Kalian pasti pernah mendengar kisah artis yang memulai karirnya dari bawah sampai akhirnya sukses. Ada yang main di restoran cuma dibayar pake nasi goreng. Ada yg main di kafe dari jam 9 sampai jam 1 malam cuma dikasih honor Rp 600 ribu. Padahal anggota band mereka aja udah 6 orang.
Alhamdulillahnya, tekanan yang berat itu membuat mereka kreatif. Keinginan untuk bangkit dan terkenal akhirnya membuahkan hasil. Mereka menjadi kaya-raya. Mereka beli rumah dan beli mobil mewah berkat karya-karyanya yang luar biasa.
Lucunya, setelah hidup mapan, mereka tidak bisa lagi berkarya. Setiap ada acara musik mereka hanya tampil membawakan lagu-lagu lamanya yang pernah begitu melegenda. Mereka bukannya malas, loh! Setiap hari mereka berusaha mencipta lagu namun ide-ide sepertinya macet. Entah pergi ke mana.
Ternyata mereka butuh tekanan yang kuat untuk membangkitkan kreativitasnya. Dibutuhkan "kekejaman" Tuhan untuk membuat mereka menderita supaya mereka mampu mencipta lagu. Hidup menderita adalah PEMICU bagi mereka untuk berkarya. Kenapa bisa begitu, ya?
Apa yang terjadi di kasus ini adalah mereka tidak pernah mempelajari Creative Attitude. Padahal pemahaman creative attitude itu sangat penting. Itu sebabnya kalo lagi ngasih workshop (Gak peduli workshop apa), saya selalu mengawali dengan segmen creative attitude. Kalo creative attitude sudah mendarah daging di dalam diri maka kita selalu mampu berkarya. Kita tidak butuh penderitaan berat untuk menjadi kreatif. Peristiwa yang sangat sepele pun seharusnya sudah mampu membuat kita TERPICU untuk berkarya.
"Manusia terbagi jadi dua bagian. Yang pertama yang memiliki Creative Attitude dan yang kedua memiliki Reactive Attitude. Kelompok pertama mau-maunya bayar Rp 1,6 juta untuk datang ke acara seminar ini. Kalian gak peduli bahwa harganya cukup mahal. Keinginan kalian untuk mencari ilmu dan memperbaiki diri mengalahkan semua halangan.
Kelompok kedua adalah orang dengan Reactive Attitude. Mereka sebenernya mau dateng ke seminar ini tapi begitu denger harganya langsung bereaksi 'Ah mahal banget?' Begitu denger lokasinya, 'Ah, jauh banget!' Begitu denger waktunya, 'Kok week days sih? Kita kan harus ngantor.' Reaksi tersebut membuat mereka akhirnya kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H