Mohon tunggu...
Ibnu Budiman
Ibnu Budiman Mohon Tunggu... -

Researcher | Writer\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

‘Kebebasan’ Televisi (1)

2 Februari 2014   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Secara harfiah, media adalah alat (device). kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harafiah berarti tengah, perantara, atau pengantar.

Mengutip dari @annefirza – Pengamat Komunikasi Media -, "media sejauh ini mengacu kepada riset pasar yg dilakukan oleh Nielsen, konsultan asal Amerika." Kita tidak tahu bagaimana parameter penelitian mereka. Mereka dibayar profesional oleh korporat media untuk menentukan apa yang menjadi selera penonton TV Indonesia. Mereka independen dan tak berniat buruk pada konsumen Indonesia.

Bisnis TV adalah bisnis mahal yang luar biasa menguntungkan. Dalam hal jual-belinya, bisnis ini menggunakan rating, berdasarkan rating yang jadi asal memberi harga untuk slot iklan. Terbukti bahwa tarif belanja iklan TV selalu naik signifikan dari tahun ke tahun. Sayangnya, mendirikan lembaga rating itu modalnya besar sekali. Akhirnya satu-satunya lembaga rating yang ada cuma Nielsen.

Orang-orang yang passion-nya di media tentu bisa memilih cara membuat perusahaan rating tandingan. Tapi modalnya gede dan butuh waktu yang cukup lama untuk membangun kepercayaan konsumen. Berhubung hanya Nielsen satu-satunya lembaga rating dan hanya satu, dia bisa berbicara bahwa hasil surveinya legitimated. Wong nggak ada tandingannya. Padahal, belum tentu. Banyak sekali  cacatnya. Independensi rating consultant dan itikad baik mereka 'menjaga' bangsa ini adalah dua hal yang sayangnya terpisah. Kapitalisme telah memudarkan pentingnya perawatan nilai luhur di masyarakat. Bisa jadi menjaga anak bukan bagian dari visi atau corporate values mereka.

Bisnis media bisa dibilang juga sebagai bisnis vampire. Artinya, dana yang dikeluarkan begitu banyak dan terus menerus, untuk syuting, bikin film, dan program-program lainnya tetapi uang yang didapat tidak sebanding dengan pengeluaran. Pada akhirnya, dana untuk menghidupkan media diambil dari usaha-usaha lain, yang biasanya dimiliki oleh para pemilik TV. Hary Tanoe misalnya, yang punya banyak perusahaan. Salah satu suntikan dana bisa didapat dari perusahaan-perusahaannya sendiri untuk menghidupi bisnis TV. Sungguh bukan bisnis yang main-main. Contoh lain, Metro TV dan atau stasiun TV berita lainnya, banyak sekali pendapatan mereka yang sebenarnya tidak banyak dan hanya cukup untuk membiaya operasional sehari-hari.

Media TV Indonesia memang banyak dikepung oleh raksasa-raksasa korporasi. Sampai-sampai karena saking kedekatan media dan bisnis begitu sangat erat, banyak orang yang pesimis dengan pertelevisian Indonesia. Hal ini menjadikan kita tidak bisa mengharapkan mereka sebagai konsultan yang memberi saran-saran kepada korporasi media untuk mengarahkan mereka menanamkan nilai-nilai baik.

Para Penikmat

Tentu saja penikmat TV di Indonesia adalah penikmat hiburan.terjangkau TV. Kini ada trend bahwa educated people read online newspapers. Sudah sedikit waktu kaum terdidik untuk menonton TV, apalagi di waktu-waktu prime time. Tetapi itu juga bukan tanpa alasan. Pengangguran, keluarga ekonomi bawah (ga punya gadget), ibu-ibu rumah tangga (yang ga punya side jobs) adalah kelompok orang-orang yang diperkirakaan masih sering menonton TV. Dengan acuan trend ini, maka kita akan melihat bahwa educated people, like us, are not really at stake.

Ketika penikmat TV kebanyakan adalah kalangan bawah di Indonesia dengan jumlah mereka yang begitu banyak, bisa jadi itu alasan yang melandasi para perusahaan pertelevisian terus maju pesat di indonesia. Melihat banyaknya tayangan-tayangan tak mendidik, yang koar-koar dan peduli akan tayangan-tayangan TV kebanyakan dari kalangan terdidik, which is good. Dengan fenomena ini, seharusnya lumayan viral di social media. Sedangkan pengguna sosmed lagi-lagi kalangan terdidik dan orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. So our concern may not reach them.

Banyak stasiun TV yang berkelit, mereka juga menyediakan tayangan edukatif. Sayangnya berapa banyak acara edukatif yang ratingnya tinggi? Sangat sedikit! Artinya masyarakat Indonesia memang menyukai tayangan dengan konten konyol. Hal yang disayangkan adalah semua penonton disajikan tayangan seperti itu tanpa pandang bulu. Anak-anak yang belum cukup umur, menonton TV secara bebas, dan yang tidak diajari media literasi di sekolah menjadi 'korban' selera orang dewasa. Tetapi kita bisa memilih tayangan apa yang akan kita tonton, walaupun pilihannya terbatas memang.

Banyak penonton yang tertidur. Tidak tahu efek buruk dari tontonan mereka. Ibaratnya mereka sedang berkubang lumpur dan seperti hilang ingatan. Kampanye ataupun pendidikan literasi yg masif sekalipun tidak akan menyelesaikan masalah. Kita hanya seperti sedang memungut sampah di kali padahal hulunya yang bikin keruh.

Di sini kita melihat kunci masalahnya adalah penonton tidak sadar bahwa tontonan mereka mengikis nilai. Tontonan itu bikin nyandu. Sekali dua kali senang, menyengajakan menonton, lalu terbiasa. 'Mereka' ga sadar bahwa there is something wrong with the show. Seperti orang merokok. “Rokok ga ganggu kesehatan koook”, Begitu pembelaan mereka.

Jika kita menyerang industri lawakan murah ini, bisa jadi fans-nya speak up. "Apaan sih nih orang terdidik, kalo mau ya nonton, kalo enggak ya uwis. Suka-suka kita dong mau nonton apa." Pada akhirnya, yang menjadi korban tayangan tak mendidik adalah orang-orang dari kalangan bawah, yang biasanya juga berpendidikan rendah.

Apakah kita hanya akan berdiam diri membiar mereka terus ‘rendah’ dan di ‘bawah’?.

Rena Erlianisyah Putri

Grup Diskusi Liberal Arts dan Media Literasi – Forum Indonesia Muda

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun