Siapa yang tidak menginginkan beasiswa? Setiap tahun, ribuan orang berlomba-lomba mencari peluang beasiswa untuk mewujudkan impian mereka.
Beasiswa bukan hanya sekadar pemenuhan biaya pendidikan, tetapi juga pintu gerbang menuju pengetahuan dan peluang yang lebih baik. Namun, apa yang terjadi jika usia kita telah melewati batas persyaratan?
Inilah kisah saya, dan mungkin juga kisah beberapa orang di luar sana yang merasakan hal serupa.
Beasiswa, seakan memiliki power untuk membuat hati saya berbunga-bunga. Saya selalu percaya bahwa dengan kerja keras dan dedikasi, peluang untuk mendapatkan beasiswa pasti terbuka lebar. Namun, ada satu hal yang seringkali tidak terlalu diperhitungkan dalam kisah sukses para penerima beasiswa, yaitu usia.
Menjelang akhir usia 20-an, saya memutuskan untuk kembali melanjutkan studi. Namun, pada tahap ini, saya mulai menyadari bahwa banyak peluang beasiswa memiliki batasan usia yang cukup ketat.
Saat memeriksa persyaratan beasiswa, hati saya terasa berdebar saat melihat "Usia maksimal 25 tahun" dengan tegas tertulis di halaman tersebut.
Rasa semangat dan harapan langsung tergantikan dengan rasa ragu dan kecewa. Bagaimana mungkin, dalam usia yang seharusnya merupakan awal perjalanan penuh harapan, saya merasa seperti telah terjebak dalam jerat waktu?
Artikel ini bukanlah keluhan, melainkan perjalanan pikiran seseorang yang mencoba memahami dinamika di balik persyaratan usia ini.
Melihat fenomena ini dari sudut pandang saya, tentu ada alasan-alasan kuat mengapa batasan usia ini diterapkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak beasiswa ditujukan untuk mereka yang baru lulus SMA atau sedang menyelesaikan sarjana.
Beasiswa sering dianggap sebagai bentuk dukungan pendidikan bagi generasi muda yang memiliki potensi besar untuk mengubah masa depan bangsa. Namun, bagaimana dengan mereka yang mungkin terlewatkan peluang di masa muda dan baru sadar akan pentingnya pendidikan di usia yang lebih matang?