“Ahok itu penista agama! Kalo lo ngebela Ahok berarti lo mendukung penistaan agama!!” bentak Agus dengan dua tanda seru..
“Heh! Pake otak lo! Ahok itu lagi ikut pilkada, dia lagi butuh dukungan dari rakyat Jakarta. Orang Jakarta itu mayoritas beragama islam. Mana mungkin malah dia menghina agama islam?” sahut Mirza memberi argumentasi.
“Lo kalo ga tau apa-apa, ga usah ngomong!! Ahok itu antek asing! Dia emang mau menghancurkan negeri kita. GOBLOK!!!!” pekik Agus lagi kali ini dengan 4 tanda seru.
“Provokator lo!!! Ga semua yang lo baca di sosial media itu sebuah kebenaran. Saring dulu semua yang lo baca. Jangan ngedebat gue pake sampah!!!!”
Begitulah yang terjadi di sebuah group WA (Whatsapp) di mana saya menjadi salah seorang anggotanya. Saya sedih banget ngebaca semua itu. Sebelumnya mereka berteman karib banget loh. Pagi-pagi udah ngasih salam selamat beraktivitas dan saling mendoakan. Secara berkala mereka kopi darat dan berkumpul di sebuah restoran dengan suasana yang mesra. Tapi tiba-tiba semua berubah.
Ada temen yang menjadi Ahok lover dan ada yang menjadi haternya. Lucunya, sebetulnya, sebagian besar ga ngikutin politik. Tapi fenomena yang terjadi belakangan ini telah mengubah semuanya. Semua orang tba-tiba menjadi ahli dan pengamat politik. Segala macam berita di media online mereka copas dan posting tanpa dicek dulu kebenarannya. Akibatnya kedua kubu semakin panas. Sementara yang ga mau ikut-ikutan politik jadi ga betah lagi menjadi member di sana.
Saya kadang rada sulit memahami apa yang terjadi. Group WA biasanya kan dibuat berdasarkan komunitas. Mereka hendak menyatukan teman-teman yang tercecer di jaman lalu. Makanya di group WA ada group SD, SMP, SMA, Kuliah, kantor lama, kantor sekarang, group arisan, sunat masal. Pokoknya semua hal dijadiin group. Bagus sih karena cita-citanya mulia; hendak MENYAMBUNG dan MEMPERERAT tali SILATURAHMI.
Tapi situasi politik kali ini benar-benar menggilas niat baik bersilaturahmi itu. Teman berubah menjadi lawan. Salam ramah berubah jadi sumpah serapah. Ucapan manis menjelma jadi cacian sadis. Apa sebabnya? Yak, politik yang menjadi gara-garanya.
Saya jadi teringat percakapan dengan Ayah waktu saya masih kuliah dulu dan waktu itu juga lagi marak-maraknya demo. Ayah saya adalah salah seorang pendiri Kantor Berita Antara. Beliau juga adalah wartawan istana sehingga tentu saja beliau sangat memahami perkembangan politik sampai ketulang sumsum.
“Politik itu memang kejam,” kata Ayah.
“Kejamnya di mana, Yah? Apa bedanya dengan bisnis? Bisnis kan juga kejam?” tanya saya kurang jelas.