Hari itu saya mendapat undangan mengajar workshop di Yogya. Kebetulan yang mengundang saya adalah komunitas penulis yang sudah saya kenal di Jakarta. Mereka menginginkan materi creative writing yang khusus diperuntukkan untuk membuat novel atau karya fiksi.
Begitu turun dari pesawat, saya pun keluar dari Lanud Adisutjipto. Seorang panitia, bernama Tono menjemput saya di meeting point lalu kami masuk ke dalam mobilnya menuju ke hotel.Â
Tono ini mukanya gak ramah dan tanpa senyum. Entah emang kesehariannya gitu atau dia sedang punya masalah yang mengganggu pikirannya, saya gak tau juga.
Di sepanjang perjalanan, orang yang menjemput saya ini ternyata juga sangat pendiam. Tak sepatah kata pun dia keluarkan untuk sekedar berbasa-basi.Â
Untuk memecah kekakuan, saya mencoba membuka percakapan, "Wah, tadi pengumuman di airport juga pake bahasa jawa, ya? Keren banget!"
"Udah lama juga, sih. Emang kenapa?" tanya saya.
"Kami penduduk Yogya sangat menghargai budaya kami," sahut Tono dengan suara dingin.
"Iya, saya lihat sih. Kusir delmannya aja semua memakai surjan dan blangkon ya?"
"Betul! Coba Om Bud liat nama jalan di Yogya," katanya sambil menunjuk ke arah papan jalan yang kebetulan kami lewati," Selain berbahasa Indonesia, kami juga mencantumkannya dalam bahasa jawa."
"Iya betul! Saya suka banget ngeliatnya."
"Kami beda sama orang Jakarta yang ngomongnya sok campur-campur inggris."