Sifat narsis adalah insight semua manusia di seluruh dunia. Ketika internet ditemukan, sifat suka pamer ini mencapai puncak pelampiasannya. Sebagai media dua arah, digital sudah seperti panggung buat usernya. Digital adalah penemuan terhebat yang selama ini didambakan oleh para Narsisus.
Dalam konteks penulisan, secara umum, cara orang bernarsis ada dua macam yaitu, post dan share. Mereka memposting tulisan sambil berharap tulisannya menjadi viral atau nge-share tulisan orang lain ketika sebuah tulisan mereka anggap baru.
Memposting tulisan bisa dilakukan di banyak tempat. Misalnya membuat artikel di Facebook, di Twitter, di blog atau sosial media lainnya agar tulisan kita mudah dibaca orang. Bahkan banyak juga yang membuat media berita abal-abal. Mereka menulis berita lalu linknya disebar ke berbagai media sosial lain supaya visitor mampir dan membaca beritanya.
Masalahnya, kalo tulisan kita kurang bagus, rasanya sulit untuk mengharapkan postingan kita menjadi viral. Makanya tidak jarang orang menulis berita bohong lalu menyebarkannya ke sosial media semata-mata demi mendapatkan visitor yang banyak.Jadi jangan pernah percaya pada berita-berita yang datang dari media yang gak jelas. Kalo ada berita yang heboh, coba cek apakah berita tersebut juga ditayangkan oleh media-media mainstream seperti Detik.com atau Kompas.com. Kalau tidak ada, lupakan. Pasti itu berita hoax atau berita bohong.
Share juga salah satu cara orang untuk bernarsis. Banyak loh tipe pengguna sosial media yang pemalas. Mereka sudah puas berfungsi sebagai penikmat dan malas untuk berkarya. Jadi kerjaannya cuma komen atau nge-share sesuatu yang dianggap menarik. Itu sebabnya, di Kaskus, orang sering ngasih komentar dengan kata 'PERTAMAX'. Kata 'pertamax itu sendiri sudah mengandung makna pembuktian kenarsisan. Artinya hanya dengan menjadi orang pertama yang berkomentar pun ternyata sudah merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka.
Tapi perlu diingat, mereka gak akan mau nge-share sesuatu yang sudah diketahui banyak orang. Mereka hanya mau nge-share postingan yang mereka yakini adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang heboh dan belom diketahui oleh teman-teman di komunitasnya.
Nah, insight gampang nge-share inilah yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat di dunia digital. Contohnya ketika Pilkada Jakarta kemaren. Ada pendukung Cagub A yang memfitnah Cagub B. Namanya juga fitnah, tentunya sesama pendukung akan nge-share tulisan itu bukan? Sayangnya, pendukung Cagub B dengan polosnya juga nge-share tulisan itu, meskipun di kata pengantarnya mereka menulis "Guys, hati-hati. Ini artikel fitnah. Kok bisa-bisanya ya mereka memfitnah secara kotor seperti ini?"
Orang tersebut menyarankan untuk hati-hati tapi dia sendiri nge-share fitnah itu, jadi siapa yang salah kalo fitnah tersebut akhirnya lebih viral dari seharusnya?
Di sosial media cukup banyak orang yang berbisnis berita fitnah. Mereka sangat mengerti bahwa pengguna sosial media terlalu mudah untuk nge-share sebuah berita heboh. Mereka memanfaatkan insight ini untuk mendapatkan uang. Caranya bagaimana? Mudah saja.
Mereka memberitakan aib orang terkenal. Kalo aibnya gak ditemukan, mereka menciptakan aib dengan cara memfitnah orang tersebut dengan berita yang memalukan lalu barisan buzzer siap memviralkannya. Ketika membaca berita tersebut, tentu saja kita terkejut dan tanpa menyelidiki lebih lanjut langsung kita share ke komunitas kita. Teman-teman juga kaget lalu nge-share lagi dan akhirnya kita tanpa sengaja membantu para penjahat memviralkan berita bohong.
Setelah berita heboh tersebut menjadi pembicaraan di masyarakat luas, Sang Korban tentu saja panik dan malu. Nah, di saat itulah para penjahat digital memerasnya dengan meminta uang pada orang yang difitnah dengan imbalan mereka akan menyetop pemberitaan tersebut. Sadis banget ya?