Belum genap satu hari pelantikan DPRD DKI yang baru (2014-2019), Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok sudah mengusulkan nama salah satu deputinya (Sarwo Handayani) sebagai calon wakil gubernur mendampingi Ahok sebagai Gubernur. Padahal kita tahu, PDIP dan Gerindra sebagai partai pengusung masih belum bertemu untuk membahas pergantian pimpinan di DKI. Ada apa dengan manuver politik Ahok ?
Beberapa bulan yang lalu, Ahok sempat menjelaskan secara etika politik wagub DKI penggantinya (jika Jokowi menang Pilpres dan Ahok menjadi Gubernur) berasal dari PDIP. Namun rupanya Ahok menyadari bahwa partai Gerindra tidak mau melepaskan begitu saja peluang ini. Apalagi koalisi Jokowi-JK di DPRD DKI hanya berjumlah 49 (PDIP 28, Hanura 10, PKB 6, dan Nasdem 5) sementara koalisi Merah Putih yang dipimpin Gerindra sementara ini berjumlah 57 kursi.
Sepertinya Ahok sudah menyadari akan terjadi pertarungan di DPRD DKI karena Gerindra ngotot untuk voting agar kadernya menjadi Wagub jika tak satupun partai dari koalisi Merah Putih (terutama PPP, PD atau Golkar) menyebrang ke koalisi Jokowi-JK. Maka jauh sebelumnya Ahok mengusulkan PNS karir agar tidak terjadi pertarungan politik yang panas di DPRD DKI untuk posisi Wagub, yang tentunya akan membuat Gerindra semakin terlihat buruk di mata masyarakat.
Ahok menyadari bahwa Prabowo mendukungnya dengan tulus dan tanpa mahar pada pilkada DKI tahun 2012 yang lalu. Namun, melihat sifat asli Prabowo dalam Pilpres kemarin yang ternyata meletakan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan masyarakat luas, sebaiknya Ahok bisa  konsisten dengan perkataannya sendiri bahwa Ahok hanya tunduk kepada konstitusi. Jika Gerindra masih belum dewasa dalam berpolitik dengan memaksakan kadernya mengisi posisi Wagub DKI, sebenarnya Ahok bisa memberi pelajaran untuk keluar dari Gerindra. Namun Ahok yang berhutang budi kepada Prabowo akan membuatnya setia pada Gerindra.
Memang politik semuanya cair, dulu menjadi kawan koalisi sekarang menjadi lawan. Secara logika sederhana, jika ada dua partai pengusung (PDIP dan Gerindra) dan posisi Gubernur sudah diisi oleh kader Gerindra, maka posisi Wakil Gubernur akan diisi oleh PDIP secara etika politik yang dewasa. Jika sampai posisi Wakil Gubernur dibiarkan kosong (karena PDIP dan Gerindra tidak mencapai titik temu), akhirnya rakyat juga yang merasakan kerugiannya. Kita tunggu manuver politik Ahok berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H