Kejadian 1 : Kelenteng Sam Poo Kong. Senja menjelang… Tertera di loket depan : “karcis masuk : dewasa = Rp 3.000” “Mas, sekarang masuk bayar ya? dulu gratis loh..” pertanyaan gak penting, terdorong oleh jiwa pelit “Ehm, iya mbak, udah lama kok, mbaknya aja gak pernah ke sini…” kata penjaga loket sok akrab Saya membeli 7 tiket, sesuai dengan hitungan dewasa di rombongan kami. 7 tiket kali 3 ribu sama dengan 21 ribu. 21 ribu ya, mohon diingat. Ternyata perombakan terdapat di sana sini, kelenteng ini terlihat lebih cantik. Dari pintu yang ada loketnya, terdapat 2 pintu masuk: 1 pintu gerbang terbuka bebas, 1 lagi pintu lebih kecil dijaga petugas tiket. Keduanya dibatasi oleh parit kecil dengan air mancur. Berdasar pengalaman sebelumnya, kami masuk ke pintu gerbang yang besar. Acara berlanjut dengan foto-foto di pelataran kelenteng, di bawah patung Cheng Ho, tapi sama sekali tidak bisa masuk ke dalam kelenteng, terhalang oleh parit kecil itu. Puas bernarsis ria, kami memutuskan untuk pulang. Di pintu keluar, saya curiga, tiket masuk sama sekali tidak diperiksa bahkan disobek. Usut punya usut, ternyata tiket lebih dikhususkan untuk pintu yang lebih kecil, dimana pengunjung dapat melakukan ritual sembahyang, masuk ke kelenteng, minta diramal dan sebagainya. “Mas, saya kan gak masuk ke kelenteng, jadi gak perlu beli tiket donk, nih…tiketnya saya balikin, tuker sama uang saya..” kata saya ketus. “Wah, gak bisa mbak…tiket yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” balasnya tak kalah judes. “Gak ada tulisannya tuh, udah deh…balikin aja, saya gak ngapa-ngapain juga di dalem, udah sore nih…” kata saya sambil mengasah golok di tempat (gak ding!)
Akhirnya…dia mengalah, dan saya pun menerima Rp 20.000 dari tangan sang penjaga loket
*tersenyum penuh kemenangan*
Eit, tunggu, jangan senang dulu, lihat angka yang saya bayar diatas dan yang saya terima. Beralasan donk kalau saya nyeletuk seperti ini : “Yaelah mas, doyan juga uang seribu??”
*sebelum pisau bersinar, saya pun ngacir meninggalkan te ka pe*
Duh Gusti, nyuwun pangapunten….
[caption id="attachment_130318" align="aligncenter" width="300" caption="sannywannatell.wordpress.com"][/caption] Kejadian 2 : Lebaran Delay Gara-gara lebaran pake acara delay, maka jamaah permudikan pun bingung mau jalan ke mana. Pilihan jatuh ke Sekatul, sebuah kampung wisata budaya. Tanpa cek dan ricek apalagi kabar kabari kami pun meluncur ke lokasi. Tak disangka tempat tersebut tutup pada hari itu. Kebingungan melanda. Sebagai tamu, kami pasrah mau digiring kemana. Akhirnya Nglimut, sebuah wisata pemandian air panas yang berlokasi tak jauh dari situ menjadi pilihan kedua. Tertera di loket depan : “karcis masuk : dewasa = Rp 12.500” Kali ini kami membeli 10 tiket dan selekasnya mencari saung untuk istirahat makan siang. Berhubung tujuannya selain jalan-jalan juga makan siang, saya pun mencari petugas yang berjaga disitu. “Mas, pesen makanan dimana??” “Yang masak udah pada pulang mbak, kerjanya cuman setengah hari, kan besok lebaran…” kata si Mas, kalem. “Jadi, kita gak bisa makan nih??” kelaparan membuat saya melontarkan sebuah pertanyaan konyol. Dijawab tak kalah konyol “Ya bisa mbak, kalo mbak bawa makanan sendiri…” Anak-anak yang sudah lepas baju siap berenang mulai merengek, tapi para pinisepuh keukeuh dengan pendirian. Kami harus pergi dari tempat ini. Habis berenang kan biasanya lapar, trus kalo gak ada makanan, emang enak makan angin? Perut bisa kembung, kasian anak-anak (dan juga emaknya hehe..) Menuju pintu keluar, saya berada dalam garda terdepan. Dari pengalaman sehari sebelumnya, saya berniat meminta kembali hak saya yang terenggut *cieh* “Mas, saya disini mau pesen makan, lha kok tukang masaknya udah pulang, udah deh saya gak jadi, tolong kembalikan uang saya, nih tiketnya saya balikin…” “Wah, gak bisa, mbak….” ujar si Mas, sedikit ngeper. Melihat si penjaga loket mulai pucat, dengan rasa solidaritas sesama pegawai yang tinggi, tukang parkir mendekati lokasi kerusuhan. “Gak bisa mbak kalo caranya seperti itu, kalau mau, situ beli tiket 10 orang, kita balikin 5 orang aja!” kata tukang parkir lebih galak “Enak aja, saya disini gak sampai 5 menit, mau pesen makan gak ada, ngrendem kaki pun juga belum sempet…kok suruh bayar tiket. Pokoknya balikin !!” kelaparan membuat saya sedikit kalap. Tak ubahnya peristiwa sebelumnya, mereka mengalah dan mengembalikan uang dalam bentuk terlipat, yang kemudian saya masukkan dalam saku, tanpa dihitung…. Sang tukang parkir ngambek, tak mau membantu mobil kami yang akan keluar. Ih, ra pethek’en! Di tengah perjalanan, saat membuka lipatan uang…yang saya temui hanya 2 lembar uang 50 ribuan. Sebentar, Rp 12.500 dikali 10 orang = Rp 125.000. Trusss…25 ribu nya mannnnna?? Glek!! Apa salah dan dosaku Oh Tuhan…. (udah tau masih nanya!! Hehe)…… Gak mungkin saya balik kesana lagi secara perjalanan udah lumayan jauuuhh…. Grrrrrhhhh… “Seorang preman telah tertipu”….jadi inget film Warkop jadul dulu hehehe…
Moral of the Story : pengalaman sebagai “gali” di Semarang dan preman KRL ekonomi Jakarta- Bogor ternyata tak bisa dipergunakan secara dholim alias acak.
-Budina – Warning : Don’t Try this at home
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H