Dalam konstitusi kita, disebutkan bahwa Presiden bersama DPR membuat Undang-Undang (UU). Ini memberikan Presiden Republik Indonesia kewenangan besar untuk menolak sebuah UU. Megawati Soekarnoputri pernah menolak UU yang telah disetujui sidang paripurna DPR pada bulan September 2004. RUU Batam Free Trade Zone tidak pernah menjadi Undang-Undang karena tanpa tandatangan Presiden sebuah UU tidak dapat diundangkan.
Dalam konstitusi kita, disebutkan pula jika sebuah Undang-Undang telah disetujui oleh presiden dan DPR, masyarakat dapat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika ada prinsip yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) kita. MK pernah menolak UU Koperasi yang akhirnya batal demi hukum.
RUU Pilkada merupakan inisiatif pemerintah (Kementerian Dalam Negeri yang tentu saja atas persetujuan Presiden SBY) sejak 2012. Pembahasannya terkatung-katung karena hanya dua atau tiga fraksi (termasuk Demokrat) yang awalnya mendukung perubahan RUU Pilkada yang meniadakan pemilihan kepala daerah oleh rakyat, lalu dikembalikan ke masa Order Baru (pemilihan lewat DPRD).
Setelah kalah di Pilpres, Koalisi Merah Putih (KMP, lebih layak disebut Koalisi Mabuk Parah) berupaya melakukan berbagai cara melakukan manuver politik yang mencerminkan belum legowonya para elit partai yang tergabung dalam KMP menerima kekalahan Prabowo walaupun KMP menguasai sekitar 60% kursi DPR. Dimulai dari disahkannya UU MD3 yang menolak kursi ketua DPR diberikan kepada partai pemenang pemilu dan mengubah pemilihan pimpinan komisi dari musyawarah mufakat ke sistem paket berdasarkan voting. Setelah gugatan pilpres ditolak secara seluruhnya oleh MK, dilakukan upaya untuk menggugat ke PTUN, MA, sampai Ombudsman Republik Indonesia. Tidak berhenti sampai disitu, RUU Pilkada juga dipaksakan menjadi prioritas untuk disahkan pada tanggal 25 September 2014.
Sebagai politikus yang menganut prinsip "selalu ada pilihan", maka berikut adalah pilihan SBY:
1. Pemerintah (Kemendagri) dapat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU Pilkada di DPR saat ini juga. Tanpa keterlibatan pemerintah, DPR tidak dapat membuat UU sepihak.
2. Jika RUU telah disahkan oleh DPR, maka presiden mempunyai waktu 30 hari untuk mmberikan tanda tangan sebagai tanda pengesahan berlakunya UU. SBY yang "cerdik" akan mewariskan hal ini ke presiden berikutnya. Biarlah Jokowi yang menolak, agar SBY tetap menjaga kekompakan dengan Prabowo dan KMP disatu pihak, dan SBY tidak dituding memberikan warisan (legacy) buruk di akhir pemerintahannya yang mengubah pilkada dari pilkada langsung lewat pilihan rakyat ke pilkada tak langsung lewat DPRD.
3. SBY bisa saja menyetujui berlakunya UU Pilkada Baru itu, dan membiarkan koalisi Jokowi-JK untuk melakukan gugatan ke MK.
Seharusnya, mengubah UU Pilkada yang meniadakan hak pemilihan langsung oleh rakyat harus dilakukan dengan persetujuan rakyat melalui referendum. Ini tidak dapat dilakukan oleh 560 anggota DPR yang katanya mewakili rakyat itu. Apalagi dalam pilpres kemarin, Prabowo tidak pernah mengatakan bahwa dia menyetujui pilkada lewat DPRD. Lalu mengapa setelah kalah lalu berubah sikap ? Rakyat yang berbeda pilihan dalam pilpres kemarin saja sekarang sudah legowo, mengapa para elit partai KMP masih belum legowo? Berarti mereka berjuang untuk kepentingan partai atau golongan, bukan untuk kepentingan rakyat? Jadi yang menghambat Indonesia menjadi maju dan hebat itu malah anak bangsa sendiri ?
Apa para elit partai KMP mau tunggu rakyat berdemo lagi seperti pada 1998, karena sudah tidak percaya DPR ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H