Tiji Tibeh adalah singkatan dari Mati Siji, Mati Kabeh, Mukti Siji, Mukti Kabeh. Artinya Mati Satu, Mati Semua. Makmur Satu, Makmur Semua. Ini adalah konsep kebersamaan antara seorang pemimpin dengan pasukannya. Semboyan ini pertama kali diperkenalkan oleh Raden Mas Said yang hidup di abad ke 18. Beliau juga dikenal dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
Raden Mas Said adalah salah satu pahlawan nasional yang terkenal dengan strategi perang Gerilyanya. Konon dia begitu sakti sehingga mampu membuat tentara VOC kocar-kacir. Semboyan Tiji Tibeh terbukti mampu membakar semangat seluruh pasukan untuk berperang sampai mati. Begitu ditakutinya Raden Mas Said sampai pemimpin VOC di Semarang, Nicolaas Hartingh, memanggilnya dengan julukan Pangeran Samber Nyawa. Keren ya?
Sewaktu masih di sekolah dasar, saya juga pernah bersentuhan dengan istilah Tiji Tibeh. Tapi waktu itu maknanya berbeda 180 drajat. Ceritanya begini: Saya punya temen yang bandelnya minta ampun. Namanya Pranowo. Kami biasa memanggilnya Wowo. Dia suka malakin semua temennya alias minta duit.
"Pokoknya setiap kali orangtua kalian ngasih uang jajan, separo harus dikasih ke gue? Ngerti!!!!" kata Si Wowo.
Semua orang ciut nyalinya. Tapi salah seorang anak bernama Mamung, memberanikan diri bertanya, "Kalo gue gak mau kasih, lo mau apa?"
Wowo nyamperin Mamung, langsung dijambak dan 'PLAK! PLOK! PLAK! PLOK! Dengan keras pipi anak itu digampar berkali-kali sampai menangis menggerung-gerung.
"Tiji Tibeh. Mati Siji, Mati Kabeh. Mukti Siji, Mukti Kabeh," kata Wowo.
Pokoknya Wowo adalah momok mengerikan buat semua orang. Alhamdulillah saya gak pernah diganggu oleh Wowo. Dia gak berani macem-macem soalnya kakak saya banyak, cowok semua bahkan di antaranya adalah guru silat dan yang satu lagi tentara. Jadi saya aman dari gangguannya. Saya bilang aman bukan berarti saya gak punya masalah sama dia. Pokoknya Wowo ini bener-bener pain in the ass. Semua orang kesel dan benci banget sama dia. Termasuk saya.
Pernah saya lagi ngejer layangan putus barengan sama Wowo. Karena tubuh lebih tinggi, saya lompat dan berhasil meraih layangan tersebut. Saya memandang Wowo dengan senyum kemenangan. Lalu apa yang terjadi? Wowo menghampiri saya lalu merobek-robek layangan tersebut dengan ganasnya. Sebelum pergi sempet-sempetnya dia berkata, "Tiji Tibeh..."
Tanpa terasa saya meneruskan kalimatnya sehingga kami berkata berbarengan, "Mati Siji, Mati Kabeh."
Pernah juga waktu perlombaan 17 Agustus di kampung kami, saya ikutan lomba lari menyusun 7 keping potongan genteng. Jadi ada 7 keping genteng tersusun ditumpuk oleh panitia. Peserta berdiri kira-kira 30 meter jauhnya dari tumpukan tersebut. Semua peserta harus berlari memindahkan genteng satu persatu ke tempat awal kita berdiri. Setiap genteng harus tersusun bertumpuk. Satu saja ada yang jatuh maka panitia akan mendiskualifikasi peserta tersebut.