Mohon tunggu...
Budiman Sukma
Budiman Sukma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Takut terperangkap alienasi dan hanya berakhir di keranjang belanja.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Absurditas Nilai-nilai Kebaikan

3 Maret 2014   07:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393780597618378340

Manusia mengambil arah yang tepat dengan mengagungkan “kebaikan”.  Setujukah kita semua? Tentu saja, apalagi yang mulut ini akan beritakan dengan penuh keriangan selain kabar perihal manusia-manusia dengan moral yang kuat, melawan demi kebaikan. Pada batas-batas tertentu, kita semua pastilah akan mengabarkan berita gembira ini kepada seluruh telinga yang terbuka, hingga memaksa mata tertidur untuk bangun dan lihatlah, “betapa membanggakannya!”,  seolah-olah semua kebaikan yang masih tersisa di dunia ini bukan hanya atas prakarsa mereka, namun juga atas andil kita, meski tugas kita hanyalah sekedar membesar-besarkannya. Dan saya mulai memikirkan kekeliruan ini.

Di Koran pagi misalnya, dikabarkan bahwa terdapat sebuah kota yang dengan berat hati harus ditutup, pelarangan akses “keluar dan masuk” di gerbang kota diberlakukan, sehingga semua warga yang berada dalam jangkauan tersebut akhirnya terisolasi, begitupun dengan warga yang berada diluar teritori tidak memiliki akses untuk memasukinya. Peraturan darurat ini berkenaan dengan fakta bahwa kota tersebut tengah dilanda sebuah epidemi mengerikan, sebuah penularan penyakit yang digambarkan sebagai “penyakit jorok”, bahkan diberi nama “kutukan tuhan”, epidemi ini dikenal dengan wajah : Sampar. Dikabarkan pula, bahwa setelah memasuki bulan ketiga, wajah ini berhasil menampakkan kengeriannya dengan mengantarkan  ribuan manusia kekuburannya. Tak pelak lagi, semua warga yang mendiami kota hanya mampu berpasrah pada maut, memang pada awalnya urusan ini hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun secara ajaib keadaan ini menjelma menjadi tanggung jawab semua makhluk hidup yang menghirup udara kota, manusia dan segala isinya. Dan kini gambaran paling ideal dari mereka adalah :

manusia ditengah sampar telah tiba pada sebuah keadaan dimana mereka terputus pada masa depan, semua berjalan memunggungi hari esok. Tersisa kenangan yang menjadi semacam pelipur lara, bahwa pernah dimasa lalu, mereka jatuh cinta, berkumpul bersama keluarga, dahulu mereka mencari keuntungan setiap hari di kantor-kantor, di pabrik, di pasar-pasar, lalu berenang diakhir pekan. Sungguh indah masa-masa itu, akan bagaimana hari esok tanpa itu semua? Oh tidak!”

Semakin mereka merenungkan, semakin sakitlah mereka. Sampar membunuh sanak-saudaranya, memisahkannya dengan para kekasih pujaan hati, bahkan mempermainkan masa depan sebagai bukti paling naas. Namun di tengah keadaan yang semakin mencekam, tetap dijumpai beberapa moralis, yang dengan sisa keyakinan, keluar dari rumah (tempat yang seharusnya paling aman) lalu berjalan di sepanjang trotoar kota, berteriak “ ini akan segera berakhir, bersabarlah”, namun, sayang sekali teriakan mereka diganjar dengan angka kematian yang semakin percaya diri, semakin menjadi-jadi. Lalu sulitlah dibedakan apakah mereka meneriakkan dukungan moral atau memproklamasikan kegilaan. Pada akhirnya, penduduk kota hanya punya dua kemungkinan “menyaksikan mayat atau disaksikan menjadi mayat”.

Kembali pada pernyataan, mari kita mengabarkan : kebaikan. Hal ini dimulai saat epidemi sampar semakin populer, media semacam surat kabar pagi hingga siaran radio jelang subuh tidak lagi mengabarkan jumlah-jumlah korban, ataupun bagaimana gejala-gejala sampar yang semakin bervariasi dan berwarna, namun mulai menyiarkan berita bertema “Pahlawan ditengah sampar”. Salah satu yang menjadi Trending topic adalah lahirnya sebuah komunitas pemuda yang dengan gagah berani menempuh pekerjaan berbahaya dengan terjun langsung kepusat epidemi, mereka memprakarsai sebuah “kelompok-kelompok pelayanan kesehatan”. Cara mereka bekerja mulai dari mencatat jumlah korban, mengangkut mayat hingga langsung bekerja sebagai tenaga medis dengan praktek medical layaknya seorang dokter ahli. Oleh media, kerja-kerja mereka dijadikan berita utama dengan melabelinya dengan ungkapan “aksi pemuda ini berhasil mengganti ungkapan lama “menyaksikan mayat atau disaksikan menjadi mayat”, menjadi “mati mengenaskan atau mati mengesankan”, mengingat pekerjaan ini membuat resiko tertular menjadi semakin tinggi. Hal ini kemudian menjadi obrolan-obrolan di sudut-sudut kota. Semakin hari semakin besar saja, ini tampak diraut muka penduduk kota yang merasa bangga, namun tidak butuh waktu yang lama agar semua warga menyadari bahwa semua berita ini hanyalah ilusi semata, karena statistik mengatakan jumlah korban malah semakin bertambah. Penduduk percaya bahwa sampar sama sekali tidak bisa dikalahkan, sampar terlalu kuat jika hanya dilawan dengan retorika semu. Lagipula, setiap mereka mengakhiri obrolan, selalu ada kalimat penutup ini : “tentu saja media ini berhasil menjual optimisme dan muaranya adalah memenangkan profit”. Sungguh khas manusia ditengah bencana!!

Sampai disini, mungkin anda bertanya-tanya “bagaimanapun, Bukankah ini adalah cara yang kreatif? Membangkitkan optimisme dan menularkan semangat? lalu apa yang salah?”. Anda tentu berfikir bahwa Seandainya berada diposisi media, sudah merupakan harga mati untuk menuliskan hal yang sama : Mengisi kolom-kolom berita dengan perbuatan-perbuatan baik.

***

Ada pendapat bahwa karena jarang kita menemuinya, akhirnya perbuatan-perbuatan baik menjadi sangat tinggi nilainya. Dan sebelumnya kita juga telah meyakini bahwa, manusia lekat dengan perbuatan-perbuatan amoral dan mengakrabi sikap tidak peduli. Sejauh ini, saya menduga hal inilah yang membangkitkan sikap para penduduk kota untuk membesar-besarkan perilaku para pemuda dalam kelompok-kelompok pelayanan kesehatan, dan sungguh media dengan kemampuan membentuk psikologi massa, telah ikut membuat berita ini terbang jauh meninggalkan konteks dan arti “kebaikan” itu sendiri. Kemanusiaan melebihi dirinya sendiri.

Pendapat ini, tentu saja tidak dalam rangka membuat peranan kelompok pelayanan kesehatan menjadi tidak berarti sama sekali. Tapi saya secara pribadi percaya bahwa dengan memberi arti terlalu penting kepada perbuatan-perbuatan baik, sama saja dengan member hormat yang tidak langsung serta menaruh wibawa kepada kejahatan. Saya juga tidak berpihak pada pendapat bahwa kebaikan itu bernilai tinggi karena jarang ditemui, apalagi bahwa manusia akrab dengan sikap tak peduli. Lebih tepatnya, saya meyakini  bahwa perbuatan jelek di dunia hampir selalu dipengaruhi oleh ketidak tahuan, karena kebodohan. Sedangkan kemauan baik yang tidak disertai pengetahuan bisa membuat kerusakan, dan itu sama parahnya dengan kelakuan jahat. Pada manusia, biasanya lebih banyak kebaikan daripada kejahatan. Dan sebenarnya bukan itu masalahnya. Mereka hanya kira-kira saja mengetahui. Iyulah yang disebut sifat baik atau sifat jahat. Sedangkan sifat jahat yang paling menyedihkan ialah kebodohan yang mengira mengetahui segalanaya, pada akhirnya merasa diperbolehkan untuk membunuh, jiwa seorang pembunuh itu buta. Tidak ada kebaikan maupun cinta yang sesungguhnya yang tidak disertai kecerdasan setinggi-tingginya.

Untuk itulah, kelompok-kelompok pelayanan kesehatan harus diterima dengan kepuasan dan penghargaan yang objektif, olehnya membesar-besarkan tindakan mereka merupakan sebuah kesalahan. Karena perlu kita semua pahami bahwa, mereka melakukan itu semua karena pada hakikatnya itulah yang memang harus mereka lakukan, hanya saja sudah cukupkah mereka punya keterampilan (keahlian) untuk melakukannya? Ini sama saja dengan kasus : apakah seorang artis sinetron atau iklan opera sabun layak menjadi seorang presiden? Meskipun kemauan mereka tetaplah harus kita apresiasi sebagai sebuah niat yang baik, tapi percayalah bahwa dengan memilih mereka berarti membantu mereka melakukan kejahatan.

Selanjutnya, sebagai sebuah bukti bahwa ulasan ini bukan merupakan pencideraan terhadap aksi kemanusiaan, baiklah kiranya agar penjelasan berikut ini bisa dijadikan bahan renungan.

Sekali lagi, pengabdian diri kepada kelompok-kelompok pelayanan kesehatan tidak berjasa besar dalam kasus epidemic sampar ini, pertama karena mereka tahu bahwa itu adalah satu-satunya yang bisa dikerjakan. Kedua, tidaklah masuk akal seumpama mereka tidak memutuskan untuk mengerjakan tugas untuk membantu penduduk kota. Satu-satunya cara untuk melawan sampar adalah dengan melibatkan diri lebih dalam, karena epidemi ini telah melakukan tugasnya dengan baik, bahwa sampar bukan hanya tanggung jawab segelintir orang namun telah berhasil menjalankan tugasnya untuk menyadarkan semua orang bahwa ini adalah tanggung jawab kita semua. Lalu apa yang istimewa dari kebaikan pada konteks ini? Sebab kebaikan pada dasarnya memang sudah sewajarnya. Barangkali hanya satu hal saja yang pada gilirannya akan membuat kebaikan mendapat tempat istimewa, yaitu : kesadaran manusia.

Sebab kesadaran yang membuat kita meyakini satu hal : kita tidak menghormati seorang guru karena dia telah mengajari kita bahwa dua ditambah dua sama dengan empat, barangkali kita menghormatinya karena dia telah memilih untuk hidup dengan memilih pekerjaan itu. Maka terpujilah para pemuda relawan ini karena mereka tidak hanya tau bahwa dua ditambah dua sama dengan empat, tapi juga memilih pekerjaan untuk tidak berdiam diri. Kebaikan pada akhirnya akan berbicara sendiri, sebab menaruh istilah-istilah yang terlalu bergelora pada kebaikan hanya akan berpihak pada kejahatan.

Bahaya laten pada kebaikan adalah KOMODITI. Waspadalah

***

Di tengah malam, saya berbaring diranjang untuk tertidur, menyalakan televisi dan melihat apa yang abu vulkanik gunung kelud berikan kepada manusia-manusia yang berjarak ribuan kilometer dari kamar saya. Di dalam hati saya mencoba menyampaikan solidaritas dengan  rasa persaudaraan yang canggung, dan yang saya rasakan tidaklah lebih dari ketidakmampuan manusia membagi secara sebenarnya kesengsaraan yang tidak bisa mereka lihat secara langsung. Saya masuk dalam sarung dan berfikir, bahkan kebaikan sekecil itu saya sudah merasa bangga. Puihhhhh!



*Aku adalah cerminan pemikiran Albert camus dalam novel “La Peste” yang diterjemahkan oleh N.H Dini dengan Judul Sampar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun