Tahun 2017 adalah tahun yang kelam dalam dunia perpolitikan nasional. Peristiwa Ahok adalah puncak dari segala kekelaman itu. Semua terjadi gara-gara kita semua mudah sekali diadu domba. Akibatnya rakyat yang cenderung polos terpecah menjadi dua pihak yang berseberangan yaitu Kaum Kecebong dan Kaum Bumi datar. Yang satu berlandaskan nasionalisme dan yang lain berlandaskan agama.
Landasan itu sebetulnya cuma packaging dari dua kubu yang sedang berseteru. Nasionalisme dan agama digunakan sebagai senjata politik yang berujung merebut tampuk pemerintahan negeri. Perebutan kekuasaan ini dimeriahkan oleh ormas-ormas yang mendompleng salah satu kubu karena ormas-itu juga berharap mendapatkan potongan kue jika pihak yang didukungnya keluar sebagai pemenang.
Pertanyaannya sekarang; Kenapa kita gampang sekali diadu domba? Saya berpendapat ada dua alasan.
Pertama, DNA kita mungkin memang tipe orang yang mudah diadu domba makanya dulu kita bisa terjajah begitu lama karena Belanda mempraktikkan strategi tersebut dan terbukti ampuh.
Kedua, munculnya digital sebagai media interaktif membuat cara memecah-belah semakin mudah. Kita tinggal posting berita hoax lalu sekonyong-konyong menjelma menjadi viral. Kenapa bisa menjadi viral? Karena salah satu insight dari digital user adalah 'share'. Banyak pengguna digital kerjanya cuma broadcast atau ngeshare doang. Mereka terlalu malas untuk berkarya dan merasa sudah cukup eksis dengan cara seperti itu.
Memang mereka gak akan mau nge-share sesuatu yang sudah diketahui banyak orang. Mereka hanya mau nge-share postingan yang shareable, yang mereka yakini adalah hal yang baru, sesuatu yang heboh dan belom diketahui oleh teman-teman di komunitasnya. Pokoknya kalo setiap dapet postingan heboh mereka langsung share, tanpa mempedulikan kebenarannya.
Nah, insight gampang share inilah yang dimanfaatkan betul oleh tim sukses para politisi untuk memecah-belah kita. Segala macam issue digoreng, dari isu PKI, Cina, pribumi, LGBT, agama, kriminalisasi ulama, kebijakan pejabat tertentu, korupsi, munafik, kafir, surga sampai neraka pun dipakai sebagai bahan dasar pembuat berita bohong. Mereka tinggal membuat berita hoax menjelek-jelekan lawannya lalu diposting. Beritanya tentu harus heboh lalu diviralkan oleh tim buzzer. Rakyat pendukungnya yang kebanyakan buta politik langsung ikut nge-share.
Lucunya, pihak pendukung yang difitnah, bukannya mendiamkan saja berita bohong tersebut supaya tidak tersebar luas eh malah ikut-ikutan memposting berita hoax tersebut. Emang sih mereka memberi kalimat pengantar seperti, "Guys, kubu sana udah gila, nih. Masa mereka membuat berita hoax kayak gini? Goblok banget! Siapa yang mau percaya berita sampah kayak gini?" Yang lain membaca lalu nge-share lagi dan yang lain ikut ng-share, begitu seterusnya.
Maksudnya sih kita menentang, kita mengajak orang berhati-hati, kita mengutuk berita fitnah tapi realitanya kita juga ikut menyebarkan. Akibatnya berita hoax tersebut menjadi gelombang besar seperti Tsunami yang tidak bisa dibendung lagi. Berita tersebut tersebar kemana-mana. Dan hasilnya? Pihak yang satu tetap menganggapnya fitnah sementara pihak lawan secara konsisten tetap menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.Â
Sekarang adalah hari pertama dari Tahun 2018. Bagaimana suasana politik di tahun ini? Pastinya lebih parah karena ini adalah tahun politik di mana pilkada serentak akan berlangsung. Perang hoax dan perang fitnah pasti akan terjadi lagi, terutama di jawa barat. Â Sebagai propinsi terbesar dalam jumlah voter, jawa barat tidak kalah strategis untuk diperebutkan oleh partai politik. Menguasai Jakarta dan Jawa Barat akan membuat jalan menuju ke kursi kekuasaan tertinggi semakin mulus. Itu sebabnya, panasnya pilkada jawa barat sudah terasa dari pertengahan tahun 2017.
Lalu apa yang bisa kita perbuat?