya “beda kelas” dengan kebanyakan penguasa Afrika dan dunia, ia juga “mengajari” Barat dalam memperlakukan negara bekas jajahannya. Ia tidak mengusir kulit putih yang menjajah negerinya ratusan tahun,apalagi memerintahkan pengambil-alihan aset terhadap perusahaan bekas penjajah. Ia memilih berpisah dengan istrinya Winnie Mandela ketika terbukti istrinya terlibat memprakarsai sebuah aksi kekerasan yang dikoordinir oleh salah satu organisasi sayap partai. Mandela mengalami tempaan berat, bantingan keras, dan penghinaan terhadap martabat kemanusiaan paling menjijikkan dalam sejarah modern. Ia dikurung 18 tahun oleh rezim apartheid. Namun—seperti pribadi luar biasa lainnya—penjara tidak membuat semangatnya padam, dendam berkobar. Kebeningan pikirannya terjaga, dan impian tentang masa depan negerinya yang rukun dan damai, maju dan terhormat, terus menyala. Mandela (95 tahun) merupakan fenomena yang sulit dicari bandingannya dalam proses metamorfosanya dari seorang aktifis-pemikir, kemudian menjadi negarawan dan selanjutnya menjelma menjadi sumber kebajikan. Kata-kata, kesan, pujian, tidak cukup untuk orang besar dalam sejarah modern ini. Namun, apa yang dikatakan mantan petinju besar Muhammad Ali kepada NBC (diterjemahkan dengan baik oleh Mardiyah Chamim, wartawati TEMPO), rasanya bisa mewakili apa yang telah dilakukan Mandela untuk Afrika Selatan dan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H