Tepat di usianya yang masih belia 12 tahun, Kayyis memutuskan untuk mengejar impian yang membara dalam hatinya. Dia bermimpi untuk menjadi mubaligh yang alim dan faqih (pandai dalam ilmu agama) demi bermanfaat bagi keluarga, bangsa, dan agama. Untuk mewujudkan cita-citanya, Kayyis harus melangkah jauh berpisah dari lingkungan yang sudah dikenalnya, dan berani menghadapi perasaan sedih ketika meninggalkan keluarganya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar, Kayyis bersemangat melanjutkan studinya di SMP Budi Utomo Makassar, sembari menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Roudhotul Jannah di Daya Makassar. Dengan langkah optimis, dia melangkah maju menghadapi dunia baru yang menantangnya.
Namun, ketika tiba saatnya untuk tinggal di pondok pesantren, perasaan sedih menyergapnya. Kayyis harus berpisah dengan orang tua tercinta, menjalani hidup mandiri tanpa ditemani sosok yang selalu ada di sampingnya. Rasa kehilangan itu melintas begitu mendalam dalam hatinya, namun dia tahu bahwa di balik perpisahan ini, ada kesempatan besar untuk tumbuh dan berkembang.
Saat berjalan masuk ke lingkungan pondok yang baru, hati Kayyis campur aduk. Dia merasa gugup dan cemas, namun juga penuh harap dan semangat. Pertemuan dengan teman-teman barunya menjadi kilas balik yang menghangatkan, namun juga menambah kepedihan hati yang sedang dia rasakan.
Setiap hari di pondok pesantren, Kayyis menyadari betapa besar tantangan yang dihadapinya. Dia menghadapi beragam pelajaran agama, mulai dari memahami Al-Qur'an hingga mendalami hadis. Semangatnya tak pernah surut, dan dia berusaha menyerap ilmu sebanyak mungkin untuk mencapai tujuannya menjadi mubaligh yang diidolakan.
Malam-malam sunyi di pondok, kadang membuat Kayyis merindukan kehangatan kasih sayang keluarganya. Dia mengenang momen-momen indah di rumah, saat bersama ibu dan ayah, merasa aman dalam pelukan kasih keluarganya. Namun, perasaan itu diiringi tekad bulat untuk berjuang lebih keras demi impian yang mengembara dalam benaknya.
Saat peluh mengalir di keningnya ketika belajar, dan matahari senja menyingsing di pondok pesantren, Kayyis berusaha menjadikan setiap momen itu sebagai bekal kehidupan yang berharga. Dia tahu bahwa hanya dengan perjuangan dan kesungguhan hati, dia bisa mencapai cita-citanya yang mulia.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan menuju impian tidaklah mudah. Namun, melalui perasaan sedih yang kadang muncul, Kayyis menjadi semakin kuat dan penuh tekad. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berusaha dan berdoa agar langkahnya di bawah naungan Roudhotul Jannah akan diberkahi dan menjadi jalan menuju kesuksesan.
Kayyis percaya bahwa setiap perjalanan memiliki rintangan, dan perasaan sedih hanyalah bagian dari ujian yang harus dia lewati. Melalui perjalanan di pondok pesantren ini, dia berharap bisa menjadi sosok yang lebih baik, bermanfaat bagi keluarga, bangsa, dan agama, dan menjadikan impian itu nyata dalam tindakan dan perbuatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H