Entah kenapa beberapa tahun belakangan ini tiba-tiba banyak banget temen saya yang tergila-gila sama kopi. Ada yang membuka kedai kopi, ada yang bertani kopi, ada yang membuat ritual-ritual tentang kopi sampe ada yang bikin film tentang kopi. Pokoknya semua kegiatan hits yang berhubungan dengan kopi pasti ada temen-temen saya di dalamnya.
Saya sih seneng-seneng aja ngeliat fenomena kopi itu, malah bagus, kan? Kopi lokal jadi terangkat, petani kopi ikut meningkat hasilnya, industri kreatif semakin tumbuh subur melalui kopi. Bahkan Jokowi juga sangat mendukung trend ini, terbukti dia pernah mengunjungi kedai kopi di daerah Cipete sebagai bentuk dukungannya
Sayangnya, saya kadang-kadang agak sedikit terganggu dengan sikap beberapa temen para pecinta kopi itu. Sering mereka menyudutkan orang lain seakan-akan orang yang gak ngerti kopi itu kurang beradab. Misalnya ketika saya kejebak pembicaraan dengan Toni, seorang pecinta kopi dadakan. Saya sebut dadakan karena dia baru dua tahun ini aja ngopi. Sebelumnya dari lahir dia gak pernah ngopi. Minumnya dulu mah kalo gak air putih paling jamu beras kencur.
"Bud, lo kan setiap hari minum kopi. Nah, lo lebih suka kopi Arabica atau Robusta?"
"Wah? Gue gak tau tuh, Ton. Gue minum kopi di rumah karena disediain sama bini gue. Kalo di kantor karena disediain office boy gue," jawab saya lugu.
"Hah? Jadi lo gak tau kopi apa yang lo minum?"
"Kagak! Gue mah kopi apa aja gue hajar. Kopi sachetan sampe kopi jagung gue embat juga."
"Masya Allah. Primitif banget lo, Bud? Tapi lo lebih suka Arabica atau Robusta?"
"Gue gak tau istilah-istilah itu." Â Â Â Â Â Â Â Â Â
"Astaghfirullah! Parah banget lo, Bud," kata Toni dengan pandangan mengasihani seakan-akan saya beneran orang primitif yang belom pernah ngeliat listrik.
"Jadi apa artinya itu, Ton?" tanya saya.